Bagian 1 Episode 1
Gunung Argopuro merupakan deretan
Pegunungan Seribu yang ada di Pesisir Utara Jawa, tidak terlalu menjulang
tinggi dan banyak dikelilingi bebatuan kapur, aliran sungai yang sangat jernih
dan dingin ada yang keluar dari bebatuan atau pasir yang banyak bunganya
tanjung putih, serta mengalir seperti sungai Gangga, hal ini menunjukkan bahwa
wilayah ini bisa dikatakan subur untuk pertanian. Di lereng
Gunung Argopuro nampak suasana sepi dan sunyi, hanya suara-suara jangkrik yang
terdengar di sela-sela hembusan angin malam. Tampak rumah-rumah penduduk yang
terbuat dari anyaman bambu hanya diterangi sebuah obor di setiap sudut-sudut
ruangannya. Sementara di tengah-tengah
perkampungan ada sebuah rumah yang paling besar dan nampak megah dibandingkan yang
lain. Penghuni rumah itu adalah Palguna, seorang laki-laki berusia empat puluh
lima tahun. Palguna bukanlah orang
sembarangan, semasa mudanya dia telah
malang melintang di dunia persilatan memberantas kejahatan dan membela
kebenaran, sepak terjangnya disegani kawan maupun lawan. Sikapnya yang lembut dan sederhana
menggambarkan bahwa dia bukanlah orang yang suka memamerkan kepandaian. Postur tubuhnya sedang, tidak terlalu kekar
bahkan dapat dikatakan bahwa tubuhnya sedikit gombyor bagaikan orang yang kurang
gerak badan, keadaan seperti itulah yang membuat orang tak pernah mengira kalau
sebenarnya Palguna seorang pendekar yang pernah menggemparkan dunia
persilatan. Diusia yang semakin tua
Palguna memilih untuk hidup tenang ditengah-tengah penduduk desa dan menjadi
petani. Baru sekitar enam tahun lalu Palguna datang ke desa tersebut bersama
dengan istrinya yang sedang hamil tua.
Kenanga, itulah nama wanita yang menjadi istrinya. Kenanga usianya lebih tua lima tahun dari
Palguna, tetapi garis-garis yang ada pada wajahnya menunjukkan bahwa semasa
mudanya ia adalah seorang wanita yang cantik dengan lekuk-lekuk tubuhnya
sebagai wanita sejati, tak jarang banyak laki-laki yang jatuh cinta bahkan
tergila-gila pada Kenanga. Walaupun
sikapnya lembut namun Kenanga bukanlah wanita yang lemah. Kalau diukur dengan kepandaian ilmu silat
memang Kenanga jauh dibawah suaminya.
Satu kelebihan yang dimiliki kenanga
adalah keahliannya dalam hal obat-obatan dan ilmu meringankan tubuhnya
yang telah mencapai taraf kesempurnaan.
Kenangan adalah anak sekaligus murid tunggal dari seorang Tabib terkenal
dilereng Gunung Merapi yang dikenal dengan julukan Ki Lumpuh karena memang
kedua kakinya yang lumpuh, sedangkan ibunya seorang wanita biasa yang tidak
pernah belajar ilmu kanuragan. Sebenarnya Ki Lumpuh bukanlah orang sembarangan
tetapi dia adalah putra mahkota dari Raja Sima yang berkuasa di Kaling. Raja Sima terkenal sebagai Raja yang tegas,
jujur, bijaksana dan adil. Hal ini juga
diterapkan dan diteladani oleh rakyatnya, bahkan barang-barang yang tercecer
dijalanpun tidak ada yang berani untuk memungutnya, kecuali yang mempunyai
sendiri. Dalam hal hukumpun juga benar-benar ditegakkan, sampai pada suatu saat
ada seorang raja dari daerah lain ingin menguji kejujuran rakyat Kaling dengan
meletakkan pundi-pundi yang berisi emas permata di suatu jalan. Sampai tiga tahun lamanya pundi-pundi itu
masih tetap utuh tak ada yang berani mengambil, pada suatu hari putra mahkota
berjalan-jalan melewati jalan itu, dan tanpa sengaja kakinya menyentuh
pundi-pundi itu, hal ini dilaporkan pada Raja Sima. Mendengar laporan bahwa
yang menyentuh adalah putranya, Raja Sima memerintahkan agar dihukum penggal
leher, namun atas saran dari beberapa penasehat kerajaan hukuman itu tidak jadi
dilaksanakan dengan pertimbangan bahwa kaki Putra Mahkotalah yang bersalah,
sehingga Putra Mahkota dijatuhi hukuman potong kaki. Akhirnya kedua kaki Putra
Mahkota itu dipotong demi menegakkan hukum.
Setelah kejadian itu Putra Mahkota memilih untuk tinggal di lereng Gunung
Merapi dengan ditemani istrinya yang setia, sejak saat itulah orang-orang
memanggil dengan sebutan Ki Lumpuh.
Disamping
Kenanga masih ada anak laki-laki yang berusia enam tahun. Tak seperti anak-anak seusianya, si kecil
buah perkawinan antara Palguna dan Kenanga
telah nampak kecerdasannya, sorot matanya yang tajam membuat orang-orang
gentar untuk menatapnya, senyum yang selalu menghiasi wajahnya dengan lesung
pipit di pipinya menambah ketampanan yang ia warisi dari kedua orang
tuanya. Caraka, itulah nama bocah kecil
itu. Dalam usia enam tahun Caraka telah memiliki dasar-dasar ilmu yang
kuat dari ayahnya. Sebelum matahari
terbit dan mengeluarkan sinarnya Caraka bersama dengan ayahnya selalu
berlari-lari di atas pematang sawah, bagi anak seusia Caraka tentunya hal ini
sangatlah sulit karena membutuhkan keseimbangan badan dan memang ini dilakukan Palguna untuk untuk
melatih keseimbangan anaknya, setelah itu Caraka digembleng dengan kuda-kuda
karena kuda-kuda merupakan dasar dari semua aliran ilmu silat, letak kekuatan
adalah pada kedua kaki. Walaupun banyak
jurus yang dikuasai oleh seseorang tanpa mempunyai kuda-kuda yang kuat tidaklah
mustahil kalau orang itu akan tetap mudah dirobohkan dalam pertarungan.
Ditengah penduduk desa, keluarga
Palguna dikenal sebagai keluarga yang suka menolong pada sesama, terlebih untuk
membantu orang-orang yang menderita sakit, dengan keahlian obatan-obatan,
Kenangan tak segan-segan memberikan pertolongan tanpa mengharapkan
imbalan. Karena itulah mereka dicintai,
disegani, dan sekaligus juga dihormati oleh masyarakat sekitarnya. Rasa cinta, rasa segan, dan rasa hormat dari
seseorang bukan datang dari jabatan atau kedudukan seseorang melainkan dari
sikap untuk hidup bermasyarakat, walaupun tanpa jabatan, pangkat atau kedudukan
kalau sikap dan tingkah laku yang baik itu ada pada diri seseorang tentu semua
itu akan dimiliki, dan sebaliknya bagaimanapun tingginya kedudukan seseorang tetapi didasari oleh sikap sombong,
angkuh, iri, dengki terlebih dikuasai oleh sikap angkara murka tentu yang
muncul adalah kemunafikan. Di depannya yang dimunculkan sikap hormat
ataupun tampak mencintai dan segan padahal yang ada hanyalah perasaan takut
karena sadar akan kelemahannya. Lebih jauh dari itu bahaya yang bisa muncul
adalah adanya orang-orang yang mendua yang bisa menjadi musuh dalam selimut,
sewaktu-waktu dengan kekuatannya dia akan menghantam dari belakang. Itulah sekelumit cerita tentang penghuni
rumah yang ada di tengah-tengah desa di lereng Gunung Argopuro.
Malam semakin larut, udara dingin
mulai menyerang orang-orang desa yang terlelap tidur. Cuaca seperti itu membuat orang semakin
mempertebal kain selimutnya, suara jangkrikpun mulai menghilang sehingga
semakin menambah sunyi suasana malam itu.
Sementara dari arah barat desa itu tampak sekitar lima belas orang
berloncatan dengan membawa obor di tangan.
Dilihat dari loncatan-loncatannya nampak sekali bahwa mereka mempunyai
ilmu meringankan tubuh yang sangat hebat
dan tentunya mereka bukanlah orang-orang sembarangan, wajahnya tidak begitu
jelas karena mereka memakai topeng untuk menutupi wajah aslinya. Tak begitu
lama mereka telah sampai diujung desa.
“Bakar
semua rumah dan bunuh semua orang-orang desa!” teriak salah satu dari mereka
yang menjadi pimpinan. Dia laki-laki
pendek dengan perut gendut, walaupun wajahnya tertutup dengan topeng yang bentuk
matanya melotot dan pada mulutnya dihiasi dua taring ke atas dan dua lagi
kebawah yang terbuat dari kayu seperti topeng yang dipakai dalam reog, dari
kulit dadanya yang terbuka sampai sebatas perut yang gendut dapat dilihat kalau
usianya tak lebih dari empat puluh lima tahun.
Sekejab saja rumah-rumah yang dilalui mereka telah terbakar.
“Toloooong….tolooong….
kebakaran…!” teriak orang-orang sambil berlarian untuk mencoba menyelamatkan
diri dari kobaran api. Suasana yang
semula sepi, kini ramai dengan jeritan-jeritan yang menyayat hati, satu persatu
mayat bergelimpangan mati terbakar, toh seandainya mereka dapat lepas dari
kobaran api tetap akan mati akibat tebasan golok-golok maut dari orang-orang
yang bertopeng. Lolongan kematian
semakin keras dan memilukan, sementara yang lolos dari maut berlari ke rumah Ki
Buyut. Buyut adalah sebuah sebutan atas gelar yang
diberikan kepada sesepuh desa sekaligus sebagai pemimpin di desa itu, atau bisa
dikatakan sebagai Kepala Desa. Ternyata
dirumah Ki Buyut sudah banyak orang berkumpul dengan wajah dicekam
ketakutan. Ki Buyut berdiri
ditengah-tengah mereka, usianya sekitar empat puluh tahunan, tak nampak rasa
gentar pada wajahnya. Tidak jauh
dihadapannya telah berdiri pula lima belas orang bertopeng tadi yang tidak lagi
membawa obor ditangan melainkan golok yang telah merengut entah berapa nyawa
sehingga darah segar masih menempel digoloknya.
Kini semakin jelas bahwa kelima
belas orang itu menggunakan topeng yang sama dengan menggunakan baju serba hitam.
Dengan gagah Ki Buyut maju untuk menghadapi mereka.
“Siapa
kalian yang telah mengacau desa kami!” teriak Ki Buyut dengan menahan
kemarahan.
“Orang-orang
tolol, picikkah mata kalian sehingga tak dapat melihat siapa kami!” tak kalah kerasnya
pimpinan gerombolan itu membentak Ki Buyut.
“Kami
tak pernah punya urusan dengan kalian dan kami tak mengenal kalian semua!”
“Anjing-anjing
rendah, buka mata kalian dan dengarkan baik-baik. Kami adalah kumpulan Topeng
Setan!”, mendengar kata-kata itu semua orang menjadi terkejut dan semakin
tegang tak terkecuali Ki Buyut, hanya saja Ki Buyut sebagai pimpinan desa
berusaha untuk tenang dan mampu menyembunyikan keterkejutannya. Siapakah orang-orang yang menamakan
gerombolan Topeng Setan? Mereka tidak
lain adalah kumpulan orang-orang yang punya ambisi untuk menguasai dunia
persilatan dengan mengumbar sifat angkara murka, juga dikenal sebagai
gerombolan perampok yang sangat kejam karena tak pernah membiarkan korbannya
hidup, kekejamannya sangat dikenal, tetapi satu hal yang menjadi keanehan pada
mereka adalah pantangan menyentuh
wanita, mereka lebih suka melihat mayat bergelimpangan penuh darah daripada
menyentuh wanita. Sebenarnya kelompok
ini ada enam belas orang, hanya saja yang muncul saat ini hanya lima belas orang
dengan kepandaian silat yang berbeda, semua itu dapat dilihat dari lilitan kain
merah yang ada di lengan kirinya.
Tingkatan yang paling rendah adalah yang memakai tiga lilitan kain merah
di lengan kiri ada lima orang, kemudian tingkat yang lebih tinggi dengan dua
lilitan kain merah di lengan kiri ada lima orang. Tampak pula lima orang yang
mempunyai satu lilitan kain merah di lengan kiri. Memang setiap tingkat mempunyai kepandaian
ilmu silat yang berbeda. Kepandaian
seseorang untuk menguasai satu ilmu adalah tergantung dari keuletan,
kemauan dan kesungguhan yang kuat dari
dirinya sendiri yang ditunjang dengan latihan-latihan, dari situlah ia bisa
mengembangkan dirinya untuk lebih maju.
Tampaknya Si Gendut yang mempunyai sedikit kelebihan dibanding
teman-teman setingkatnya sehingga dialah
yang diangkat sebagai pimpinan dalam setiap gerakan. Satu tingkat yang paling tinggi adalah
setelah lilitan kain merah itu tidak lagi ada di lengan kirinya, dan barulah
pantas untuk disebut “guru” dalam kelompok mereka yang artinya dapat mewariskan
ilmu-ilmu yang dimiliki, tidaklah mudah untuk mencapai tingkatan ini. Sebenarnya gerombolan yang menyebut dirinya
sebagai Topeng Setan adalah sebagian kecil dari orang-orang yang menjadi
prajurit setia Jayakatwang raja
Kediri. Pada saat Jayakatwang merebut
Singosari mereka termasuk prajurit yang tangguh dimedan laga, sampai akhirnya
Singosari yang saat itu berada dibawah kepemimpinan Kertanegara dapat
dikalahkan dan tewas dalam pertempuran ini. Kelemahan Singosari pada saat itu
adalah karena pencanangan politik perluasan daerah oleh Kertanegara sehingga
banyak tentara-tentara Singosari yang dikirim keluar daerah, karena kekosongan
itulah maka dimanfaatkan oleh Raja Jayakatwang untuk melakukan penyerangan. Namun tentara-tentara Jayakatwang yang dikirim
untuk melakukan penyerangan dari utara tidak memperhitungkan kalau akan
mendapat perlawanan yang sangat sengit dibawah pimpinan Raden Wijaya yang
merupakan menantu Raja Kertanegara.
Mereka bercerai berai dan terus dikejar oleh Raden Wijaya sampai
di pesisir utara. Hanya tinggal enam
belas orang yang tersisa, mereka terus keluar masuk hutan, naik turun gunung
untuk menghindari tentara-tentara Raden Wijaya.
Keadaan berubah seratus delapan puluh derajat, saat Singasari jatuh maka
Jayakatwang mengirim armada untuk menyerang Raden Wijaya, saat ini Raden Wijaya-lah yang
dikejar-kejar tentara-tentara Jayakatwang sampai di daratan Madura. Disanalah Raden Wijaya mendapatkan
perlindungan Aria Wiraraja.
Tahun
1293 Raden Wijaya bersama dengan pasukan Mongolia melakukan penyerangan kepada
Jayakatwang. Sebenarnya kedatangan
pasukan Mongolia adalah untuk menuntut balas kepada Kertanegara yang ternyata
sudah wafat, oleh Raden Wijaya hal ini dimanfaatkan untuk diajak bersama-sama
menyerang Jayakatwang. Jayakatwang
berhasil dikalahkan dan menjadi tawanan sampai meninggal dunia. Sementara pasukan Mongolia yang merasa diatas
angin karena dapat mengalahkan Kerajaan Singosari yang sangat terkenal
ketangguhannya akhirnya menjadi terlena
dan lengah, saat tentara-tentara cina merayakan kemenangannya situasi ini
dimanfaatkan oleh Raden Wijaya untuk menyerang tentara-tentara Mongolia. Mendapat serangan secara mendadak mereka
banyak yang tewas dan sebagian yang hidup melarikan diri pulang ke daratan Cina,
Jenderal Che-p’I, Yi-k’o, dan Kau-Hasing sebagai pimpinan tentara Mongolia
akhirnya menerima hukuman setelah tiba di Mongolia. Akhirnya Raden Wijaya diangkat sebagai Raja
pertama kerajaan Majapahit dengan gelar Kertarajasa Jaya Wardana.
Keenam
belas tentara Jayakatwang yang telah lari karena dikejar-kejar Raden Wijaya
saat itu tetap menjalani hidup di hutan-hutan, mereka tidak kembali ke Kediri
ataupun bergabung kembali dengan Jayakatwang tetapi memilih untuk mempelajari
ilmu kanuragan di tengah-tengah hutan.
Kemarahan mereka semakin menjadi, api dendam mereka kembali berkobar
menyala tatkala mereka mendengar kalau raja mereka telah dikalahkan oleh Raden
Wijaya bahkan Raden Wijaya telah dinobatkan menjadi raja. Dendam! Perasaan dendam seseorang akan muncul
kembali manakala kejadian-kejadian pahit selalu muncul dalam pikiran orang itu,
dalam situasi semacam inilah ego seseorang akan muncul, kalau dia tetap mempertahankan ego maka
perasaan dendam itu tidak akan mampu untuk ditekan, yang muncul adalah rasa
kebencian. Inilah yang terjadi pada ke
enam belas pengikut Jayakatwang. Mereka
tetap tidak mau untuk mengakui akan kekuasaan Raden Wijaya. Sementara untuk melakukan perlawanan langsung
jelas tidak memungkinkan karena tidak memiliki kekuatan apapun, toh seandainya
mereka mengumpulkan kembali pengikut-pengikut Jayakatwang yang bercerai berai
rasa-rasanya juga sulit, tentunya telah banyak yang tewas atau menjadi tawanan
perang apalagi mereka juga menyadari siapa yang akan mempercayai prajurit biasa
seperti dirinya. Akhirnya jalan yang
mereka tempuh adalah membuat keonaran dengan melakukan perampokan, pembunuhan
dan pembantaian pada orang-orang Majapahit yang tidak berdosa sebagai bentuk
aksi balas dendam kepada Raden Wijaya.
Julukan Topeng Setan diberikan atas keganasan dan kebiadaban mereka,
dimana saat mereka melakukan aksinya selalu menutupi wajahnya dengan
topeng. Itulah cerita tentang Gerombolan
Topeng Setan.
“Hai,
setan-setan neraka…. Apa salah orang-orang ini sehingga kalian bunuh mereka
dengan kejam!” Suara Ki Buyut semakin
meninggi.
“Haaa…haa….haaa….”
Si Gendut tertawa-tawa dan tentunya bukanlah tawa biasa melainkan tawa dengan
menggunakan tenaga dalam yang sangat kuat, hal ini membuat orang-orang yang tak
mengenal ilmu kanuragan menjerit-jerit kesakitan bahkan tidak sedikit dari
mereka berkelojotan dengan mengeluarkan darah segar dari telinga karena
genderang telinganya pecah. Untunglah
suara si Gendut hanya sebentar.
“Hai
orang-orang tolol, hari ini adalah hari kematian kalian, tak akan aku biarkan
kalian semua hidup!” teriak Si Gendut sambil mengacung-acungkan goloknya. Dalam aturan Topeng Setan yang boleh
mengeluarkan suara adalah si pemimpin sedangkan yang lain hanya berdiri seperti patung dan selalu siap
saat mendapatkan perintah.
“Iblis
manusia keji…. Apa yang kau cari disini?!”
“Bunuh
mereka!” perintah Si Gendut tanpa menghiraukan omongan Ki Buyut, mendengar
perintah dari pimpinannya, lima orang yang memiliki tiga lilitan kain merah
di lengan kirinya serentak maju dan menyerang orang-orang desa yang seakan-akan
tak punya harapan untuk hidup. Sebagai
seorang pimpinan, Ki Buyut itu telah maju menerjang barisan kelima topeng setan
untuk melindungi rakyatnya. Terjadilah
pertarungan yang tak seimbang. Dengan
membentuk lingkaran, lima orang itu telah mengepung Ki Buyut. “Hiyaaat….”
Serangan datang dari kiri, sebuah tebasan golok mengarah ke leher, dengan
lincah Ki Buyut menggeser kakinya ke kanan, “wuuuutt…” tebasan itu mengenai
tempat kosong. “Hiyaaat…” disusul serangan dari depan dan belakang secara
bersamaan. “wuuut…deg…deess…..” dengan kecepatan yang luar biasa tangan Ki
Buyut bergerak untuk menagkis serangan dari depan sementara kakinya menendang
ke belakang dengan posisi badan agak membungkuk. Dua serangan dapat dipatahkan bahkan serangan kaki Ki Buyut hampir melukai
penyerang dari belakang kalau saja tidak cepat membuang dirinya ke kanan dengan melakukan jungkir balik untuk
menghindari serangan. Ternyata Ki
Buyut itu bukanlah orang yang buta akan
ilmu silat walaupun tingkat kepandaiannya belum begitu tinggi. Saat menghalau dua serangan yang sangat
mematikan itu, Ki Buyut menyangka akan datang serangan yang lebih ganas lagi
karena secara bersamaan tiga orang yang lain menyerang dari tiga penjuru, hal
ini sangatlah mengejutkan dan merepotkan Ki Buyut, sekalipun seseorang
mempunyai kepandaian ilmu silat yang tinggi tetaplah akan repot menghadapi
serangan seperti itu walaupun si penyerang adalah gerombolan Topeng Setan yang
tingkat kepandaiannya paling rendah tetapi mereka tidak bisa dianggap enteng
dalam pertarungan, mereka telah banyak memakan garam. “Duuuk…deeess…” sebuah tendangan tepat mengenai dada Ki Buyut, ia terhuyung beberapa langkah, belum sempat Ki
Buyut memperbaiki kuda-kudanya yang melemah, kelima penyerang berlompatan
dengan memutar-mutarkan golok ditangan, orang-orang yang melihat pertarungan
itu menjerit tertahan, secara serentak kedua tangannya menutup mata tak berani
untuk melihat apa yang akan dialami oleh Ki Buyut. Sementara Ki Buyut sendiri hanya dapat
memejamkan mata pasrah dengan apa yang akan terjadi pada dirinya. “Ya Tuhan,
kalau ini memang kematianku aku pasrahkan segalanya pada-Mu”, dalam saat yang
kritis seperti itu Ki Buyut masih sempat untuk memasrahkan dirinya pada Yang
Kuasa. Maut tinggal sejengkal lagi,
dengan kecepatan yang luar biasa golok-golok itu sudah mengarah ke sasaran,
saat kelima lawannya mengayunkan golok kira-kira tinggal sepuluh centi meter sebelum golok itu menyentuh kepala Ki Buyut
tiba-tiba “traang…traangg…traangg..traang…traaaang…bruuuk” sebuah benturan
benda keras dan lima orang yang menyerang Ki Buyut terpental beberapa tombak, tanpa diketahui
orang lain seorang laki-laki berusia
empat puluh lima tahunan berdiri dengan pedang di tangan,wajahnya tampak
tenang, sorot matanya tajam membuat orang-orang gentar untuk menatapnya, semua
orang tampak terkejut dan lega melihat kejadian itu. Dengan sisa tenaga kelima orang kelompok Topeng Setan berusaha untuk berdiri, alangkah terkejutnya
mereka saat melihat goloknya yang patah dan tinggal separo, demikian pula
kesepuluh temannya yang dari tadi hanya diam melihat jalannya pertarungan.
“Setan
alas, siapa kau yang berani ikut campur urusanku…!” bentak Si Gendut berang.
“Siapapun
aku, manusia-manusia seperti kalian tak perlu tahu namaku” jawab laki-laki itu
dengan gagahnya.
“Kurang
ajar, rupanya kau ingin mampus!” Si Gendut semakin gusar.
“He..he..he…
setahuku topengmu hanya untuk menakuti anak-anak kecil saja” ejek lelaki itu,
“atau memang tampangmu lebih buruk dari topengmu”
“Cincang
manusia sombong itu!” perintah Si Gendut, serentak lima orang yang telah
berdiri tadi berloncatan maju kembali.
“Eiiit…tunggu
dulu sobat…” tahan lelaki itu, “apa kalian tidak malu sebagai tokoh persilatan
membiarkan orang tak berdaya berada di tengah-tengah pertarungan?” kembali lelaki itu melontarkan ejekan sinis
sambil merengkuh bahu Ki Buyut yang telah terluka, ia memapah Ki Buyut ke
pinggir, saat ia membalikkan tubuhnya di bawah keremangan malam serentak
orang-orang desa yang masih dicekam rasa takut berguman antara percaya dan
tidak. “Palguna…?!” Tidak salah pengelihatan orang-orang desa itu karena lelaki
itu memang Palguna. Mengapa Palguna
tiba-tiba muncul dalam saat-saat yang kritis? Kemanakah Palguna saat keributan
terjadi? Marilah kita tengok kembali ke
belakang saat terjadi keributan.
Jeritan
orang-orang yang meminta pertolongan dan jeritan kematian membangunkan keluarga
Palguna yang telah terlelap tidur. “Ibu,
suara apakah itu?” Tanya Caraka pada Ibunya.
“Entahlah
nak, rupanya ada kekacauan di desa” jawan Kenanga ibunya. Kreek… pintu depan terbuka, Palguna masuk
dengan wajah cemas, “Celaka, Topeng Setan menyerang Desa” kata Palguna pada
istrinya, “Siapakah Topeng Setan itu, ayah?” Caraka menyela.
“Topeng
Setan adalah gerombolan penjahat besar dan sangat kejam” Palguna mencoba untuk
menerangkan pada anaknya.
“Mengapa
mereka menyerang desa kita?” Tanya Caraka lagi.
“Entahlah,
mereka telah terbawa sifat angkara murka”
“Apakah
itu angkara murka ayah?” Caraka masih mencoba untuk bertanya.
“Angkara
murka adalah sifat yang didasari oleh nafsu untuk menguasai sesuatu” jelas
Palguna.
“Berarti
kalau saya ingin menguasai ilmu silat dari ayah dan ibu juga termasuk angkara
murka?” Tanya Caraka yang semakin tak mengerti, tapi ia adalah anak cerdas dan
selalu ingin tahu, “Bukan anakku, menguasai sesuatu disini adalah menguasai
yang bukan menjadi haknya, itu adalah sifat-sifat setan yang akan menghancurkan
manusia” mendengar penjelasan ayahnya Caraka mengangguk-angguk dan mulai
mengerti maksudnya, “Kalau begitu kita harus memberantasnya ayah?” katanya
dengan suara yang gagah.
“Ya,
benar anakku” sahut Kenanga.
“Biar
Caraka yang menghadapi mereka…” mendengar kata-kata bocah kecil yang sudah
menunjukkan kegagahan dan keberanian, suami istri itu merasa bangga,
bagaimanapun juga kelak ia akan menjadi penerusnya, ibarat “kacang ora ninggal
lanjaran” , kalau jiwa orang tua yang diajarkan pada anak-anaknya mencerminkan
jiwa yang baik tentunya sang anak juga akan mewarisinya, dan itu sudah terlihat
pada Caraka.
“Anakku,
kamu bersama ibu dirumah, biar ayah yang membantu orang-orang yang butuh
pertolongan” kata Palguna pada anaknya.
“Saya
ikut, ayah!” rengek Caraka.
“Mereka
cukup kuat, disamping jumlahnya banyak mereka berilmu tinggi” Palguna mencoba
untuk menjelaskan pada anaknya.
“Saya
tidak takut ayah…” sungguh anak yang sudah mempunyai nyali besar, tak ada
perasaan takut pada dirinya.
“Caraka,
kau memang anak pemberani tapi ini sangatlah membahayakan dirimu” Kenanga mulai
ikut bicara.
“Bukankah
kita harus menolong orang-orang yang lemah?” Caraka kembali mengadu argumennya.
“Benar
anakku, kalau memang mampu jangan setengah-setengah kita membantunya, dan
kitapun harus melihat kemampuan kita sendiri, ibarat kamu tak bisa berenang
suatu saat ada temanmu yang tenggelam, apakah kamu akan menceburkan diri untuk
menolongnya? Bisa-bisa keduanya bisa
mati bersama, tapi bukan berarti harus diam
tentunya kita punya cara untuk menolongnya bukan?” Kenanga memberikan
pengertian pada anaknya, rupanya Caraka bisa menerima penjelasan dari
ibunya. Dengan sekali lompat Palguna
telah berada di luar rumah dan dengan kepandaiannya dia berlompatan di kegelapan
malam menyambar orang-orang yang telah bercerai berai mencari selamat, tak aneh kalau dengan
kepandaian yang dimiliki Palguna telah membawa tidak sedikit orang ke rumahnya,
yang terluka segera mendapat pertolongan
dari Kenanga, rata-rata mereka mengalami luka bakar dan luka bacokan,
sungguh sangat mengerikan. Pada saat
yang tepat Palguna telah sampai di rumah Ki Buyut, tepat saat lima orang
bertopeng melakukan serangan secara bersamaan dengan menggunakan golok, dengan
loncatan yang indah dan cepat Palguna meluncur ke arah pertarungan, saat kakinya
akan menyentuh tanah dengan kecepatan yang luar biasa Palguna mencabut pedang
yang ada di punggungnya dan berputar mengelilingi Ki Buyut yang sempoyongan
akibat tendangan lawan, terdengar benturan keras dengan percikan api yang tak
lain adalah benturan antara pedang Palguna dengan kelima golok orng-orang
bertopeng, kelima orang penyerang Ki Buyut jatuh terpental beberapa tombak,
sementara Palguna berdiri tegak disamping Ki Buyut dengan pedang di tangan. Dalam pertarungan antara hidup dan mati,
orang yang berada pada posisi kemenangan akan mudah mengatakan bahwa nyawa
lawan berada digenggamannya, mereka tak sadar bahwa salah satu rahasia Tuhan
yang tak dapat diketahui manusia adalah kematian. Rupanya Tuhan belum menghendaki kematian Ki
Buyut, disaat yang kritis dengan perantara Palguna Tuhan telah menyelamatkan Ki
Buyut dari maut. Kini marilah kita
kembali pada Palguna yang telah berdiri dengan gagahnya didepan gerombolan
Topeng Setan.
“Sekarang
tinggal aku, silahkan kalian boleh menyerang” kata Palguna tenang. Tanpa
komando lagi kelima orang yang tadi menyerang Ki Buyut serentak menyerang Palguna dengan tangan
kosong. Palguna bukanlah orang yang
rendah, melihat lawannya tak bersenjata semua, diapun menyarungkan pedangnya
kembali. Lima orang itu berlari
mengelilingi Palguna, semakin lama larinya semakin cepat seakan mereka terbang
di angkasa, sesekali kakinya menyentuh tanah untuk tumpuan dan melesat lagi ke
udara. Kalau orang awam melihat gerakan
mereka seperti tak teratur dan terkesan semrawut, kadang mereka berputar-putar,
kadang bergerak menyilang, inilah salah satu ilmu mereka yang dikenal dengan
nama ilmu silat lingkaran setan.
Walaupun kelihatan saling berlompatan kaki dan tangan mereka melakukan
serangan-serangan dengan menggunakan tenaga dalam yang cukup kuat. Palguna hanya berdiri tanpa memasang
kuda-kuda, matanya tajam melihat setiap gerakan lawan dan bibirnya selalu
tersenyum sesekali mengeluarkan kata-kata ejekan, “Yang kutahu Topeng Setan
adalah gerombolan pengecut, mengapa tidak semua maju sekalian
menghadapiku!?” wuuut…sebuah sapuan mengarah
ke kaki Palguna, melihat hal itu Palguna hanya mengangkat kaki dan serangan itu
mengenai tempat kosong, disusul dua orang yang bersamaan mengarahkan pukulan ke
kepala Palguna, tetapi belum sempat tangan itu menyentuh sasaran dua orang itu
cepat-cepat menarik tangannya kembali saat melihat Palguna yang sengaja akan
mengadu benturan tangan, dua lawannya juga bukanlah orang yang bodoh, mereka
tahu kalau tentunya Palguna bukan saja mengadu benturan tangan melainkan dengan
suatu kekuatan tenaga dalam yang sangat hebat, hal ini akan mencelakakan dirinya
sendiri, makanya kedua orang itu secepat kilat menarik serangannya kembali dan
melakukan gerakan berjempalikan dua kali diudara untuk menghindari benturan
dengan tangan Palguna, sebelum mereka sampai ditanah, Deeess…. Tak pernah mereka perhitungkan
sebelumnya bahwa menghindari benturan
dengan tangan Palguna jauh lebih berbahaya karena saat Palguna
mendorongkan tangannya yang dialiri tenaga penyedot yang kuat akan
menjadi serangan jarak jauh yang tak kalah bahayanya bagi lawan jika terjadi
kegagalan benturan dengan lawan, sebaliknya kalau benturan itu terjadi
akibatnya adalah seperti yang dialami oleh ketiga lawannya yang lain. Saat Palguna melepaskan tangannya tiga orang
itu bersama-sama melakukan serangan pada Palguna, mereka sangat terkejut saat
tangannya menempel pada tubuh Palguna, terasa tenaga yang sangat kuat membetot
tubuh dan sulit untuk ditarik kembali, tiga pasang tangan menempel ditubuh
Palguna, mereka mencoba untuk menarik tangannya dengan menggunakan tenaga
tetapi semakin banyak mereka mengeluarkan tenaga semakin habislah tenaganya, secara perlahan
tenaganya mulai mengendor dan terlepas saat mereka jatuh terkulai tak berdaya,
mati kehilangan tenaga. Kematian tiga
orang itu tidaklah mengerikan dibandingkan dua temannya yang terkena pukulan
jarak jauh akibat menghindari benturan
tangan Palguna. Akibatnya dadanya pecah,
darah segar keluar dari hidung, mulut, telinga dan matanya. Semua mata terbelalak menyaksikan semua
itu. Bagi sepuluh Topeng Setan yang
tersisa hal ini tidaklah mengerikan karena mereka telah malang melintang
didunia persilatan yang penuh dengan kekejaman bahkan tidak sedikit manusia
yang mereka bunuh dengan lebih mengerikan.
Ki Buyut dengan beberapa orang-orang desa yang menyaksikan pertarungan
itu sangatlah kagum, mereka melongo dan tak pernah menyangka kalau Palguna yang
dikenal selama ini sebagai seorang petani biasa ternyata memiliki keahlian dan
kepandaian ilmu silat, kini barulah mata mereka terbuka kalau Palguna seorang
pendekar sejati, terlebih saat mendengar sepuluh orang Topeng Setan
mengeluarkan teriakan tertahan, “Pendekar Banaspati..!”. Memang dalam usia dua puluh lima tahunan
Palguna sudah malang melintang di dunia persilatan, sepak terjangnya di dunia
persilatan memberantas kejahatan telah menggetarkan dunia persilatan, terlebih dalam menghadapi
lawan Palguna hanya menggunakan beberapa jurus saja tak lebih dari lima jurus
sudah dapat merobohkan lawannya tanpa melakukan gerakan seperti yang dialami
lima orang Topeng Setan tadi. Itulah
Ilmu Banaspati yang sangat hebat dan mengerikan. Menurut cerita Banaspati adalah sejenis
mahkluk halus yang bentuknya seperti api berjalan dan akan menyerang orang yang
melihatnya dengan cara menghisap darahnya sampai habis sehingga orang itu akan
mati kehabisan darah. Ilmu Banaspati
yang dikuasai Palguna sebenarnya adalah ilmu sesat yang kejam yang diperoleh
dari gurunya seorang tokoh golongan hitam yang sangat kejam, karena kebersihan
hati dan keberhasilannya untuk menahan
segala hawa nafsu setan dalam upaya
mengendalikan dirinya untuk memanfaatkan ilmu itu guna memerangi
kejahatan. Tak ada ilmu yang jahat dan
tak ada ilmu yang baik, semua itu tergantung dari manusianya yang memiliki ilmu
tersebut, kalau si pemilik ilmu tersebut dikuasai nafsu-nafsu setan tentunya
ilmu yang dimiliki akan menjadi ilmu hitam dan akan lebih kejam lagi
kekuatannya karena nafsu emosi yang
tertanam pada manusia dapat membangkitkan suatu kekuatan yang dahsyat. Ketika kerajaan kecil yang berada
ditengah-tengah hutan Tarik yang dibuka oleh Raden Wijaya menantu dari Raja
Kertanegara tiba-tiba mengalami perkembangan dan perubahan besar dan berhasil
mengalahkan Raja Jayakatwang bahkan mengusir tentara-tentara Cina saat itulah
orang mulai mengenal adanya pemerintahan baru yaitu Majapahit. Kanon menurut cerita kata Majapahit
diambilkan dari istilah buah Maja yang ditemukan Raden Wijaya saat membuka
hutan Tarik dan saat buah itu dirasakan ternyata rasanya sangat pahit, sehingga
Raden Wijaya menyebutnya sebagai Majapahit.
Saat penobatan Raden Wijaya
sebagai Raja Pertama dengan Gelar
Kertarajasa Jaya Wardana situasi wilayah masih mengalami kekacauan
karena raja-raja kecil masih banyak yang tidak mengakui Raden Wijaya, yang
terjadi adalah munculnya perang saudara, penindasan, dan hukum siapa kuat
itulah yang menang sehingga perampokan merajalela. Melihat kenyataan seperti itu Palguna
tergerak hatinya untuk membela dan melindungi yang lemah. Sepak terjangnya memberantas kejahatan dengan
ilmu banaspatinya yang membuat dia tersohor dengan sebutan Pendekar
Banaspati. Bahkan secara tidak sengaja
Palguna berhasil menghancurkan sarang penyamun yang akan melakukan
pemberontakan kepada Raden Wijaya, dalam pertarungan itulah Palguna bertemu
dengan Nambi yang mendapat tugas dari Raden Wijaya. Karena keberhasilan itu sebagai bentuk balas
jasa Nambi diangkat sebagai Patih oleh Raden Wijaya. Sementara Palguna lebih memilih sebagai
manusia bebas yang membiarkan kakinya melangkah kemanapun.
“cecurut
busuk, ternyata kalian mengenalku!” kata Palguna
“Badebah,
kau tak memandang kami!” si Gendut angkat bicara “Jangan kau bersombong hati,
nama besarmu tak kan ada artinya bagi kami!”
“Ha..ha..ha…suaramu
terdengar lantang, tapi hatimu ciut dan mukamu seperti kapas!” kata Palguna
penuh ejekan.
“Setan
busuk, jangan kau kira kami takut menghadapimu!” Bentak si Gendut untuk
menyembunyikan rasa gentarnya menghadapi Palguna, memang begitu tahu yang ada
dihadapannya ternyata adalah Pendekar Banaspati rasa keder mulai menyerang
hatinya namun sebagai seorang pimpinan si Gendut menutupi rasa kedernya itu
terlebih sifatnya yang selalu jumawa membuat dia mampu untuk menutupinya.
“Ayo,
tunjukkan pada dunia bahwa Topeng Setan hanyalah gerombolan yang hanya bisa
main keroyok!” kata-kata Palguna yang begitu membanggakan namun sekaligus juga
merendahkan gerombolan Topeng Setan.
“Bangsat….robek
mulutnya yang lancang itu!” rupanya si Gendut terpancing dengan kata-kata
Palguna dan memberi komando kepada anak buahnya , dan diapun langsung maju
menerjang maju diikuti Sembilan temannya yang lain. Kata-kata Palguna tidaklah salah karena
memang selama malang melintang di dunia persilatan Topeng Setan selalu
bersama-sama dalam menghadapi lawan, bukan berarti mereka gerombolan yang licik
dan penakut tetapi karena memang ilmu-ilmu silat yang mereka kuasai merupakan
jurus-jurus yang hanya dapat dilakukan secara bersama-sama, dan mereka semua
bukanlah orang-orang yang takut mati.
“Hiyaaaaa…!”
teriak si Gendut dengan melakukan tendangan, dengan loncatan si Gendut
mengangkat kaki kirinya tinggi-tinggi lalu dilepaskan turun dengan kekuatan dan
kecepatan seperti orang yang sedang mencangkul, sedangkan temannya yang lain
melakukan gerakan membacokkan goloknya, membabat, menusuk dari beberapa penjuru. Kalau bukan Palguna yang menjadi lawan mereka
tentulah sangat kuwalahan, tetapi yang dihadapi Topeng Setan saat ini adalah
Pendekar Banaspati yang namanya pernah menggetarkan dunia persilatan. Palguna memutar-mutar tubuhnya bak putaran
air di sungai, saking cepatnya putaran itu sehingga hanya baying-bayangan yang
Nampak. Wusss… tubuh itu melesat
ke bawah dan Plaaak….tangan Palguna telah menempel di dada si Gendut, saat
melihat serangan itu si Gendut tak mampu untuk mengelak karena saking cepatnya
gerakan Palguna sehingga dia membiarkan dirinya menerima serangan Palguna
dengan mengerahkan seluruh tenaga dalam yang ia miliki. Itulah jurus ilmu banaspati menyerang
mangsanya. Tarik menarik dengan
menggunakan tenaga dalam akhirnya
terjadi kembali. Si Gendut tampak
mengeluarkan keringat yang cukup banyak.
Melihat pimpinannya dalam bahaya kesembilan Topeng Setan melakukan
serangan, tetapi baru lima langkah mereka maju ada kekuatan yang menyedot tubuh
mereka sehingga langkah mereka menjadi terhuyung-huyung dan terus maju ke arah
Palguna. Bagaikan kekuatan magnet, tenaga
yang dikeluarkan Palguna menarik benda yang memiliki kekuatan, saat kesembilan
lawanya melangkah mereka telah mengerahkan
tenaga intinya, hal ini tidak
mereka sadari bahwa kalau tenaganya dibawah kekuatan Palguna mereka akan
tersedot dan menempel pada tubuh Palguna. Memang itulah kenyataannya, kesepuluh
orang itu telah menempel pada tubuh Palguna.
Keringat mereka bercucuran.
Palguna nampak tenang dengan sesekali mengumbar senyuman. Kalau saja kekuatan lawan tidak menyatu tentu
sangatlah mudah bagi Palguna untuk melumpuhkannya. Mereka semua rata-rata memiliki tenaga dalam
yang tinggi, dapat dibayangkan bagaimana kuatnya tenaga itu bersatu, belum lagi
su Gendut yang menjadi pimpinan mereka yang tingkat ilmunya di atas mereka, hal
ini membuat kekuatan mereka menjadi bertambah.
Bagaimanapun tingginya ilmu seseorang dan bagaimanapun saktinya
seseorang tentu tetap akan terdesak menghadapi hal seperti ini. Palguna mengerahkan seluruh tenaganya,
setetes demi setetes keringatnya mulai berjatuhan, wajahnya memerah seperti
orang yang sedang mengangkat beban berat.
“Haa…haa…haa…” tiba-tiba si Gendut tertawa terbahak-bahak, suara
tertawanya memekakkan telinga apalagi dengan menggunakan tenaga dalam yang
cukup kuat. Kembali orang-orang desa
yang menyaksikan pertempuran itu berkelojotan tak mampu menahan suara itu, satu
persatu mereka yang tidak memiliki ilmu tenaga dalam berjatuhan dengan darah
keluar dari kedua telinganya dan tak bergerak lagi. Sementara mereka yang memiliki ilmu tenaga
dalam atau setidaknya mereka sempat menutup telinganya rapat-rapat masih mampu
bertahan, salah satunya adalah Ki Buyut.
Ugh … bruuuk, suara keluhan tertahan dan benda jatuh ke tanah yang
ternyata kesepuluh Gerombolan Topeng itu terpental dengan darah segar keluar
dari mulutnya. Sesaat mereka mengejang lalu dian tak berkutik untuk
selamanya. Palguna masih berdiri tegak,
darah kental keluar dari mulutnya yang masih tersenyum. Orang-orang yang ada disekitarnya hanya dapat
melongo tertegun dan hampir tak percaya dengan apa yang mereka lihat di depan
matanya sendiri. Mereka tersadar kalau
Palguna berhasil melumpuhkan lawannya hingga tewas, serentak mereka berteriak
kegirangan. “Hiduup Palguna…hidup
Palguna!” sambil berlari mendekati Palguna yang masih berdiri, suasana yang semula ramai kegirangan mendadak
menjadi hening tak ada suara yang keluar sedikitnya, mereka tertegun dan
sebentar saja terdengar sesenggukan tangis yang tertahan, mereka kaget saat
menyentuh Palguna ternyata badan Palguna yang masih tetap berdiri tegak dengan senyuman
telah kaku tak denyut nadi sedikitpun, Malaikat telah mencabut nyawanya. Ya, memang saat si Gendut mengeluarkan suara
tertawanya konsentrasi Palguna menjadi buyar, sehingga pikirannya menjadi
pecah. Ia mencoba untuk menambah
kekuatannya sebagai akibatnya tenaga penyedot berbalik menjadi tenaga penolak
yang membuat kesepuluh lawannya terpelanting roboh sementara Palguna sendiri
mengalami luka dalam yang sangat hebat karena tenaga dalam yang dia keluarkan
sangat berlebihan akibatnya juga menyerang dirinya sendiri, seluruh
saraf-sarafnya pecah, luka dalamnya begitu hebat sampai Palguna mengalami
kematian. Tragis, kejadian yang hanya
memakan waktu setengah dari malam telah menghancurkan desa itu. Matahari mulai menampakkan sinarnya. Warga desa yang masih tersisa menggali
lubang-lubang untuk menguburkan mayat-mayat yang bergelimpangan termasuk lima
belas gerombolan Topeng Setan yang menjadi penyebab kehancuran desa itu. Nampak pula Kenanga dan Caraka anaknya bersimpuh
digundukan tanah kuburan Palguna. Tak
ada air mata yang menetes di pipinya, mereka cukup tabah walaupun rasa
kehilangan itu tetap ada. Kematian
bukanlah suatu hal yang mereka takuti terlebih mati sebagai pendekar yang
memerangi kejahatan dan membela kebenaran.
Mereka bangga dengan nama besar Palguna sebagai suami sekaligus ayah
dari anaknya. Itulah sifat-sifat yang
juga diajarkan pada Caraka anaknya yang kelak akan meneruskan perjuangan
ayahnya. Yang termudah untuk membentuk
kesabaran, khususnya dalam menghadapi petaka dan bencana ialah dengan memahami
hakekat kehidupan dunia. Kehidupan dunia
bukanlah surga kebahagiaan atau tempat tinggal abadi, tetapi medan pelaksanaan
tugas dan menempuh ujian dan cobaan.
Manusia diciptakan untuk diuji
agar lulus untuk memasuki kehidupan abadi di akherat, menempati surga
dan terbebas dari neraka. Apabila
seseorang telah benar-benar menyadari akan hal itu dia tidak akan terkejut bila
ditimpa musibah. Sebaliknya apabila seseorang
membayangkan kehidupan dunia sebagai jalan mulus tanpa rintangan dan serba
indah, maka bila ditimpa sedikit kesulitan saja dia terperangah, terperanjat,
gelisah, kehilangan akal dan tak tahu harus kemana berpegangan.
****)(****