Wednesday, May 9, 2018

Kitab Naga Bagian 2 Episode 5


KITAB NAGA
(Karya Mas Wient)
Bagian 2 Episode 5

Sendang adalah sebuah desa kecil yang terletak di lereng perbukitan yang tidak begitu tinggi.  Hamparan gunung-gunung kecil mengelilingi desa Sendang dengan hiasan tanah yang berundak-undak untuk pertanian,  sebelah selatan desa Sendang tampak menjulang sebuah gunung yang cukup tinggi dibandingkan dengan gunung lain yang ada disekitarnya, itulah gunung Argopuro yang semakin menambah indahnya panorama desa.  Walaupun penduduk desa itu hanya mengandalkan “sawah tadah hujan” namun kelihatan makmur,  sementara sumber air yang didapat untuk keperluan sehari-hari hanyalah dari sebuah belik kecil yang ada di tengah-tengah hamparan sawah,  walaupun hanya sebuah belik kecil tapi mampu mencukupi kebutuhan penduduk desa, lagi pula belik itu tak pernah kering walaupun musim kemarau.
            Suasana pagi itu begitu cerah,matahari mulai menyinari bumi dengan ditemani kicau burung yang sangat merdu, sementara bunga-bunga mulai mekar menambah indahnya suasana.   Hamparan rumput membentang luas, nampak  lima bocah berlarian dengan riangnya.  Tiga anak perempuan dan dua anak laki-laki, mereka adalah satu keluarga kakak beradik, tak heran kalau wajah-wajah mereka begitu mirip.  Yang paling besar adalah Arum, gadis remaja berusia lima belas tahun, kulitnya putih bersih, matanya sayu, diusia yang masih remaja sudah tampak lekuk-lekuk tubuhnya yang sangat indah.  Adiknya laki-laki bernama Yoga, usianya tiga belas  tahun wajahnya tak jauh berbeda dengan kakaknya, disusul adik perempuannya Kinanti berusia sepuluh tahun, kemudian Kuncoro anak laki-laki berusia delapan tahun dan yang paling kecil adalah Anjani yang berusia empat tahun.
“Kak Arum, kita latihan di sini saja!?” rengek Kuncoro.
‘Iya kak, disini luas” kata Kinanti sependapat dengan adiknya.
“Baik kita berhenti disini untuk berlatih” Arum mengalah pada adiknya.
Seolah-olah diberi komando mereka berlima duduk bersila membentuk lingkaran, sambil memejamkan mata mereka mulai mengatur pernafasan, suasana menjadi hening, tak ada suara apapun yang terdengar, hanya tarikan-tarikan nafas dan hembusan angin saat nafas dilepaskan, setelah beberapa saat Arum berdiri.
“Coba perhatikan Jurus Bangau Mematok Mangsa” Arum mengambil posisi berdiri dengan kaki kiri diangkat,  tangannya terlentang dengan jari-jari merapat dan menekuk ke bawah seperti paruh burung.  “Jurus satu…” dengan gerakan cepat Arum meliukkan tubuhnya,  tangan dan kakinya melakukan gerakan bagaikan melakukan serangan-serangan yang cukup mematikan,  “Huup..huup..” Arum terus berlompatan kesana-kemari,  “Jurus dua…”.  Kalau dilihat sekilas, orang akan mengira kalau jurus yang dimainkan gadis remaja itu hanyalah jurus untuk melemahkan lawan saja,  “Jurus tiga…” kembali Arum memberikan hitungan pada tiap gerak jurusnya.  “Empaat…” dengan gerakan halus tangan Arum melakukan serangan pada sebuah batu besar, “Duuk…” terdengar benturan sangat keras sekali,  Arum masih berdiri tegak,  “Yoga, coba lihat batu itu!”  mendapat perintah dari kakaknya Yoga segera berlari untuk melihat batu yang menjadi sasaran serangan Arum.  “Hebaat…batunya berlubang…!”  teriak Yoga terheran-heran.  Memang saat melakukan jurus keempat, seluruh tubuh Arum telah dialiri tenaga dalam, sehingga begitu tangannya mengenai sasaran maka tak dapat dibayangkan dengan apa yang akan terjadi.  “Ajarin dong kak…!”  rengek Yoga.  Arum tersenyum melihat tingkah adiknya,  “Kelak kau akan lebih hebat dari kakak!” Arum memberi semangat pada adiknya, sambil memalingkan wajahnya menatap adiknya satu persatu,  tiba-tiba Arum terpekik kaget,  “Anjani mana Anjani..?!”  Yoga, Kinanti dan Kuncoro bengong,  “Tadi disini kak” jawab mereka bertiga hampir bersamaan.
“Celaka..”  batin Arum cemas, karena ia merasa yang tertua, sehingga dialah yang bertanggungjawab atas keselamatan adik-adiknya,  kebingungan bercampur rasa takut tampak jelas dalam raut wajahnya.  “Ayo kita cari…” ajaknya pada adik-adiknya.  Mereka bergegas berdiri dan mencari Anjani.
“Anjani…dimana kami!”  mereka berteriak-teriak memanggil Anjani, tetapi tak ada sahutan apapun, mereka terus menyusuri sekitar daerah itu namun tetap tak menemukan jejak kemana Anjani pergi.  Hampir separuh hari mereka berputar-putar mencari adiknya yang hilang bagai ditelan bumi.  Tapi sia-sia, lemaslah mereka berempat, terlebih Arum.  Arum menyadari akan kelengahannya,  begitu asyiknya dia mengajari ilmu silat pada adik-adiknya tanpa disadari Anjani adiknya yang paling kecil hilang begitu saja.  “Ah, Ibu pasti akan marah besar” batin Arum dalam hati. “Yoga, bawa Kinanti dan Kuncoro pulang,  biar kakak yang mencari Anjani”  tanpa membantah lagi Yoga mengajak dua adiknya meninggalkan Arum yang terus melakukan pencarian adiknya yang hilang.  Tak henti-hentinya dia memanggil nama Anjani adiknya.
            Kita tinggalkan dulu Arum yang berusaha mencari Anjani.  Sepasang mata Nilamsari masih berkaca-kaca menahan tangis.  Bagaimana tidak,  hati seorang ibu akan merasa sangat cemas dan berduka begitu mendengar anaknya hilang tak tahu rimbanya.  Lima anaknya yang tadi pagi masih utuh dan pergi bersama, kini pulang hanya bertiga,  apalagi setelah mendengar cerita dari Yoga kalau Anjani hilang saat berlatih silat dan Arum pergi untuk mencari Anjani.  Ibu mana yang tak lemas bila mendengar cerita seperti itu.    Anjani adalah bocah perempuan yang masih sangat kecil belum bisa membedakan mana yang berbahaya atau tidak,  bagaimana dia mampu menghadapi bahaya itu?  Sementara Arum hanyalah gadis remaja yang masih hijau pada pengalaman di luar,  bagaimana Arum mampu mencari adiknya yang hilang.  Walaupun Arum sudah mempunyai bekal ilmu silat yang lumayan tetapi bukankah diluar sana banyak sekali tokoh-tokoh golongan hitam yang mempunyai kepandaian lebih tinggi.  Jangankan Arum,  mungkin Nilamsari sendiri yang telah banyak makan garam tak akan mampu untuk menghadapinya,  bahkan suaminya yang mempunyai kepandaian sangat tinggi saja bisa dikalahkan oleh perampok-perampok jalanan.
“Ach..” desah Nilamsari merasa ngeri membayangkan hal itu.
Pasrah,  adalah satu-satunya jalan terakhir yang terbaik setelah kita tak mampu berbuat apa-apa,  karena yang ada di jagad raya ini Tuhan yang mengatur.  Hidup dan Mati hanya Tuhan yang menghendaki.  Nilamsari terdiam,  sejenak ia mengingat satu persatu wajah-wajah yang dulu pernah menjadi musuh besarnya,  dalam hati ia merasa kuatir jika seandainya Anjani diculik oleh salah satu musuh besarnya.  “Ah..tak mungkin”  Nilamsari berusaha menepis prasangka buruknya,  bukankah sudah lima belas tahun ia tak lagi mengurusi dunia luar,  waktu yang sangat lama.  “Aku akan cari mereka..”  batin Nilamsari,  dia berdiri melangkahkan kakinya dengan keputusan bulat.  Nilam akan melangkahkan kakinya kembali ke dunia luar untuk mencari dua permata hatinya yang tak diketahui dimana keberadaannya.

No comments:

Post a Comment