Wayang Kulit Tanpa Pengrawit
(Sebuah Inovasi dan Kolaborasi)
Seni dan
Budaya dalam arti luas, memiliki pemahaman yang menyatu dengan proses
pembentukan cita rasa manusia terhadap waktu dan alam jagat raya. Sebagai sebuah proses, Seni dan budaya
saat ini mengalami suatu keadaan, dimana kita (manusia) sebagai pelaku
pencetus lahirnya seni dan budaya, termanipulasi oleh perkembangan zaman atau
larut dalam seni dan budaya modern. Proses
perkembangan zaman ini mambuat kita lupa akan seni dan budaya
leluhur yang merupakan prototype dan asal-usul lahirnya sebuah sejarah dan
kebudayaan bangsa.
Berangkat
dari kesadaran untuk mempertahankan budaya dan seni tradisional inilah,
Sanggar Budaya “Serumpun” sebagai
wadah untuk mengembangkan potensi dan kreasi guru dalam melestarikan budaya
bangsa dengan inovasi dan kolaborasi seni tradisional dengan seni modern, mengembangan potensi, daya cipta seni dan kreasi yang dimiliki guru, yaitu dengan penggunaan
alat musik modern sebagai pengganti iringan wiyaga/panjak (penabuh gamelan), sehingga Pagelaran Wayang Kulit tidak menggunakan iringan gamelan yang ditabuh oleh wiyaga/Panjak
melainkan kolaborasi dengan alat musik modern.
Dan lebih unik lagi peralatan tersebut dimainkan oleh satu orang yaitu
Dalang kecuali Pengendang, gender dan Sinden.
Pergelaran wayang kulit tanpa iringan gamelan,
mungkin sulit dibayangkan bentuknya. Maklum,
pakem pertunjukan wayang kulit selama ini selalu melibatkan penabuh gamelan
(pangrawit/wiyaga), pesinden (swarawati), dan sang dalang (juru barata).
Bahkan, belakangan muncul “kecenderungan” baru menampilkan kolaborasi wayang
kulit dengan pelawak, penari, dan penyanyi. Wayang kulit tanpa iringan gamelan yang
ditabuh oleh para pangrawit/wiyaga sebagai bentuk seni yang unik dan berbeda
dari lazimnya pertunjukan wayang.
Pagelaran Wayang kulit ini
merupakan sebuah ide untuk melakukan kolaborasi peralatan modern yang dikemas
untuk mengurangi kebosanan para penonton yang hanya melihat tampilan
layar/keber putih melainkan dengan menyuguhkan variasi tampilan yang terkesan
lebih hidup dan menarik dengan menggunakan teknologi LCD, tampilan ini bisa digunakan
juga sebagai ajang promosi maupun informasi. Sementara Dalang, disamping
menyampaikan cerita wayang, narasi maupun dialog tokoh wayang, Dalang juga
harus mengiringi sendiri dengan “gamelan” dengan menggunakan orgen/player
sehingga tidak menggunakan pengrawit/wiyaga.
Ini merupakan bentuk keahlian khusus bagi Dalang. Selain itu yang menjadi keahlian tersendiri
adalah keahlian untuk merubah not atau bunyi orgen/player menjadi bunyi-bunyi
gamelan sehingga bisa digunakan untuk iringan yang pas dan tepat pengganti
gamelan yang ditabuh pengrawit/wiyaga,
Ada beberapa faktor yang membuat pagelaran wayang
tanpa wiyaga ini disukai penggemarnya terutama untuk suguhan-suguhan hiburan
saat hajatan. Pertama, tidak
merepotkan tuan rumah yang menanggap kesenian itu karena tidak banyak peralatan
yang dibutuhkan. Faktor kedua, tuan rumah tidak banyak
mengeluarkan biaya untuk menjamu maupun untuk honor dalang. Itu karena yang ditanggung akomodasi hanya beberapa orang
saja. Faktor ketiga, pertunjuknya
disampaikan secara santai, rileks, dan juga bersifat interaktif, bahkan juga
menggunakan Da’i untuk mengupas pesan-pesan religius. Faktor keempat,
bisa juga menyuguhkan hiburan musik-musik dengan penyanyi/biduan tanpa
mengeluarkan biaya tambahan untuk sewa orgen tunggal.
Sebagai
gambaran betapa bangganya “Dadi Wong Jawa” untuk mempertahankan dan mengangkat kembali kekayaan seni dan
budaya yang mempunyai nilai-nilai luhur yang melekat sebagai karakter dan ciri
masyarakat jawa pada umumnya dari masa lalu, kini dan masa datang. Wayang kulit ini diharapkan dapat
dijadikan sebagai stimulasi bagi dunia usaha untuk memanfaatkan event ini
sebagai ajang untuk berpromosi dan sekaligus turut berpartisipasi dalam
mempertahankan nilai-nilai sejarah, seni dan budaya. (Dermaga-244-Slamet Winarto, S.Pd)
No comments:
Post a Comment