Cerita Rakyat Daerah Rembang

KI AGENG BEDHOL JATI

 

Sungai Mudal adalah aliran sungai kecil yang mengalir dimana aliran sungai tersebut langsung dari sumber mata air.  Sungai ini berada di Kecamatan Pamotan Kabupaten Rembang Propinsi Jawa Tengah, Indonesia. Sungai yang berada di daerah kapur ini menurut cerita merupakan sungai yang juga merupakan hulu Sungai yang terus mengalir melewati beberapa desa dan Kecamatan sampai mengalir ke Laut Utara.  Masyarakat Pamotan memanfaatkan air sungai tersebut untuk kebutuhan sehari-hari, dan bahkan dengan aliran sungai tersebut pamotan menjadi daerah pertanian yang cukup subur.  Kanon air ini tidak muncul dengan sendirinya tetapi karena ketekunan, kesabaran, dan iktiar yang luar biasa. Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Asal Mula Sungai Mudal yang identik dengan Tokoh Ki Ageng Bedhol Jati.

 * * *

Pamotan merupakan salah satu daerah di Kabupaten Rembang Propinsi Jawa Tengah yang terletak di bagian Selatan.  Alkisah pada masa itu Pamotan merupakan daerah pegunungan kapur  dengan hutan jati yang sangat lebat.  Ditengah-tengah hutan jati yang sangat lebat itu hiduplah keluarga Ki Kerto. Ia  tinggal di sebuah gubuk yang sangat sederhana di pinggir hutan bersama istri bernama Nyi Raminah dan seorang anak perempuannya nya yang masih kecil bernama Putri Umbul Sari. Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, Ki Kerto bersama istrinya  mengumpulkan hasil-hasil hutan dan berladang di dekat rumahnya. Setiap pagi mereka pergi ke ladang untuk merawat tanamannya dan siang hari pergi ke tengah hutan  mencari kayu untuk dijual ke pasar dan sebagian untuk digunakan sendiri memasak di rumah.  Walaupun hidup dalam kesederhanaan Ki Kerto bersama keluarganya begitu merasakan kebahagiaan bahkan tak segan-segan Ki Kerto selalu memberikan bantuan dan pertolongan kepada orang-orang yang membutuhkan, karena itulah masyarakat disekitarnya sangat menghormati, menyayangi dan segan atas kebaikan budi Ki Kerto beserta Keluarganya.

Ketika sudah berumur sepuluh tahun, Putri Umbul Sari selalu ikut  membantu kedua orangtuanya ke hutan maupun ke ladang. Betapa senang hati Ki Kerto dan Nyi Raminah mempunyai anak yang rajin seperti Umbul Sari.  Hari berganti minggu, minggu berganti bulan dan bulan berganti tahun, tak terasa Putri Umbul Sari tumbuh sebagai gadis yang sangat cantik dan menawan.  Kulitnya putih bersih walaupun selalu kepanasan ditengah terik matahari.  Tak heran karena kecantikannya itulah banyak pemuda-pemuda tertarik pada Putri Umbul Sari.  Namun karena Putri Umbul Sari belum berhasrat untuk berumah tangga maka belum ada satupun pemuda yang menjadi pilihannya.  Putri Umbul Sari masih memilih untuk membantu kedua orang tuanya.  Kadang hal inilah yang sangat merisaukan hati Ki Kerto dan Istrinya, sebersik kekuatirannya kalau-kalau putrinya nanti menjadi “Prawan Kasep”.

Pada suatu ketika, musim paceklik tiba. Baik hasil hutan maupun hasil pertanian sangat sulit diperoleh.  Kekeringan terjadi dimana-mana, pepohonan yang semula hijau lebat kini tinggal ranting-ranting tanpa daun.  Tanah-tanah mulai menganga sehingga tidak dapat untuk ditanami apapun, hal ini membuat penduduk harus berhemat terutama menahan selera makan. Mereka harus makan apa  adanya.  Jika tidak ada nasi, mereka makan ubi ataupun talas. Cukup lama musim paceklik berlangsung, sehingga mereka  semakin kesulitan mendapatkan makanan. Hal itu rupanya membuat mereka lebih peduli pada diri sendiri daripada terhadap orang lain. Kesulitan mendapatkan makanan itu juga membuat mereka hampir  berputus asa dan tak tahu lagi apa yang harus diperbuat. Apalagi sumber air juga sulit didapatkan, kalaupun ada itupun sangat jauh letaknya. Berkali-kali penduduk desa menggali lubang untuk sumur namun semakin dalam tanah itu digali semakin kering tanah yang ada didalamnya, hanya berisi bebatuan.   Sudah beberapa hari keluarga Ki Kerto  hanya makan ubi bakar. Tentu  hal ini hanya digunakan untuk mengganjal perut.  Suatu hari Putri Umbul Sari bertanya  kepada kedua orangtuanya.

“Ayah, sampai kapan kekeringan ini akan terjadi,?” keluh Putri Umbul Sari.

“Entahlah anakku, kita sudah berupaya tapi belumlah ada hasil!” jabab ayahnya dengan nada putus asal.

 “Ayah, saya juga merasa prihatin dengan keadaan orang-orang yang semakin kelaparan. Apakah kita akan berhenti untuk berusaha?” mendengar kata-kata anaknya dalam hati Ki Kerto merasa bangga, karena dalam situasi seperti ini ternyata dia masih memikirkan keadaan orang lain.

“Iya nak, kita memang tidak boleh putus asa, ini adalah ujian dari Tuhan Yang Maha Esa”  kata sang ayah. 

Ditengah-tengah keprihatinan dan keputusasaan penduduk desa menghadapi musim paceklik dan kekeringan ini, justru Ki Kerto, Nyi Raminah dan Putri Umbul Sari semakin bersemangat untuk berusaha menghadapi keadaan tersebut.  Ki Kerto berusaha untuk mendapatkan sumber mata air dengan melakukan penggalian tanah. Jika tanah yang digali tidak ditemukan sumber air maka Ki Kerto menggali tanah sebalahnya begitu seterusnya sehingga membentuk galian yang memanjang.  Masyarakat desa yang melihat hal itu menganggap suatu perkejaan yang sia-sia bahkan tidak sedikit mereka yang mencibir bahkan menertawakan apa yang dilakukan oleh Ki Kerto dan keluarganya.  Namun Ki Kerto berfikiran lain, suatu saat tanah yang ia gali akan mempunyai manfaat untuk mengalirkan air sehingga akan dapat digunakan oleh penduduk desa untuk keperluan hidup dan pertaniannya.  Setiap malam Ki Kerto selalu bertafakur memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa, demikian juga dengan isti dan anaknya.  Putri Umbul Sari yang semakin dewasa dan semakin cantik jelita tidak pernah hanyut dengan kecantikannya, dia selalu membantu kedua orang tuanya.

Kanon kabarnya kecantikan Putri Umbul Sari sudah didengar oleh jejaka-jejaka di luar daerah Pamotan.  Tak sedikit terjadi perkelahian antara pemuda satu dengan yang lain karena memperebutkan Putri Umbul Sari.  Pada suatu hari datanglah beberapa jejaka yang dipimpin oleh Ki Demang Waru dari Rembang dan Ki Wilis dari Gunung Botak.  Rupanya mereka berhasrat untuk melamar Putri Umbul Sari.  Mereka datang secara bersamaan.  Ketegangan terjadi antar kedua belah pihak.  Karena mereka merasa bahwa dialah yang berhak untuk mendapatkan Putri Umbul Sari.  Perkelahian tida dapat dihindari antara Ki Demang Waru dari Rembang dan Ki Wilis dari Gunung Botak, mereka mengadu kekuatan dan kesaktian.  Untunglah akhirnya mereka sadar bahwa tidak ada gunanya mereka terus berkelahi memperebutkan si buah hati yang belum tentu menerima mereka sebagai calon suami.  Perkelahian dapat dihentikan dan mereka sepakat bahwa siapapun salah satu diantara mereka yang dipilih Putri Umbul Sari sebagai calon suami, maka yang lain tidak akan sakit hati ataupun marah sehingga tidak ada dendam dan bibit permusuhan.  Namun rupanya Putri Umbul Sari tetap pada pendiriannya bahwa ia masih ingin membantu orang tua dan penduduk desa keluar dari kekeringan.  Sementara Ki Kerto dan Istrinya mendesak Putri Umbul Sari  untuk segera dikawinkan.  Dalam hati Ki Kerto merasa kasihan, iba dan tak tega kalau anaknya terus menerus merasakan penderitaan karena kekeringan yang berkepanjangan.

“Nduk, kamu sudah cukup dewasa, kini saatnya kamu mengahiri masa gadismu” kata Ki Kerto

“Tapi ayah, saya belum ingin untuk menikah!” jawab Putri Umbul Sari

“Itu demi kebahagiaanmu Nduk, bagaimana ayah dan Ibumu tega melihat kamu ikut merasakan penderitaan ini!” kata Ki Kerto.

“Ayah,  selama ini ayah telah mendidik saya dengan ketulusan budi, mendidik saya untuk selalu membantu penderitaan orang lain, tolong menolong kasih mengasihi,  apakah saya juga tega kalau saya bahagia dengan perkawinan saya namun kedua orang tuaku, masyarakat mengalami penderitaan?” bela Putri Umbul Sari.

“Ayahmu benar nduk, tidak ada orang tua yang akan  menjerumuskan anaknya. Banyak cara untuk membahagiakan orang tua, tidak harus ikut banting tulang memeras keringat, cobalah nduk kamu mengerti” sela sang Ibu.  Putri Umbul Sari terdiam.

“Baiklah pak, tapi maaf saya minta untuk diberi waktu semalam untuk menjawab semua ini.  Biarlah saya memohon petunjuk dari Yang Maha Kuasa”. Jawab Putri Umbul Sari.  Mendengar jawaban anaknya Ki Kerto dan suaminya merasa girang sekali dan segera menemui Ki Demang Waru dan Ki Wilis.

“Ki Demang dan Ki Wilis, saya mohon kesabaran Tuan sejenak untuk mendapatkan jawaban anak saya .  Dia minta waktu semalam untuk menjawab niat baik Ki Demang dan Ki Wilis.  Untuk itu kami persilahkan Ki Demang dan Ki Wilis istirahat sejenak dengan tempat yang apa adanya ini” Kata Ki Kerto.  Kedua orang itu bias mengerti dan menerima.  Akhirnya keduanya bermalam ditempat yang sangat sederhana dengan suguhan seadanya.

Sementara Putri Umbul Sari tidak mampu untuk memejamkan matanya.  Kebimbangan terus berkecamuk dalam pikirannya antara menerima pinangan salah satu dari mereka atau tetap ikut membantu perjuangan kedua orang tuanya untuk menghadapi kekeringan ini.  Sebenarnya bukan siapa yang dipilih diantara keduanya, namun Putri Umbul Sari lebih memikirkan nasib penduduk desanya yang dilanda kekeringan itu.  Sesekali Putri Umbul Sari membuang nafasnya.   Kemudian dia duduk bersemedi memusatkan pikirannya memohon pertolongan kepada Yang Maha Kuasa.  Inilah didikan kedua orang tuanya ketaatan menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa telah terpatri dalam hati Putri Umbul Sari.

Pagi yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Hati Ki Kerto dan Nyi Raminah berdebar-debar untuk menanti jawaban sang anak, sementara Ki Demang Waru dan Ki Wilis tak kalah berdebarnya dan rasanya tak sabar untuk mendengar keputusan yang akan diambil oleh Putri Umbul Sari.

“Bapak, Ibu, Ki Demang dan Ki Wilis, mohon maaf beribu maaf kalau kalian menunggu-nunggu keputusan saya” Kata Putri Umbul Sari, sejenak dia terdiam, suasana sepi, “semalam saya telah berfikir dan memohon petunjuk kepada Yang Maha Kuasa dan saya telah mendapatkan jawabannya.  Untuk itu saya mohon dengan sangat kepada semuanya untuk dapat menerima apa yang menjadi keputusan saya”

“Kami sudah siap untuk menerima keputusan Putri, apapun keputusan putri tetap akan kami terima dengan lapang dada” kata Wi Demang Waru.

“Antara Ki Demang dan Ki Wilis tidak ada kekurangan sedikitpun” sejenak Putri Umbul Sari terdiam, mendapatkan sanjungan itu Ki Demang dan Ki Wilis merasa bangga, “Inilah yang membuat saya berat untuk memilih, sementara tidaklah mungkin kalau aku harus menerima keduanya.  Namun sayapun juga tidak tega melihat penderitaan kedua orang tua saya dan masyarakat desa ini yang sedang dilanda kekeringan”  Putri Umbul Sari menghentikan kata-katanya, suasana menjadi sangat sunyi dan menegangkan.  “Untuk itu saya besedia untuk dikawinkan dengan salah satu diantara Ki Demang dan Ki Wilis dengan satu syarat”.  Kata Putri Umbul Sari.

“Syarat apa lagi nduk?” Tanya Ki Kerto tak sabar.

“Katakanlah Putri, kami akan menerima syarat itu”. Ki Wilis menyahut.

“Syaratnya berupa sayembara,  Barang Siapa yang dapat mewujudkan sumber air yang dapat menyejahterakan orang banyak, saat itu juga saya akan menerima sebagai suami saya”.  Mendengar kata-kata Putri Umbul Sari semua menjadi tercengang.  Tak terasa air mata meleleh di pipi Ki Kerto dan Nyi Raminah.  Satu sisi mereka merasa kecewa karena sang anak belum memberikan jawaban pasti yang melegakan hati, satu sisi mereka merasa terharu dan bangga dengan tekad anaknya untuk memikirkan penderitaan penduduk desa.  Kemudian Ki Kerto mempersilahkan mereka pulang ke rumah masing-masing untuk mempersiapkan memenuhi sayembara Putri Umbul Sari.

Setelah ditunggu-tunggu beberapa hari, beberapa bulan ternyata Ki Demang Waru dan Ki Wilis tidak juga kunjung dating.  Hal ini menyebankan ki Kerto bertambah sedih dan prihatin.   Apalagi melihat putrinya semakin bertambah dewasa.  Timbul penyesalan dan kekuatiran dalam hati Ki Kerto kalau-kalau nantinya putrinya semakin tua dan tidak kawin atau mendapat sebutan “Perawan Kasep”.

Menjelang Pagi, Putri Umbul Sari  keluar dari kamarnya. Ketika masuk ke ruang tengah gubuknya, ia tidak lagi melihat kedua orangtuanya duduk-duduk. Dengan pelan-pelan, ia melangkah menuju ke ruang kamar orang tuanya. Betapa terkejutnya ia ketika melihat kedua orangtuanya sedang  duduk semedi di ruang kamar. Sementara di dapur  di sekelilingnya berserakan piring makan, bakul nasi, dan panci yang  kosong karena tidak ada makanan lagi.  Alangkah sedihnya hati Putri Umbul Sari  menyaksikan semua itu. Kini ia menyadari bahwa kedua orangtuanya semakin tua dan semakin tak bertenaga, selama ini mereka telah menguras seluruh pikiran dan tenaganya.  Sebagai anak yang berbakti, dia tidak ingin mengecewakan kepada mereka yang telah melahirkannya. Ia pun berjalan keluar dari  gubuknya sambil mengusap air mata yang menetes di pipinya. Saat berada di luar gubuk, ia langsung menangkap ayam kesayangannya. Kemudian ia duduk di atas batu tepat dibawah pohon jati di samping gubuknya sambil mengusab-usap bulu si Ayam.

“Ayah! Rasanya aku sudah tidak kuat lagi untuk melihat penderitaan kedua orang tuaku. Kasihan mereka. Untuk apalagi aku tinggal bersama mereka di sini, sementara aku tidak mampu membalas budi kebaikan mereka” kata Putri Umbul Sari kepada ayamnya. Mendengar pernyataan Putri Umbul Sari, ayam itu pun berkokok berkali-kali, pertanda bahwa ia mengerti perasaan tuannya.  “Kalau saja aku bisa menjadi sebuah mata air yang dapat membahagiakan orang tuaku dan menyejahterakan penduduk desa ini,  aku akan memilih menjadi mata air”. Si Ayam kemudian mengepak-ngepakkan sayapnya. Bersamaan dengan itu Ki Kerto bersama dengan Istrinya yang sedang bersemedi memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar cita-cita anaknya terkabul.  Akhirnya Ki Kerto  mendapatkan petunjuk atau wangsit dari Tuhan Yang Maha Esa agar Ki Kerto mau untuk mencabut atau “mbedhol” pohon jati. Dalam alam bawah sadarnya Nampak jelas kalau anaknya sedang  duduk dibawah pohon jati itu. Setelah tersadar Ki Kerto segera bangun dan melangkah keluar bersama istrinya untuk mencari Putri Umbul Sari.  Mereka melihat Putri Umbul Sari sedang duduk bersama ayamnya di atas batu tepat dibawah pohon jati yang ada disebelah rumahnya.  “Mungkin ini yang dimaksud dalam petunjukku tadi” batin Ki Kerto.    Petunjuk itupun dilaksanakan.  Ki Kerto segera mencabut pohon jati tersebut, dan ternyata setelah pohon tercabut keluarlah sumber air yang sangat besar dan terus mengalir.  Air yang keluar secara perlahan mengaliri galian-galian yang pernah dibuat Ki Kerto sehingga menyerupai sungai dengan air yang terus mengalir.   Orang-orang yang melihat hal ini menjadi gembira.  Penduduk desa mulai berdatangan untuk melihat keajaiban tersebut, dengan bahasanya mereka mengatakan kalau airnya “MUDAL”  atau keluar dengan derasnya.  Aliran air tersebut akhirnya membentuk sebuah sungai kecil yang tadinya digali oleh Ki Kerto untuk mendapatkan sumber air.  Akhirnya menjadi kenyataan.  Sejak saat itulah akhirnya sumber air itu disebut sebagai sumber air MUDAL.  Sampai sekarang air dari Mudal ini masih besar, dan oleh Pemerintah Kabupaten Rembang dialirkan melalui pipa untuk keperluan minum, mandi dan keperluan hidup lainnya oleh masyarakat kota Rembang.

Setelah peristiwa tersebut Ki Kerto oleh masyarakat Pamotan terkenal dengan sebutan KI Ageng Bedhol Jati. Yang sampai sekarang makamnya masih ada di makam DAWA Pamotan berdekatan dengan isterinya dan masih dikeramatkan oleh masyarakat sekitarnya.   Sedangkan Putri Umbul Sari yang cantik dan masih gadis itu  kanon kabarnya hilang musnah bersamaan dengan keluarnya air saat pohon jati itu di cabut oleh Ki Kerto.

         * * *

Demikian cerita Asal Mula Sungai Mudal dari  daerah Pamotan Kabupaten Rembang Jawa Tengah. Cerita di atas termasuk kategori  legenda yang mengandung pesan-pesan moral. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah Keimanan yang ditanamkan dalam keluarga, Sifat mengutamakan kepentingan orang banyak diatas kepentingan sendiri atau tidak mementingkan diri sendiri, berbakti kepada orang tua, keuletan dan keteguhan dalam berusaha, kesabaran dalam mendapatkan ujian dari Yang Maha Kuasa serta rasa iklas dan rela berkorban dalam melaksanakan sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan umum tanpa mengharapkan imbalan apapun.




No comments:

Post a Comment