Monday, April 24, 2017

Kitab Naga Bagian 1 Episode 1


KITAB NAGA
(Karya:  Mas Wient)
Bagian 1  Episode 1
            Gunung Argopuro merupakan deretan Pegunungan Seribu yang ada di Pesisir Utara Jawa, tidak terlalu menjulang tinggi dan banyak dikelilingi bebatuan kapur, aliran sungai yang sangat jernih dan dingin ada yang keluar dari bebatuan atau pasir yang banyak bunganya tanjung putih, serta mengalir seperti sungai Gangga, hal ini menunjukkan bahwa wilayah ini bisa dikatakan subur untuk pertanian.   Di lereng Gunung Argopuro nampak suasana sepi dan sunyi, hanya suara-suara jangkrik yang terdengar di sela-sela hembusan angin malam. Tampak rumah-rumah penduduk yang terbuat dari anyaman bambu hanya diterangi sebuah obor di setiap sudut-sudut ruangannya.  Sementara di tengah-tengah perkampungan ada sebuah rumah yang paling besar dan nampak megah dibandingkan yang lain. Penghuni rumah itu adalah Palguna, seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun.  Palguna bukanlah orang sembarangan, semasa mudanya  dia telah malang melintang di dunia persilatan memberantas kejahatan dan membela kebenaran, sepak terjangnya disegani kawan maupun lawan.  Sikapnya yang lembut dan sederhana menggambarkan bahwa dia bukanlah orang yang suka memamerkan kepandaian.  Postur tubuhnya sedang, tidak terlalu kekar bahkan dapat dikatakan bahwa tubuhnya sedikit gombyor bagaikan orang yang kurang gerak badan, keadaan seperti itulah yang membuat orang tak pernah mengira kalau sebenarnya Palguna seorang pendekar yang pernah menggemparkan dunia persilatan.  Diusia yang semakin tua Palguna memilih untuk hidup tenang ditengah-tengah penduduk desa dan menjadi petani. Baru sekitar enam tahun lalu Palguna datang ke desa tersebut bersama dengan istrinya yang sedang hamil tua.  Kenanga, itulah nama wanita yang menjadi istrinya.  Kenanga usianya lebih tua lima tahun dari Palguna, tetapi garis-garis yang ada pada wajahnya menunjukkan bahwa semasa mudanya ia adalah seorang wanita yang cantik dengan lekuk-lekuk tubuhnya sebagai wanita sejati, tak jarang banyak laki-laki yang jatuh cinta bahkan tergila-gila pada Kenanga.  Walaupun sikapnya lembut namun Kenanga bukanlah wanita yang lemah.  Kalau diukur dengan kepandaian ilmu silat memang Kenanga jauh dibawah suaminya.  Satu kelebihan yang dimiliki kenanga  adalah keahliannya dalam hal obat-obatan dan ilmu meringankan tubuhnya yang telah mencapai taraf kesempurnaan.  Kenangan adalah anak sekaligus murid tunggal dari seorang Tabib terkenal dilereng Gunung Merapi yang dikenal dengan julukan Ki Lumpuh karena memang kedua kakinya yang lumpuh, sedangkan ibunya seorang wanita biasa yang tidak pernah belajar ilmu kanuragan. Sebenarnya Ki Lumpuh bukanlah orang sembarangan tetapi dia adalah putra mahkota dari Raja Sima yang berkuasa di Kaling.  Raja Sima terkenal sebagai Raja yang tegas, jujur, bijaksana dan adil.  Hal ini juga diterapkan dan diteladani oleh rakyatnya, bahkan barang-barang yang tercecer dijalanpun tidak ada yang berani untuk memungutnya, kecuali yang mempunyai sendiri. Dalam hal hukumpun juga benar-benar ditegakkan, sampai pada suatu saat ada seorang raja dari daerah lain ingin menguji kejujuran rakyat Kaling dengan meletakkan pundi-pundi yang berisi emas permata di suatu jalan.  Sampai tiga tahun lamanya pundi-pundi itu masih tetap utuh tak ada yang berani mengambil, pada suatu hari putra mahkota berjalan-jalan melewati jalan itu, dan tanpa sengaja kakinya menyentuh pundi-pundi itu, hal ini dilaporkan pada Raja Sima. Mendengar laporan bahwa yang menyentuh adalah putranya, Raja Sima memerintahkan agar dihukum penggal leher, namun atas saran dari beberapa penasehat kerajaan hukuman itu tidak jadi dilaksanakan dengan pertimbangan bahwa kaki Putra Mahkotalah yang bersalah, sehingga Putra Mahkota dijatuhi hukuman potong kaki. Akhirnya kedua kaki Putra Mahkota itu dipotong demi menegakkan hukum.  Setelah kejadian itu Putra Mahkota memilih untuk tinggal di lereng Gunung Merapi dengan ditemani istrinya yang setia, sejak saat itulah orang-orang memanggil dengan sebutan Ki Lumpuh.
            Disamping Kenanga masih ada anak laki-laki yang berusia enam tahun.  Tak seperti anak-anak seusianya, si kecil buah perkawinan antara Palguna dan Kenanga  telah nampak kecerdasannya, sorot matanya yang tajam membuat orang-orang gentar untuk menatapnya, senyum yang selalu menghiasi wajahnya dengan lesung pipit di pipinya menambah ketampanan yang ia warisi dari kedua orang tuanya.  Caraka, itulah nama bocah kecil itu.  Dalam usia enam tahun  Caraka telah memiliki dasar-dasar ilmu yang kuat dari ayahnya.  Sebelum matahari terbit dan mengeluarkan sinarnya Caraka bersama dengan ayahnya selalu berlari-lari di atas pematang sawah, bagi anak seusia Caraka tentunya hal ini sangatlah sulit karena membutuhkan keseimbangan badan  dan memang ini dilakukan Palguna untuk untuk melatih keseimbangan anaknya, setelah itu Caraka digembleng dengan kuda-kuda karena kuda-kuda merupakan dasar dari semua aliran ilmu silat, letak kekuatan adalah pada kedua kaki.  Walaupun banyak jurus yang dikuasai oleh seseorang tanpa mempunyai kuda-kuda yang kuat tidaklah mustahil kalau orang itu akan tetap mudah dirobohkan dalam pertarungan.
            Ditengah penduduk desa, keluarga Palguna dikenal sebagai keluarga yang suka menolong pada sesama, terlebih untuk membantu orang-orang yang menderita sakit, dengan keahlian obatan-obatan, Kenangan tak segan-segan memberikan pertolongan tanpa mengharapkan imbalan.  Karena itulah mereka dicintai, disegani, dan sekaligus juga dihormati oleh masyarakat sekitarnya.  Rasa cinta, rasa segan, dan rasa hormat dari seseorang bukan datang dari jabatan atau kedudukan seseorang melainkan dari sikap untuk hidup bermasyarakat, walaupun tanpa jabatan, pangkat atau kedudukan kalau sikap dan tingkah laku yang baik itu ada pada diri seseorang tentu semua itu akan dimiliki, dan sebaliknya bagaimanapun tingginya kedudukan  seseorang tetapi didasari oleh sikap sombong, angkuh, iri, dengki terlebih dikuasai oleh sikap angkara murka tentu yang muncul adalah  kemunafikan.  Di depannya yang dimunculkan sikap hormat ataupun tampak mencintai dan segan padahal yang ada hanyalah perasaan takut karena sadar akan kelemahannya. Lebih jauh dari itu bahaya yang bisa muncul adalah adanya orang-orang yang mendua yang bisa menjadi musuh dalam selimut, sewaktu-waktu dengan kekuatannya dia akan menghantam dari belakang.  Itulah sekelumit cerita tentang penghuni rumah yang ada di tengah-tengah desa di lereng Gunung Argopuro.
            Malam semakin larut, udara dingin mulai menyerang orang-orang desa yang terlelap tidur.  Cuaca seperti itu membuat orang semakin mempertebal kain selimutnya, suara jangkrikpun mulai menghilang sehingga semakin menambah sunyi suasana malam itu.  Sementara dari arah barat desa itu tampak sekitar lima belas orang berloncatan dengan membawa obor di tangan.  Dilihat dari loncatan-loncatannya nampak sekali bahwa mereka mempunyai ilmu meringankan tubuh yang sangat  hebat dan tentunya mereka bukanlah orang-orang sembarangan, wajahnya tidak begitu jelas karena mereka memakai topeng untuk menutupi wajah aslinya. Tak begitu lama mereka telah sampai diujung desa.
“Bakar semua rumah dan bunuh semua orang-orang desa!” teriak salah satu dari mereka yang menjadi pimpinan.  Dia laki-laki pendek dengan perut gendut, walaupun wajahnya tertutup dengan topeng yang bentuk matanya melotot dan pada mulutnya dihiasi dua taring ke atas dan dua lagi kebawah yang terbuat dari kayu seperti topeng yang dipakai dalam reog, dari kulit dadanya yang terbuka sampai sebatas perut yang gendut dapat dilihat kalau usianya tak lebih dari empat puluh lima tahun.   Sekejab saja rumah-rumah yang dilalui mereka telah terbakar.
“Toloooong….tolooong…. kebakaran…!” teriak orang-orang sambil berlarian untuk mencoba menyelamatkan diri dari kobaran api.   Suasana yang semula sepi, kini ramai dengan jeritan-jeritan yang menyayat hati, satu persatu mayat bergelimpangan mati terbakar, toh seandainya mereka dapat lepas dari kobaran api tetap akan mati akibat tebasan golok-golok maut dari orang-orang yang bertopeng.  Lolongan kematian semakin keras dan memilukan, sementara yang lolos dari maut berlari ke rumah Ki Buyut.  Buyut  adalah sebuah sebutan atas gelar yang diberikan kepada sesepuh desa sekaligus sebagai pemimpin di desa itu, atau bisa dikatakan sebagai Kepala Desa.  Ternyata dirumah Ki Buyut sudah banyak orang berkumpul dengan wajah dicekam ketakutan.  Ki Buyut berdiri ditengah-tengah mereka, usianya sekitar empat puluh tahunan, tak nampak rasa gentar pada wajahnya.  Tidak jauh dihadapannya telah berdiri pula lima belas orang bertopeng tadi yang tidak lagi membawa obor ditangan melainkan golok yang telah merengut entah berapa nyawa sehingga darah segar masih menempel digoloknya.  Kini semakin jelas bahwa  kelima belas orang itu menggunakan topeng yang sama dengan menggunakan baju  serba hitam.  Dengan gagah Ki Buyut maju untuk menghadapi mereka.
“Siapa kalian yang telah mengacau desa kami!” teriak Ki Buyut dengan menahan kemarahan.
“Orang-orang tolol, picikkah mata kalian sehingga tak dapat melihat siapa kami!” tak kalah kerasnya pimpinan gerombolan itu membentak Ki Buyut.
“Kami tak pernah punya urusan dengan kalian dan kami tak mengenal kalian semua!”
“Anjing-anjing rendah, buka mata kalian dan dengarkan baik-baik. Kami adalah kumpulan Topeng Setan!”, mendengar kata-kata itu semua orang menjadi terkejut dan semakin tegang tak terkecuali Ki Buyut, hanya saja Ki Buyut sebagai pimpinan desa berusaha untuk tenang dan mampu menyembunyikan keterkejutannya.  Siapakah orang-orang yang menamakan gerombolan Topeng Setan?  Mereka tidak lain adalah kumpulan orang-orang yang punya ambisi untuk menguasai dunia persilatan dengan mengumbar sifat angkara murka, juga dikenal sebagai gerombolan perampok yang sangat kejam karena tak pernah membiarkan korbannya hidup, kekejamannya sangat dikenal, tetapi satu hal yang menjadi keanehan pada mereka  adalah pantangan menyentuh wanita, mereka lebih suka melihat mayat bergelimpangan penuh darah daripada menyentuh wanita.  Sebenarnya kelompok ini ada enam belas orang, hanya saja yang muncul saat ini hanya lima belas orang dengan kepandaian silat yang berbeda, semua itu dapat dilihat dari lilitan kain merah yang ada di lengan kirinya.  Tingkatan yang paling rendah adalah yang memakai tiga lilitan kain merah di lengan kiri ada lima orang, kemudian tingkat yang lebih tinggi dengan dua lilitan kain merah di lengan kiri ada lima orang. Tampak pula lima orang yang mempunyai satu lilitan kain merah di lengan kiri.  Memang setiap tingkat mempunyai kepandaian ilmu silat yang berbeda.  Kepandaian seseorang untuk menguasai satu ilmu adalah tergantung dari keuletan, kemauan  dan kesungguhan yang kuat dari dirinya sendiri yang ditunjang dengan latihan-latihan, dari situlah ia bisa mengembangkan dirinya untuk lebih maju.  Tampaknya Si Gendut yang mempunyai sedikit kelebihan dibanding teman-teman setingkatnya  sehingga dialah yang diangkat sebagai pimpinan dalam setiap gerakan.  Satu tingkat yang paling tinggi adalah setelah lilitan kain merah itu tidak lagi ada di lengan kirinya, dan barulah pantas untuk disebut “guru” dalam kelompok mereka yang artinya dapat mewariskan ilmu-ilmu yang dimiliki, tidaklah mudah untuk mencapai tingkatan ini.  Sebenarnya gerombolan yang menyebut dirinya sebagai Topeng Setan adalah sebagian kecil dari orang-orang yang menjadi prajurit setia Jayakatwang  raja Kediri.  Pada saat Jayakatwang merebut Singosari mereka termasuk prajurit yang tangguh dimedan laga, sampai akhirnya Singosari yang saat itu berada dibawah kepemimpinan Kertanegara dapat dikalahkan dan tewas dalam pertempuran ini. Kelemahan Singosari pada saat itu adalah karena pencanangan politik perluasan daerah oleh Kertanegara sehingga banyak tentara-tentara Singosari yang dikirim keluar daerah, karena kekosongan itulah maka dimanfaatkan oleh Raja Jayakatwang untuk melakukan penyerangan.  Namun tentara-tentara Jayakatwang yang dikirim untuk melakukan penyerangan dari utara tidak memperhitungkan kalau akan mendapat perlawanan yang sangat sengit dibawah pimpinan Raden Wijaya yang merupakan menantu Raja Kertanegara.  Mereka bercerai berai dan terus dikejar oleh Raden Wijaya sampai di pesisir utara.  Hanya tinggal enam belas orang yang tersisa, mereka terus keluar masuk hutan, naik turun gunung untuk menghindari tentara-tentara Raden Wijaya.  Keadaan berubah seratus delapan puluh derajat, saat Singasari jatuh maka Jayakatwang mengirim armada untuk menyerang Raden  Wijaya, saat ini Raden Wijaya-lah yang dikejar-kejar tentara-tentara Jayakatwang sampai di daratan Madura.  Disanalah Raden Wijaya mendapatkan perlindungan  Aria Wiraraja.
Tahun 1293 Raden Wijaya bersama dengan pasukan Mongolia melakukan penyerangan kepada Jayakatwang.  Sebenarnya kedatangan pasukan Mongolia adalah untuk menuntut balas kepada Kertanegara yang ternyata sudah wafat, oleh Raden Wijaya hal ini dimanfaatkan untuk diajak bersama-sama menyerang Jayakatwang.  Jayakatwang berhasil dikalahkan dan menjadi tawanan sampai meninggal dunia.  Sementara pasukan Mongolia yang merasa diatas angin karena dapat mengalahkan Kerajaan Singosari yang sangat terkenal ketangguhannya  akhirnya menjadi terlena dan lengah, saat tentara-tentara cina merayakan kemenangannya situasi ini dimanfaatkan oleh Raden Wijaya untuk menyerang tentara-tentara Mongolia.  Mendapat serangan secara mendadak mereka banyak yang tewas dan sebagian yang hidup melarikan diri pulang ke daratan Cina, Jenderal Che-p’I, Yi-k’o, dan Kau-Hasing sebagai pimpinan tentara Mongolia akhirnya menerima hukuman setelah tiba di Mongolia.  Akhirnya Raden Wijaya diangkat sebagai Raja pertama kerajaan Majapahit dengan gelar Kertarajasa Jaya Wardana. 
Keenam belas tentara Jayakatwang yang telah lari karena dikejar-kejar Raden Wijaya saat itu tetap menjalani hidup di hutan-hutan, mereka tidak kembali ke Kediri ataupun bergabung kembali dengan Jayakatwang tetapi memilih untuk mempelajari ilmu kanuragan di tengah-tengah hutan.  Kemarahan mereka semakin menjadi, api dendam mereka kembali berkobar menyala tatkala mereka mendengar kalau raja mereka telah dikalahkan oleh Raden Wijaya bahkan Raden Wijaya telah dinobatkan menjadi raja.  Dendam! Perasaan dendam seseorang akan muncul kembali manakala kejadian-kejadian pahit selalu muncul dalam pikiran orang itu, dalam situasi semacam inilah ego seseorang akan muncul,  kalau dia tetap mempertahankan ego maka perasaan dendam itu tidak akan mampu untuk ditekan, yang muncul adalah rasa kebencian.  Inilah yang terjadi pada ke enam belas pengikut Jayakatwang.  Mereka tetap tidak mau untuk mengakui akan kekuasaan Raden Wijaya.  Sementara untuk melakukan perlawanan langsung jelas tidak memungkinkan karena tidak memiliki kekuatan apapun, toh seandainya mereka mengumpulkan kembali pengikut-pengikut Jayakatwang yang bercerai berai rasa-rasanya juga sulit, tentunya telah banyak yang tewas atau menjadi tawanan perang apalagi mereka juga menyadari siapa yang akan mempercayai prajurit biasa seperti dirinya.  Akhirnya jalan yang mereka tempuh adalah membuat keonaran dengan melakukan perampokan, pembunuhan dan pembantaian pada orang-orang Majapahit yang tidak berdosa sebagai bentuk aksi balas dendam kepada Raden Wijaya.  Julukan Topeng Setan diberikan atas keganasan dan kebiadaban mereka, dimana saat mereka melakukan aksinya selalu menutupi wajahnya dengan topeng.  Itulah cerita tentang Gerombolan Topeng Setan.
“Hai, setan-setan neraka…. Apa salah orang-orang ini sehingga kalian bunuh mereka dengan kejam!”  Suara Ki Buyut semakin meninggi.
“Haaa…haa….haaa….” Si Gendut tertawa-tawa dan tentunya bukanlah tawa biasa melainkan tawa dengan menggunakan tenaga dalam yang sangat kuat, hal ini membuat orang-orang yang tak mengenal ilmu kanuragan menjerit-jerit kesakitan bahkan tidak sedikit dari mereka berkelojotan dengan mengeluarkan darah segar dari telinga karena genderang telinganya pecah.  Untunglah suara si Gendut hanya sebentar.
“Hai orang-orang tolol, hari ini adalah hari kematian kalian, tak akan aku biarkan kalian semua hidup!” teriak Si Gendut sambil mengacung-acungkan goloknya.  Dalam aturan Topeng Setan yang boleh mengeluarkan suara adalah si pemimpin sedangkan yang lain  hanya berdiri seperti patung dan selalu siap saat mendapatkan perintah.
“Iblis manusia keji…. Apa yang kau cari disini?!”
“Bunuh mereka!” perintah Si Gendut tanpa menghiraukan omongan Ki Buyut, mendengar perintah dari pimpinannya, lima orang yang memiliki tiga lilitan kain merah di lengan kirinya serentak maju dan menyerang orang-orang desa yang seakan-akan tak punya harapan untuk hidup.  Sebagai seorang pimpinan, Ki Buyut itu telah maju menerjang barisan kelima topeng setan untuk melindungi rakyatnya.  Terjadilah pertarungan yang tak seimbang.  Dengan membentuk lingkaran, lima orang itu telah mengepung Ki Buyut. “Hiyaaat….” Serangan datang dari kiri, sebuah tebasan golok mengarah ke leher, dengan lincah Ki Buyut menggeser kakinya ke kanan, “wuuuutt…” tebasan itu mengenai tempat kosong. “Hiyaaat…” disusul serangan dari depan dan belakang secara bersamaan. “wuuut…deg…deess…..” dengan kecepatan yang luar biasa tangan Ki Buyut bergerak untuk menagkis serangan dari depan sementara kakinya menendang ke belakang dengan posisi badan agak membungkuk.  Dua serangan dapat dipatahkan  bahkan serangan kaki Ki Buyut hampir melukai penyerang dari belakang kalau saja tidak cepat membuang dirinya ke kanan  dengan melakukan jungkir balik untuk menghindari serangan.  Ternyata Ki Buyut  itu bukanlah orang yang buta akan ilmu silat walaupun tingkat kepandaiannya belum begitu tinggi.  Saat menghalau dua serangan yang sangat mematikan itu, Ki Buyut menyangka akan datang serangan yang lebih ganas lagi karena secara bersamaan tiga orang yang lain menyerang dari tiga penjuru, hal ini sangatlah mengejutkan dan merepotkan Ki Buyut, sekalipun seseorang mempunyai kepandaian ilmu silat yang tinggi tetaplah akan repot menghadapi serangan seperti itu walaupun si penyerang adalah gerombolan Topeng Setan yang tingkat kepandaiannya paling rendah tetapi mereka tidak bisa dianggap enteng dalam pertarungan, mereka telah banyak memakan garam.  “Duuuk…deeess…”  sebuah tendangan tepat mengenai  dada Ki Buyut,  ia terhuyung beberapa langkah, belum sempat Ki Buyut memperbaiki kuda-kudanya yang melemah, kelima penyerang berlompatan dengan memutar-mutarkan golok ditangan, orang-orang yang melihat pertarungan itu menjerit tertahan, secara serentak kedua tangannya menutup mata tak berani untuk melihat apa yang akan dialami oleh Ki Buyut.  Sementara Ki Buyut sendiri hanya dapat memejamkan mata pasrah dengan apa yang akan terjadi pada dirinya. “Ya Tuhan, kalau ini memang kematianku aku pasrahkan segalanya pada-Mu”, dalam saat yang kritis seperti itu Ki Buyut masih sempat untuk memasrahkan dirinya pada Yang Kuasa.  Maut tinggal sejengkal lagi, dengan kecepatan yang luar biasa golok-golok itu sudah mengarah ke sasaran, saat kelima lawannya mengayunkan golok kira-kira  tinggal sepuluh centi meter  sebelum golok itu menyentuh kepala Ki Buyut tiba-tiba “traang…traangg…traangg..traang…traaaang…bruuuk” sebuah benturan benda keras dan lima orang yang menyerang Ki Buyut  terpental beberapa tombak, tanpa diketahui orang lain seorang laki-laki berusia  empat puluh lima tahunan berdiri dengan pedang di tangan,wajahnya tampak tenang, sorot matanya tajam membuat orang-orang gentar untuk menatapnya, semua orang tampak terkejut dan lega melihat kejadian itu.  Dengan sisa tenaga kelima  orang kelompok Topeng Setan  berusaha untuk berdiri, alangkah terkejutnya mereka saat melihat goloknya yang patah dan tinggal separo, demikian pula kesepuluh temannya yang dari tadi hanya diam melihat jalannya pertarungan.
“Setan alas, siapa kau yang berani ikut campur urusanku…!” bentak Si Gendut berang.
“Siapapun aku, manusia-manusia seperti kalian tak perlu tahu namaku” jawab laki-laki itu dengan gagahnya.
“Kurang ajar, rupanya kau ingin mampus!” Si Gendut semakin gusar.
“He..he..he… setahuku topengmu hanya untuk menakuti anak-anak kecil saja” ejek lelaki itu, “atau memang tampangmu lebih buruk dari topengmu”
“Cincang manusia sombong itu!” perintah Si Gendut, serentak lima orang yang telah berdiri tadi berloncatan maju kembali.
“Eiiit…tunggu dulu sobat…” tahan lelaki itu, “apa kalian tidak malu sebagai tokoh persilatan membiarkan orang tak berdaya berada di tengah-tengah pertarungan?”  kembali lelaki itu melontarkan ejekan sinis sambil merengkuh bahu Ki Buyut yang telah terluka, ia memapah Ki Buyut ke pinggir, saat ia membalikkan tubuhnya di bawah keremangan malam serentak orang-orang desa yang masih dicekam rasa takut berguman antara percaya dan tidak. “Palguna…?!” Tidak salah pengelihatan orang-orang desa itu karena lelaki itu memang Palguna.  Mengapa Palguna tiba-tiba muncul dalam saat-saat yang kritis? Kemanakah Palguna saat keributan terjadi?  Marilah kita tengok kembali ke belakang saat terjadi keributan.
Jeritan orang-orang yang meminta pertolongan dan jeritan kematian membangunkan keluarga Palguna yang telah terlelap tidur.  “Ibu, suara apakah itu?” Tanya Caraka pada Ibunya.
“Entahlah nak, rupanya ada kekacauan di desa” jawan Kenanga ibunya.  Kreek… pintu depan terbuka, Palguna masuk dengan wajah cemas, “Celaka, Topeng Setan menyerang Desa” kata Palguna pada istrinya, “Siapakah Topeng Setan itu, ayah?” Caraka menyela.
“Topeng Setan adalah gerombolan penjahat besar dan sangat kejam” Palguna mencoba untuk menerangkan pada anaknya.
“Mengapa mereka menyerang desa kita?” Tanya Caraka lagi.
“Entahlah, mereka telah terbawa sifat angkara murka”
“Apakah itu angkara murka ayah?” Caraka masih mencoba untuk bertanya.
“Angkara murka adalah sifat yang didasari oleh nafsu untuk menguasai sesuatu” jelas Palguna.
“Berarti kalau saya ingin menguasai ilmu silat dari ayah dan ibu juga termasuk angkara murka?” Tanya Caraka yang semakin tak mengerti, tapi ia adalah anak cerdas dan selalu ingin tahu, “Bukan anakku, menguasai sesuatu disini adalah menguasai yang bukan menjadi haknya, itu adalah sifat-sifat setan yang akan menghancurkan manusia” mendengar penjelasan ayahnya Caraka mengangguk-angguk dan mulai mengerti maksudnya, “Kalau begitu kita harus memberantasnya ayah?” katanya dengan suara yang gagah.
“Ya, benar anakku” sahut Kenanga.
“Biar Caraka yang menghadapi mereka…” mendengar kata-kata bocah kecil yang sudah menunjukkan kegagahan dan keberanian, suami istri itu merasa bangga, bagaimanapun juga kelak ia akan menjadi penerusnya, ibarat “kacang ora ninggal lanjaran” , kalau jiwa orang tua yang diajarkan pada anak-anaknya mencerminkan jiwa yang baik tentunya sang anak juga akan mewarisinya, dan itu sudah terlihat pada Caraka.
“Anakku, kamu bersama ibu dirumah, biar ayah yang membantu orang-orang yang butuh pertolongan” kata Palguna pada anaknya.
“Saya ikut, ayah!” rengek Caraka.
“Mereka cukup kuat, disamping jumlahnya banyak mereka berilmu tinggi” Palguna mencoba untuk menjelaskan pada anaknya.
“Saya tidak takut ayah…” sungguh anak yang sudah mempunyai nyali besar, tak ada perasaan takut pada dirinya.
“Caraka, kau memang anak pemberani tapi ini sangatlah membahayakan dirimu” Kenanga mulai ikut bicara.
“Bukankah kita harus menolong orang-orang yang lemah?” Caraka kembali mengadu argumennya.
“Benar anakku, kalau memang mampu jangan setengah-setengah kita membantunya, dan kitapun harus melihat kemampuan kita sendiri, ibarat kamu tak bisa berenang suatu saat ada temanmu yang tenggelam, apakah kamu akan menceburkan diri untuk menolongnya? Bisa-bisa keduanya  bisa mati bersama, tapi bukan berarti harus diam  tentunya kita punya cara untuk menolongnya bukan?” Kenanga memberikan pengertian pada anaknya, rupanya Caraka bisa menerima penjelasan dari ibunya.  Dengan sekali lompat Palguna telah berada di luar rumah dan dengan kepandaiannya dia berlompatan di kegelapan malam menyambar orang-orang yang telah bercerai berai  mencari selamat, tak aneh kalau dengan kepandaian yang dimiliki Palguna telah membawa tidak sedikit orang ke rumahnya, yang terluka segera mendapat pertolongan  dari Kenanga, rata-rata mereka mengalami luka bakar dan luka bacokan, sungguh sangat mengerikan.  Pada saat yang tepat Palguna telah sampai di rumah Ki Buyut, tepat saat lima orang bertopeng melakukan serangan secara bersamaan dengan menggunakan golok, dengan loncatan yang indah dan cepat Palguna meluncur ke arah pertarungan, saat kakinya akan menyentuh tanah dengan kecepatan yang luar biasa Palguna mencabut pedang yang ada di punggungnya dan berputar mengelilingi Ki Buyut yang sempoyongan akibat tendangan lawan, terdengar benturan keras dengan percikan api yang tak lain adalah benturan antara pedang Palguna dengan kelima golok orng-orang bertopeng, kelima orang penyerang Ki Buyut jatuh terpental beberapa tombak, sementara Palguna berdiri tegak disamping Ki Buyut dengan pedang di tangan.  Dalam pertarungan antara hidup dan mati, orang yang berada pada posisi kemenangan akan mudah mengatakan bahwa nyawa lawan berada digenggamannya, mereka tak sadar bahwa salah satu rahasia Tuhan yang tak dapat diketahui manusia adalah kematian.  Rupanya Tuhan belum menghendaki kematian Ki Buyut, disaat yang kritis dengan perantara Palguna Tuhan telah menyelamatkan Ki Buyut dari maut.  Kini marilah kita kembali pada Palguna yang telah berdiri dengan gagahnya didepan gerombolan Topeng Setan.
“Sekarang tinggal aku, silahkan kalian boleh menyerang” kata Palguna tenang. Tanpa komando lagi kelima orang yang tadi menyerang Ki Buyut  serentak menyerang Palguna dengan tangan kosong.  Palguna bukanlah orang yang rendah, melihat lawannya tak bersenjata semua, diapun menyarungkan pedangnya kembali.  Lima orang itu berlari mengelilingi Palguna, semakin lama larinya semakin cepat seakan mereka terbang di angkasa, sesekali kakinya menyentuh tanah untuk tumpuan dan melesat lagi ke udara.  Kalau orang awam melihat gerakan mereka seperti tak teratur dan terkesan semrawut, kadang mereka berputar-putar, kadang bergerak menyilang, inilah salah satu ilmu mereka yang dikenal dengan nama ilmu silat lingkaran setan.  Walaupun kelihatan saling berlompatan kaki dan tangan mereka melakukan serangan-serangan dengan menggunakan tenaga dalam yang cukup kuat.  Palguna hanya berdiri tanpa memasang kuda-kuda, matanya tajam melihat setiap gerakan lawan dan bibirnya selalu tersenyum sesekali mengeluarkan kata-kata ejekan, “Yang kutahu Topeng Setan adalah gerombolan pengecut, mengapa tidak semua maju sekalian menghadapiku!?”  wuuut…sebuah sapuan mengarah ke kaki Palguna, melihat hal itu Palguna hanya mengangkat kaki dan serangan itu mengenai tempat kosong, disusul dua orang yang bersamaan mengarahkan pukulan ke kepala Palguna, tetapi belum sempat tangan itu menyentuh sasaran dua orang itu cepat-cepat menarik tangannya kembali saat melihat Palguna yang sengaja akan mengadu benturan tangan, dua lawannya juga bukanlah orang yang bodoh, mereka tahu kalau tentunya Palguna bukan saja mengadu benturan tangan melainkan dengan suatu kekuatan tenaga dalam yang sangat hebat, hal ini akan mencelakakan dirinya sendiri, makanya kedua orang itu secepat kilat menarik serangannya kembali dan melakukan gerakan berjempalikan dua kali diudara untuk menghindari benturan dengan tangan Palguna, sebelum mereka sampai ditanah,  Deeess…. Tak pernah mereka perhitungkan sebelumnya bahwa menghindari benturan  dengan tangan Palguna jauh lebih berbahaya karena saat Palguna mendorongkan  tangannya  yang dialiri tenaga penyedot yang kuat akan menjadi serangan jarak jauh yang tak kalah bahayanya bagi lawan jika terjadi kegagalan benturan dengan lawan, sebaliknya kalau benturan itu terjadi akibatnya adalah seperti yang dialami oleh ketiga lawannya yang lain.  Saat Palguna melepaskan tangannya tiga orang itu bersama-sama melakukan serangan pada Palguna, mereka sangat terkejut saat tangannya menempel pada tubuh Palguna, terasa tenaga yang sangat kuat membetot tubuh dan sulit untuk ditarik kembali, tiga pasang tangan menempel ditubuh Palguna, mereka mencoba untuk menarik tangannya dengan menggunakan tenaga tetapi semakin banyak mereka mengeluarkan tenaga  semakin habislah tenaganya, secara perlahan tenaganya mulai mengendor dan terlepas saat mereka jatuh terkulai tak berdaya, mati kehilangan tenaga.  Kematian tiga orang itu tidaklah mengerikan dibandingkan dua temannya yang terkena pukulan jarak jauh akibat menghindari  benturan tangan Palguna.  Akibatnya dadanya pecah, darah segar keluar dari hidung, mulut, telinga dan matanya.  Semua mata terbelalak menyaksikan semua itu.  Bagi sepuluh Topeng Setan yang tersisa hal ini tidaklah mengerikan karena mereka telah malang melintang didunia persilatan yang penuh dengan kekejaman bahkan tidak sedikit manusia yang mereka bunuh dengan lebih mengerikan.  Ki Buyut dengan beberapa orang-orang desa yang menyaksikan pertarungan itu sangatlah kagum, mereka melongo dan tak pernah menyangka kalau Palguna yang dikenal selama ini sebagai seorang petani biasa ternyata memiliki keahlian dan kepandaian ilmu silat, kini barulah mata mereka terbuka kalau Palguna seorang pendekar sejati, terlebih saat mendengar sepuluh orang Topeng Setan mengeluarkan teriakan tertahan, “Pendekar Banaspati..!”.  Memang dalam usia dua puluh lima tahunan Palguna sudah malang melintang di dunia persilatan, sepak terjangnya di dunia persilatan memberantas kejahatan telah menggetarkan  dunia persilatan, terlebih dalam menghadapi lawan Palguna hanya menggunakan beberapa jurus saja tak lebih dari lima jurus sudah dapat merobohkan lawannya tanpa melakukan gerakan seperti yang dialami lima orang Topeng Setan tadi.  Itulah Ilmu Banaspati yang sangat hebat dan mengerikan.  Menurut cerita Banaspati adalah sejenis mahkluk halus yang bentuknya seperti api berjalan dan akan menyerang orang yang melihatnya dengan cara menghisap darahnya sampai habis sehingga orang itu akan mati kehabisan darah.  Ilmu Banaspati yang dikuasai Palguna sebenarnya adalah ilmu sesat yang kejam yang diperoleh dari gurunya seorang tokoh golongan hitam yang sangat kejam, karena kebersihan hati  dan keberhasilannya untuk menahan segala hawa nafsu setan  dalam upaya mengendalikan dirinya untuk memanfaatkan ilmu itu guna memerangi kejahatan.  Tak ada ilmu yang jahat dan tak ada ilmu yang baik, semua itu tergantung dari manusianya yang memiliki ilmu tersebut, kalau si pemilik ilmu tersebut dikuasai nafsu-nafsu setan tentunya ilmu yang dimiliki akan menjadi ilmu hitam dan akan lebih kejam lagi kekuatannya  karena nafsu emosi yang tertanam pada manusia dapat membangkitkan suatu kekuatan yang dahsyat.    Ketika kerajaan kecil yang berada ditengah-tengah hutan Tarik yang dibuka oleh Raden Wijaya menantu dari Raja Kertanegara tiba-tiba mengalami perkembangan dan perubahan besar dan berhasil mengalahkan Raja Jayakatwang bahkan mengusir tentara-tentara Cina saat itulah orang mulai mengenal adanya pemerintahan baru yaitu Majapahit.  Kanon menurut cerita kata Majapahit diambilkan dari istilah buah Maja yang ditemukan Raden Wijaya saat membuka hutan Tarik dan saat buah itu dirasakan ternyata rasanya sangat pahit, sehingga Raden Wijaya menyebutnya sebagai Majapahit.    Saat penobatan Raden Wijaya  sebagai Raja Pertama dengan Gelar  Kertarajasa Jaya Wardana situasi wilayah masih mengalami kekacauan karena raja-raja kecil masih banyak yang tidak mengakui Raden Wijaya, yang terjadi adalah munculnya perang saudara, penindasan, dan hukum siapa kuat itulah yang menang sehingga perampokan merajalela.  Melihat kenyataan seperti itu Palguna tergerak hatinya untuk membela dan melindungi yang lemah.  Sepak terjangnya memberantas kejahatan dengan ilmu banaspatinya yang membuat dia tersohor dengan sebutan Pendekar Banaspati.  Bahkan secara tidak sengaja Palguna berhasil menghancurkan sarang penyamun yang akan melakukan pemberontakan kepada Raden Wijaya, dalam pertarungan itulah Palguna bertemu dengan Nambi yang mendapat tugas dari Raden Wijaya.  Karena keberhasilan itu sebagai bentuk balas jasa Nambi diangkat sebagai Patih oleh Raden Wijaya.  Sementara Palguna lebih memilih sebagai manusia bebas yang membiarkan kakinya melangkah kemanapun.
“cecurut busuk, ternyata kalian mengenalku!” kata Palguna
“Badebah, kau tak memandang kami!” si Gendut angkat bicara “Jangan kau bersombong hati, nama besarmu tak kan ada artinya bagi kami!”
“Ha..ha..ha…suaramu terdengar lantang, tapi hatimu ciut dan mukamu seperti kapas!” kata Palguna penuh ejekan.
“Setan busuk, jangan kau kira kami takut menghadapimu!” Bentak si Gendut untuk menyembunyikan rasa gentarnya menghadapi Palguna, memang begitu tahu yang ada dihadapannya ternyata adalah Pendekar Banaspati rasa keder mulai menyerang hatinya namun sebagai seorang pimpinan si Gendut menutupi rasa kedernya itu terlebih sifatnya yang selalu jumawa membuat dia mampu untuk menutupinya.
“Ayo, tunjukkan pada dunia bahwa Topeng Setan hanyalah gerombolan yang hanya bisa main keroyok!” kata-kata Palguna yang begitu membanggakan namun sekaligus juga merendahkan gerombolan Topeng Setan.
“Bangsat….robek mulutnya yang lancang itu!” rupanya si Gendut terpancing dengan kata-kata Palguna dan memberi komando kepada anak buahnya , dan diapun langsung maju menerjang maju diikuti Sembilan temannya yang lain.  Kata-kata Palguna tidaklah salah karena memang selama malang melintang di dunia persilatan Topeng Setan selalu bersama-sama dalam menghadapi lawan, bukan berarti mereka gerombolan yang licik dan penakut tetapi karena memang ilmu-ilmu silat yang mereka kuasai merupakan jurus-jurus yang hanya dapat dilakukan secara bersama-sama, dan mereka semua bukanlah orang-orang yang takut mati.
“Hiyaaaaa…!” teriak si Gendut dengan melakukan tendangan, dengan loncatan si Gendut mengangkat kaki kirinya tinggi-tinggi lalu dilepaskan turun dengan kekuatan dan kecepatan seperti orang yang sedang mencangkul, sedangkan temannya yang lain melakukan gerakan membacokkan goloknya, membabat, menusuk dari beberapa penjuru.  Kalau bukan Palguna yang menjadi lawan mereka tentulah sangat kuwalahan, tetapi yang dihadapi Topeng Setan saat ini adalah Pendekar Banaspati yang namanya pernah menggetarkan dunia persilatan.  Palguna memutar-mutar tubuhnya bak putaran air di sungai, saking cepatnya putaran itu sehingga hanya baying-bayangan yang Nampak. Wusss… tubuh itu melesat ke bawah dan Plaaak….tangan Palguna telah menempel di dada si Gendut, saat melihat serangan itu si Gendut tak mampu untuk mengelak karena saking cepatnya gerakan Palguna sehingga dia membiarkan dirinya menerima serangan Palguna dengan mengerahkan seluruh tenaga dalam yang ia miliki.  Itulah jurus ilmu banaspati menyerang mangsanya.   Tarik menarik dengan menggunakan  tenaga dalam akhirnya terjadi kembali.  Si Gendut tampak mengeluarkan keringat yang cukup banyak.  Melihat pimpinannya dalam bahaya kesembilan Topeng Setan melakukan serangan, tetapi baru lima langkah mereka maju ada kekuatan yang menyedot tubuh mereka sehingga langkah mereka menjadi terhuyung-huyung dan terus maju ke arah Palguna.  Bagaikan kekuatan magnet, tenaga yang dikeluarkan Palguna menarik benda yang memiliki kekuatan, saat kesembilan lawanya melangkah mereka telah mengerahkan  tenaga intinya,  hal ini tidak mereka sadari bahwa kalau tenaganya dibawah kekuatan Palguna mereka akan tersedot dan menempel pada tubuh Palguna. Memang itulah kenyataannya, kesepuluh orang itu telah menempel pada tubuh Palguna.  Keringat mereka bercucuran.  Palguna nampak tenang dengan sesekali mengumbar senyuman.  Kalau saja kekuatan lawan tidak menyatu tentu sangatlah mudah bagi Palguna untuk melumpuhkannya.  Mereka semua rata-rata memiliki tenaga dalam yang tinggi, dapat dibayangkan bagaimana kuatnya tenaga itu bersatu, belum lagi su Gendut yang menjadi pimpinan mereka yang tingkat ilmunya di atas mereka, hal ini membuat kekuatan mereka menjadi bertambah.  Bagaimanapun tingginya ilmu seseorang dan bagaimanapun saktinya seseorang tentu tetap akan terdesak menghadapi hal seperti ini.  Palguna mengerahkan seluruh tenaganya, setetes demi setetes keringatnya mulai berjatuhan, wajahnya memerah seperti orang yang sedang mengangkat beban berat.  “Haa…haa…haa…” tiba-tiba si Gendut tertawa terbahak-bahak, suara tertawanya memekakkan telinga apalagi dengan menggunakan tenaga dalam yang cukup kuat.  Kembali orang-orang desa yang menyaksikan pertempuran itu berkelojotan tak mampu menahan suara itu, satu persatu mereka yang tidak memiliki ilmu tenaga dalam berjatuhan dengan darah keluar dari kedua telinganya dan tak bergerak lagi.  Sementara mereka yang memiliki ilmu tenaga dalam atau setidaknya mereka sempat menutup telinganya rapat-rapat masih mampu bertahan, salah satunya adalah Ki Buyut.   Ugh … bruuuk, suara keluhan tertahan dan benda jatuh ke tanah yang ternyata kesepuluh Gerombolan Topeng itu terpental dengan darah segar keluar dari mulutnya. Sesaat mereka mengejang lalu dian tak berkutik untuk selamanya.  Palguna masih berdiri tegak, darah kental keluar dari mulutnya yang masih tersenyum.  Orang-orang yang ada disekitarnya hanya dapat melongo tertegun dan hampir tak percaya dengan apa yang mereka lihat di depan matanya sendiri.  Mereka tersadar kalau Palguna berhasil melumpuhkan lawannya hingga tewas, serentak mereka berteriak kegirangan.  “Hiduup Palguna…hidup Palguna!” sambil berlari mendekati Palguna yang masih berdiri,  suasana yang semula ramai kegirangan mendadak menjadi hening tak ada suara yang keluar sedikitnya, mereka tertegun dan sebentar saja terdengar sesenggukan tangis yang tertahan, mereka kaget saat menyentuh Palguna ternyata badan Palguna yang masih tetap berdiri tegak dengan senyuman telah kaku tak denyut nadi sedikitpun, Malaikat telah mencabut nyawanya.  Ya, memang saat si Gendut mengeluarkan suara tertawanya konsentrasi Palguna menjadi buyar, sehingga pikirannya menjadi pecah.  Ia mencoba untuk menambah kekuatannya sebagai akibatnya tenaga penyedot berbalik menjadi tenaga penolak yang membuat kesepuluh lawannya terpelanting roboh sementara Palguna sendiri mengalami luka dalam yang sangat hebat karena tenaga dalam yang dia keluarkan sangat berlebihan akibatnya juga menyerang dirinya sendiri, seluruh saraf-sarafnya pecah, luka dalamnya begitu hebat sampai Palguna mengalami kematian.  Tragis, kejadian yang hanya memakan waktu setengah dari malam telah menghancurkan desa itu.  Matahari mulai menampakkan sinarnya.  Warga desa yang masih tersisa menggali lubang-lubang untuk menguburkan mayat-mayat yang bergelimpangan termasuk lima belas gerombolan Topeng Setan yang menjadi penyebab kehancuran desa itu.   Nampak pula Kenanga dan Caraka anaknya bersimpuh digundukan tanah kuburan Palguna.  Tak ada air mata yang menetes di pipinya, mereka cukup tabah walaupun rasa kehilangan itu tetap ada.  Kematian bukanlah suatu hal yang mereka takuti terlebih mati sebagai pendekar yang memerangi kejahatan dan membela kebenaran.  Mereka bangga dengan nama besar Palguna sebagai suami sekaligus ayah dari anaknya. Itulah sifat-sifat yang juga diajarkan pada Caraka anaknya yang kelak akan meneruskan perjuangan ayahnya.  Yang termudah untuk membentuk kesabaran, khususnya dalam menghadapi petaka dan bencana ialah dengan memahami hakekat kehidupan dunia.  Kehidupan dunia bukanlah surga kebahagiaan atau tempat tinggal abadi, tetapi medan pelaksanaan tugas dan menempuh ujian dan cobaan.  Manusia diciptakan untuk diuji  agar lulus untuk memasuki kehidupan abadi di akherat, menempati surga dan terbebas dari neraka.  Apabila seseorang telah benar-benar menyadari akan hal itu dia tidak akan terkejut bila ditimpa musibah.  Sebaliknya apabila seseorang membayangkan kehidupan dunia sebagai jalan mulus tanpa rintangan dan serba indah, maka bila ditimpa sedikit kesulitan saja dia terperangah, terperanjat, gelisah, kehilangan akal dan tak tahu harus kemana berpegangan.



👌👌👌 Selanjutnya Klik Episode 2 👌👌👌
****)(****