KITAB NAGA
(Karya Mas Wient)
Bagian 2 Episode 5
Sendang
adalah sebuah desa kecil yang terletak di lereng perbukitan yang tidak begitu
tinggi. Hamparan gunung-gunung kecil
mengelilingi desa Sendang dengan hiasan tanah yang berundak-undak untuk
pertanian, sebelah selatan desa Sendang
tampak menjulang sebuah gunung yang cukup tinggi dibandingkan dengan gunung
lain yang ada disekitarnya, itulah gunung Argopuro yang semakin menambah
indahnya panorama desa. Walaupun
penduduk desa itu hanya mengandalkan “sawah tadah hujan” namun kelihatan
makmur, sementara sumber air yang
didapat untuk keperluan sehari-hari hanyalah dari sebuah belik kecil yang ada
di tengah-tengah hamparan sawah, walaupun
hanya sebuah belik kecil tapi mampu mencukupi kebutuhan penduduk desa, lagi
pula belik itu tak pernah kering walaupun musim kemarau.
Suasana pagi itu begitu cerah,matahari
mulai menyinari bumi dengan ditemani kicau burung yang sangat merdu, sementara
bunga-bunga mulai mekar menambah indahnya suasana. Hamparan rumput membentang luas, nampak lima bocah berlarian dengan riangnya. Tiga anak perempuan dan dua anak laki-laki,
mereka adalah satu keluarga kakak beradik, tak heran kalau wajah-wajah mereka
begitu mirip. Yang paling besar adalah
Arum, gadis remaja berusia lima belas tahun, kulitnya putih bersih, matanya
sayu, diusia yang masih remaja sudah tampak lekuk-lekuk tubuhnya yang sangat
indah. Adiknya laki-laki bernama Yoga,
usianya tiga belas tahun wajahnya tak
jauh berbeda dengan kakaknya, disusul adik perempuannya Kinanti berusia sepuluh
tahun, kemudian Kuncoro anak laki-laki berusia delapan tahun dan yang paling
kecil adalah Anjani yang berusia empat tahun.
“Kak
Arum, kita latihan di sini saja!?” rengek Kuncoro.
‘Iya
kak, disini luas” kata Kinanti sependapat dengan adiknya.
“Baik
kita berhenti disini untuk berlatih” Arum mengalah pada adiknya.
Seolah-olah
diberi komando mereka berlima duduk bersila membentuk lingkaran, sambil
memejamkan mata mereka mulai mengatur pernafasan, suasana menjadi hening, tak
ada suara apapun yang terdengar, hanya tarikan-tarikan nafas dan hembusan angin
saat nafas dilepaskan, setelah beberapa saat Arum berdiri.
“Coba
perhatikan Jurus Bangau Mematok Mangsa” Arum mengambil posisi berdiri dengan
kaki kiri diangkat, tangannya terlentang
dengan jari-jari merapat dan menekuk ke bawah seperti paruh burung. “Jurus satu…” dengan gerakan cepat Arum
meliukkan tubuhnya, tangan dan kakinya
melakukan gerakan bagaikan melakukan serangan-serangan yang cukup
mematikan, “Huup..huup..” Arum terus
berlompatan kesana-kemari, “Jurus
dua…”. Kalau dilihat sekilas, orang akan
mengira kalau jurus yang dimainkan gadis remaja itu hanyalah jurus untuk
melemahkan lawan saja, “Jurus tiga…”
kembali Arum memberikan hitungan pada tiap gerak jurusnya. “Empaat…” dengan gerakan halus tangan Arum
melakukan serangan pada sebuah batu besar, “Duuk…” terdengar benturan sangat
keras sekali, Arum masih berdiri
tegak, “Yoga, coba lihat batu itu!” mendapat perintah dari kakaknya Yoga segera
berlari untuk melihat batu yang menjadi sasaran serangan Arum. “Hebaat…batunya berlubang…!” teriak Yoga terheran-heran. Memang saat melakukan jurus keempat, seluruh
tubuh Arum telah dialiri tenaga dalam, sehingga begitu tangannya mengenai
sasaran maka tak dapat dibayangkan dengan apa yang akan terjadi. “Ajarin dong kak…!” rengek Yoga.
Arum tersenyum melihat tingkah adiknya,
“Kelak kau akan lebih hebat dari kakak!” Arum memberi semangat pada
adiknya, sambil memalingkan wajahnya menatap adiknya satu persatu, tiba-tiba Arum terpekik kaget, “Anjani mana Anjani..?!” Yoga, Kinanti dan Kuncoro bengong, “Tadi disini kak” jawab mereka bertiga hampir
bersamaan.
“Celaka..” batin Arum cemas, karena ia merasa yang
tertua, sehingga dialah yang bertanggungjawab atas keselamatan
adik-adiknya, kebingungan bercampur rasa
takut tampak jelas dalam raut wajahnya.
“Ayo kita cari…” ajaknya pada adik-adiknya. Mereka bergegas berdiri dan mencari Anjani.
“Anjani…dimana
kami!” mereka berteriak-teriak memanggil
Anjani, tetapi tak ada sahutan apapun, mereka terus menyusuri sekitar daerah itu
namun tetap tak menemukan jejak kemana Anjani pergi. Hampir separuh hari mereka berputar-putar
mencari adiknya yang hilang bagai ditelan bumi.
Tapi sia-sia, lemaslah mereka berempat, terlebih Arum. Arum menyadari akan kelengahannya, begitu asyiknya dia mengajari ilmu silat pada
adik-adiknya tanpa disadari Anjani adiknya yang paling kecil hilang begitu
saja. “Ah, Ibu pasti akan marah besar”
batin Arum dalam hati. “Yoga,
bawa Kinanti dan Kuncoro pulang, biar
kakak yang mencari Anjani” tanpa
membantah lagi Yoga mengajak dua adiknya meninggalkan Arum yang terus melakukan
pencarian adiknya yang hilang. Tak
henti-hentinya dia memanggil nama Anjani adiknya.
Kita tinggalkan dulu Arum yang
berusaha mencari Anjani. Sepasang mata
Nilamsari masih berkaca-kaca menahan tangis.
Bagaimana tidak, hati seorang ibu
akan merasa sangat cemas dan berduka begitu mendengar anaknya hilang tak tahu
rimbanya. Lima anaknya yang tadi pagi
masih utuh dan pergi bersama, kini pulang hanya bertiga, apalagi setelah mendengar cerita dari Yoga
kalau Anjani hilang saat berlatih silat dan Arum pergi untuk mencari Anjani. Ibu mana yang tak lemas bila mendengar cerita
seperti itu. Anjani adalah bocah
perempuan yang masih sangat kecil belum bisa membedakan mana yang berbahaya
atau tidak, bagaimana dia mampu
menghadapi bahaya itu? Sementara Arum
hanyalah gadis remaja yang masih hijau pada pengalaman di luar, bagaimana Arum mampu mencari adiknya yang
hilang. Walaupun Arum sudah mempunyai
bekal ilmu silat yang lumayan tetapi bukankah diluar sana banyak sekali
tokoh-tokoh golongan hitam yang mempunyai kepandaian lebih tinggi. Jangankan Arum, mungkin Nilamsari sendiri yang telah banyak
makan garam tak akan mampu untuk menghadapinya,
bahkan suaminya yang mempunyai kepandaian sangat tinggi saja bisa
dikalahkan oleh perampok-perampok jalanan.
“Ach..”
desah Nilamsari merasa ngeri membayangkan hal itu.
Pasrah, adalah satu-satunya jalan terakhir yang
terbaik setelah kita tak mampu berbuat apa-apa,
karena yang ada di jagad raya ini Tuhan yang mengatur. Hidup dan Mati hanya Tuhan yang
menghendaki. Nilamsari terdiam, sejenak ia mengingat satu persatu
wajah-wajah yang dulu pernah menjadi musuh besarnya, dalam hati ia merasa kuatir jika seandainya Anjani
diculik oleh salah satu musuh besarnya.
“Ah..tak mungkin” Nilamsari
berusaha menepis prasangka buruknya,
bukankah sudah lima belas tahun ia tak lagi mengurusi dunia luar, waktu yang sangat lama. “Aku akan cari mereka..” batin Nilamsari, dia berdiri melangkahkan kakinya dengan
keputusan bulat. Nilam akan melangkahkan
kakinya kembali ke dunia luar untuk mencari dua permata hatinya yang tak
diketahui dimana keberadaannya.
Baca Terus Klik Bagian 2 Episode 6