Wednesday, April 4, 2018

Kitab Naga Bagian 2 Episode 4


KITAB NAGA
(Karya Mas Wient)

Bagian 2 Episode 4


Suatu hari, tampak anak-anak kecil bermain berkejaran ataupun petak umpet, itulah yang menjadi hiburan anak-anak desa untuk mengisi hari-harinya yang kosong.  Ada lima anak lebih yang bermain, rata-rata berusia tujuh tahunan.  Cara bermainnya adalah  dengan melakukan hompimpah untuk menentukan siapa yang kalah untuk menjadi pawang dan harus menjaga batu atau kayu atau benda lain yang ditata bertumpuk-tumpuk sebagai sasaran lawan, sedangkan sang lawan dari jarak tertentu akan melemparkan batu masing-masing sebagai gacu ke arah batu yang dijaga sang pawang, kalau gacu itu mengenai sasaran  si pawang segera mengumpulkan batu-batu lawannya dan diletakkan dekat dengan batu sasaran tadi, sementara yang lain segera lari bersembunyi,  tugas dari sang pawang berikutnya adalah  mencari lawannya yang bersembunyi sampai semua dapat tertangkap.
“Hompimpaah….!” Teriak anak-anak dengan riangnya.
“Hayo, Paijo yang jadi pawang!”  kembali mereka bersoran dengan riangnya, sementara Paijo yang disebut tadi hanya garuk-garuk kepala yang tidak gatal sambil meletakkan batunya  di atas tanah sebagai sasaran, teman-temannya yang lain mulai melempar batunya masing-masing satu persatu.  Buuk…buuuk….buuuk…. lemparan-lemparan batu taka ada yang mengenai batu Paijo.  Tiba-tiba permainan mereka terhenti, mereka terdiam mendengar suara syair yang tak berurutan tanpa seni baca layaknya orang membaca puisi.
            “Dahan kering tinggal lapuk
            Menunggu kuncup tak kunjung tiba
            Tua Bangka menjelang ambruk
            Sudah saatnya tulang tua diganti tulang muda”
Syair itu datang dari seorang laki-laki tua kira-kira berusia delapan puluh tahun lebih, ia berjalan sempoyongan bagaikan orang mabuk,  badanya kurus tinggal tulang yang dibalut kulit tanpa daging,  pakaiannya kumal dan terdapat banyak tambalan disana-sini bahkan hamper sebagian telah robek mungkin karena terlalu lama dan tak pernah kena air untuk dicuci, kakek itu berjalan sedikit membongkok,  kakinya terasa berat untuk melangkah, kadang sempoyongan seolah tak kuat menahan terpaan angin.  Dia terus mengucap sajak-sajaknya.
            “Dari gunung ke gunung
            Menuju pantai ke pantai
            Tak pernah ada jumpa pengganti tulang
            Mewarisi yang yang kupunya…..”
“Orang gilaa..” teriak anak-anak yang sedang bermain, perasaan takut tiba-tiba menyerang hati anak-anak yang sedang riang bermain, sesaat mereka terdiam dengan muka pucat, tetapi salah satu dari mereka mengambil sebuah batu  dan dilemparkannya ke arah kakek tua yang nampak seperti gembel itu.  Melihat temannya ada yang melempar batu ke arah kakek tua itu  serentak yang lainnyapun segera mengambil batu dan dilemparkan secara membabi buta kearah kekek tua itu.
“Buuk..buk…buuk…” batu-batu itu mengenai tubuh sang kakek,  sesekali kakek itu meringis kesakitan tetapi tak ada niat sedikitpun untuk menghindar,  darah mulai keluar dari dahinya yang terluka,  sekejab saja kulitnya yang sudah berkerut telah dibasahi oleh darah segar.
“Usir orang gila itu..!” teriak anak-anak kecil itu semakin berani bahkan semakin bernafsu untuk terus melempari batu begitu melihat sasarannya hanya meliuk-liukkan tubuhnya tanpa mau lari menjauh,  hal ini semakin membuat anak-anak menjadi gemas dan jengkel sehingga batu-batu yang dilemparkan semakin bertambah besar sampai sebesar kepalan tangan orang dewasa.
“Hentikan…!”  tiba-tiba ada suara bentakan yang menyuruh mereka menghentikan lemparan,  suaranya kecil tetapi mengandung kewibawaan.  Rupanya suara itu berasal dari anak kecil berusia lima tahun yang berdiri dengan gagahnya di depan kakek tua itu seakan melindungi kakek itu dari lemparan batu anak-anak nakal.
“Hai Dipa,  minggir kamu..!” teriak anak-anak yang melempari batu, “atau kamu pun ingin dilempari batu…!”
“Kalian semua kejam…!”  bentak anak yang dipanggil Dipa yang tak lain adalah Pradipa.  Tentunya pembaca masih ingat Pradipa anak terakhir Raden Sabu.  Secara kebetulan saat anak-anak melempari batu ke arah sang kekek Pradipa lewat disitu bersama ayahnya.
“Lihat ayah, kasihan orang tua itu!” kata Pradipa pada ayahnya saat melihat pemandangan yang mengerikan itu,  “Biar saya menolong orang tua itu , ayah” pinta Pradipa,  tanpa menunggu persetujuan ayahnya dia langsung melesat lari,  ayahnya hanya menggelengkan kepala kagum pada keberanian anaknya,  ayahnya sengaja tidak menyusul tetapi melihat dari kejauhan apa yang akan dilakukan Pradipa.
“Anak kecil kurang ajar…!”  bentak Paijo sambil melemparkan batu ke arah Pradipa,  mendapat serangan batu, Pradipa hanya memiringkan badanya sehingga batu itu tidak mengenai sasaran.  Melihat batu itu tidak mengenai sasaran Paijo maju mendekati Pradipa dengan tangan mengepal,  sementara Pradipa menyadari bahwa ada gelagat yang kurang baik sehingga begitu Paijo mendekat, dengan cepat Pradipa mempersiapkan dirinya,  memang tak salah perkiraan Pradipa karena secara tiba-tiba Paijo melakukan serangan kearah Pradipa,  rupanya Paijo tidak menyadari  kalau Pradipa telah waspada sebelumnya sehingga dengan menggeser tubuhnya sedikit saja Pradipa telah lepas dari serangan Paijo. “Siaal..!”  batin Paijo kesal, “wuuus..!” kembali Paijo melakukan tendangan mengulang kegagalannya.  Walaupun dilihat dari postur tubuhnya yang masih kecil tetapi Pradipa sudah terlatih dengan gerakan-gerakan dasar ilmu silat dari ayahnya,  kembali serangan itu tidak mengenai sasaran, bahkan “Ughk…” Pradipa berhasil membalas serangan itu tepat pada perut Paijo
“Hayo..kita hajar dia!” teriak Paijo dengan meringis menahan sakit, dia memberi komando kepada teman-temannya.  Serentak mereka menyerang Pradipa.
“Tulang bagus datang di depan mata
Tak perlu lagi si tua pergi mencari
Jodoh memang sudah ada
Tuk mewarisi ilmu sejati…”
Kembali terdengar sajak-sajak yang diucapkan kakek tadi yang tubuhnya belepotan darah, sesekali kakek itu tertawa terkekeh-kekeh, badanya digoyang-goyangkan meniru setiap gerakan Pradipa sambil memberikan dorongan,  “Ayo tendang, pukul…jotos…” “Aduuh…” rintih salah seorang dari pengeroyok Pradipa sambil memegangi perutnya yang terkena tendangan Pradipa.  “Aduuuh…!” kembali terdengar lagi, tiga orang sudah mengaduh kesakitan.  “Buuk..buuk..” serangan Pradipa ditengah-tengah pengeroyok mengenai muka Paijo sehingga muka yang lembut itu menjadi bengap akibat terkena pukulan.
“he..he..he..” kakek itu terus tertawa-tawa, hatinya senang melihat jagonya dapat mengimbangi lawannya walaupun dikeroyok secara bersama-sama.
“Gembel Tua, beraninya mengadu anakku…!” tiba-tiba terdengar bentakan,  serentak perkelahian itu berhenti.
“Ayah, dia memukul saya…!” teriak Paijo sambil berlari memegani mukanya yang bengkak ke arah laki-laki yang baru datang yang tak lain adalah ayahnya sendiri.  Perawakannya tinggi tegap dan kekar, dibelakangnya berdiri dua orang jago pukul.   Ayah Paijo adalah pembesar yang kaya raya dan sangat ditakuti oleh penduduk,  bukan karena jabatannya melainkan karena dia mempunyai jago-jago pukul yang kejam dan bengis,  kadang tak segan-segan jago-jago pukulnya menghajar penduduk yang dianggap salah walaupun belum tentu salah, atau orang yang dianggap membangkang atas kemauannya.
“Hajar dia ayah..!” pinta Paijo pada ayahnya sambil menunjuk ke arah Pradipa,  sementara Pradipa berdiri dengan tenangnya, pandangannya tajam kedepan seolah menanti apa yang akan dilakukan Marjan ayah Paijo dengan dua tukang pukulnya.
“Bocah setan, berani kau membengkakkan muka anakku!” bentaknya.
“Hee..hee..hee.. urusan anak biarlah anak yang menyelesaikan, orang tua hanya sebagai penengah” kakek tua itu menimpali omongan Marjan dengan suara tawanya yang khas.
“Tua bangka, aku potong lidahmu yang lancang!” bentak Marjan.
“Haa..haa..ha… kacang ora ninggal lanjaran,  pantas saja orang tuanya kasar… anaknyapun ikut kasar” ejek kakek tua itu dengan tawa.   “Plaak..!” tiba-tiba tamparan Marjan mendarat pada muka kakek itu, mendapat tamparan yang mendadak sang kakek jatuh tertelungkap, dengan susah payah ia berusaha untuk bangun kembali,  Marjan yang telah panas mendengar ejekan-ejekannya kembali mengayunkan kakinya, “Duuk..!” terdengar tendangan itu mengenai sasaran tetapi bukan si kakek yang kena tendangan itu melainkan bocah kecil Pradipa, Pradipa mencelat beberapa tombak.  Saat kaki Marjan diayunkan ke arah si kakek secepat kilat Pradipa menghadang tendangan itu sehingga tendangan itu mengenai tubuh Pradipa yang mencelat beberapa tombak,  tak terdengar rintihan sedikitpun, bahkan Pradipa telah berdiri kembali, mulutnya mengeluarkan darah. “he.he..he..anak baik, lagi-lagi kau menolongku!” kata kakek itu.
“Cincang tua bangka busuk itu..!” perintah Marjan pada dua algojonya, hatinya bukan kasihan melainkan malah semakin meluap-luap amarahnya.  Mendapat perintah dari juragannya dua algojo itu maju sambil menghunus goloknya.
“Wuuut..wuuut..trang..!” dua algojo itu mengayunkan goloknya ke arah si kakek, tetapi sebelum sampai sasaran terdengar benturan senjata.  Pada saat yang kritis, hanya tinggal beberapa centi saja golok itu menyentuh tubuh si kakek, Raden Sabu yang semula hanya menonton saja secepat kiat menangkis serangan itu dengan pedangnya, dua orang algojo yang yang mengira akan mendapat tangkisan itu menjadi sangat kaget sehingga dua algojo itu terdorong beberapa langkah ke belakang.  Kembali kakek tua itu terlepas dari serangan yang mematikan.
“Maaf tuan, kalau terpaksa saya turun tangan” kata Raden Sabu dengan lembutnya.  Kedua algojo itu kembali dibuat terkejut saat melihat Raden Sabu telah berdiri dihadapannya, tak terkecuali Marjan.
“Lagi-lagi kau turut campur!”  bentak Marjan untuk menutupi rasa terkejut dan rasa segannya pada Raden Sabu.
“Maaf tuan,  apakah pantas orang seusia kita menurunkan tangan kejam pada anak kecil dan seorang tua renta?” kata Raden Sabu.
“Sabu, semua orang dan pejabat memang segan kepadamu, tapi siapa aku ini ?!” kata Marjan sambil menepuk dadanya sendiri.
“Tuan Marjan memang seorang pembesar, tetapi bukan berarti harus bertindak sewenang-wenang pada masyarakat kecil” kata Raden Sabu dengan tenangnya.
“Kamu jangan banyak lagak didepanku, minggir!” bentak Marjan
“Maaf tuan, terpaksa saya tidak dapat menuruti kemauan tuan!”  balas Raden Sabu.
“Bangsat, jangan dikira aku takut padamu, hajar dia!” perintah Marjan pada dua algojonya yang masih tampak segan dan ragu untuk berhadapan dengan Raden Sabu, tetapi mereka bimbang karena tuannya telah memerintahkan untuk menyerang, mau tidak mau merekapun berlompatan menyerang Raden Sabu.  “Hiyaaa…” dua orang algojo itu menebaskan goloknya ke arah Raden Sabu yang masih tampak tenang menanti serangan. “wuuut..wuut..sriing..” golok-golok itu menyerang kearah kaki Raden Sabu tetapi  rupanya Raden Sabu lebih cepat untuk menarik kakinya ke atas sehingga golok lawan mengenai tempat kosong.  Mendapat kenyataan itu dengan cepat pula dan dengan waktu yang hampir bersamaan dua algojo itu segera memutar tubuhnya ke atas dengan melakukan tusukan golok kearah lawan, hampir saja Raden Sabu kehilangan keseimbangan saat menerima serangan tidak terduga seperti itu, untung saja dia sudah banyak makan garam dalam pertarungan sehingga dengan gerakan halus dan dengan bertumpu pada salah satu kakinya Raden Sabu melompat ke atas dan dengan gerakan yang indah kedua kaki Raden Sabu dapat mendarat kembali ke atas tanah, sementara dua algojo yang merasa kehilangan buruannya segera berlompatan kembali mengejar ke arah Raden Sabu.  Sementara si Kakek melihat pertarungan itu tanpa mengedipkan mata, hatinya kagum melihat gerakan silat Raden Sabu, bahkan si Kakek meraba-raba kalau kepandaian Raden Sabu cukup tinggi dibandingkan dua algojo itu yang hanya mengandalkan otot saja tanpa strategi pertarungan.  Beberapa jurus sudah lewat, “dukk..dees..” serangan berantai Raden Sabu mengenai dua lawannya,  keduanya terhuyung-huyung kebelakang beberapa tombak,  belum sempat kedua algojo itu memperbaiki posisinya Raden Sabu melayang mengirim tendangan kembali. “dess.. dess..bruuk…” kembali tendangan itu tepat pada sasaran membuat dua orang algojo itu terjerembab dengan mulut mengeluarkan darah, mereka merintih kesakitan.
“Hee..he..he..Tuan Marjan, mengapa kau memelihara tikus-tikus busuk yang tak berguna untuk menjadi pengawalmu? Lihatlah mereka tak berguna!”   terdengar suara ejekan dengan suara lembut namun terdengar sangat keras,  semua mata menoleh ke arah sumber suara itu yang ternyata dari seorang tua berusia empat puluh tahunan dengan badannya yang kekar, pakaiannya bersih rapi dengan ikat kepala menghiasi kepalanya yang sudah mulai banyak rambut putihnya.  Semua dian tak ada reaksi walaupun ada tanda tanya dalam hatinya pada orang yang baru saja datang, tetapi lain dengan si kakek tadi.
“celaka..” pekiknya tertahan si kakek dalam hati, dia sangat terkejut sekali melihat  kedatangan laki-laki separo baya itu.
“Haa..haa..haa.. kiranya kau sobat!” teriak Marjan girang
“Ada urusan apakah sehingga tuan memerintahkan dua algojo hebat tapi tak berarti itu?” tanya lelaki itu sekaligus juga mengejek.
“Haa..haa..haa..kalau saja aku tahu kalau Iblis Muka Seribu akan datang tentu aku tak akan membawa dua algojo itu” disebut Iblis Muka Seribu, Raden Sabu tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya,  walaupun dia tak pernah bertemu tetapi dia pernah mendengar sebutan Iblis Muka Seribu sebagai datuk sesat yang licik dan mempunyai kepandaian yang sangat tinggi,  namanya sedang melambung karena kekejamannya, bahkan belum ada lawan yang mampu mengalahkannya.
“haa..haa..haa.. siapakah dia yang merepotkan Tuan?” tanya Iblis Muka Seribu pada Marjan sambil tertawa-tawa.
“Dia Raden Sabu yang sombong dan selalu mengganggu ketenanganku!””  jawab Marjan dengan mata melotot dengan menunjukkan jarinya ke arah Raden Sabu.
“Hah,  Raden Sabu yang terkenal itu?” Iblis Muka Seribu seolah tak percaya, matanya melotot seakan penuh selidik ke arah Raden Sabu,  sementara Raden Sabu masih begitu tenang berdiri di tempatnya semula.  “Kebetulan sekali, aku ingin memotong kepalanya” kata Iblis Muka Seribu.
“Maaf, ada urusan apakah tuan dengan saya?” tanya Raden Sabu setelah mendengar ucapan Iblis Muka Seribu.
“Aku tak punya urusan, hanya saja kepalamu sangat berarti bagi namaku” jawab Iblis Muka Seribu dengan ketusnya, “Hayooo serahkan kepalamu!”.  Mendengar ancaman itu, semua orang yang ada disitu menjadi tegang,  terlebih anak-anak yang dari tadi hanya sebagai penonton saja, dengan hati berdebar-debar mereka ingin tahu apa yang akan terjadi, sementara kakek tua yang selalu mempunyai nasib baik nampak begitu cemas, sesekali ia mengambil nafas panjang untuk mengurangi kecemasannya.
“Kalau Tuan mampu, silahkan!” tantang Raden Sabu yang merasa tak senang dengan sikap congkak Iblis Muka Seribu yang jumawa, kata-katanya pelan tetapi bagi Iblis Muka Seribu sangatlah memanaskan.  Tanpa menunggu waktu lagi Iblis Muka Seribu menyerang Raden Sabu dengan pukulan yang mematikan,  Raden Sabu bukanlah orang bodoh, dia mengelak menghindari serangan itu, sekali Raden Sabu menghindar sang lawan tidak memberi kesempatan untuk terus bertahan, pukulan-pukulan beruntun semakin gencar ke arah Raden Sabu,  sangat jelas sekali kalau akhirnya Raden Sabu merasa kuwalahan.  Bagaimanapun juga lihainya seseorang, dan bagaimanapun juga seseorang itu mempunyai pengalaman bertarung tentu akan tetap merasa sulit menerka arah serangan sang lawan yang baru pertama kali bertemu.  Rupanya inilah yang dialami oleh Raden Sabu, ia sangat kesulitan untuk membaca setiap gerak langkah sang lawan,  tak aneh dalam dua puluh jurus saja Raden Sabu mulai terdesak hebat tanpa mampu membalas serangan.  Plaaak, sebuah pukulan mengenai bahu Raden Sabu, dia tak sempat untuk mengelak sehingga pukulan tangan Iblis Muka Seribu mengenai sasaran, tampak jelas sekali warna merah kehitam-hitaman membekas dibahu Raden Sabu, ia terhuyung beberapa langkah ke belakang, keseimbangannya goyah.  Melihat lawannya lengah Iblis Muka Seribu kembali melancarkan serangannya dengan ganas, seakan penuh nafsu untuk segera mengakhiri riwayat sang lawan.  “Hiyaaaa….” Dengan kekuatan penuh Iblis Muka Seribu meluncur berputar ke arah Raden Sabu,  serangan kali ini bukanlah serangan main-main karena memang yang ada di pikiran Iblis Muka Seribu adalah untuk menghancurkan tubuh Raden Sabu.  Melihat ayahnya dalam bahaya, Pradipa berlari untuk menghalau serangan yang berbahaya dan mematikan.  Wusss… seperti terpaan angin yang menyambar tubuh Pradipa, “duuk..duukk..desss”. tepat saat serangan Iblis Muka Seribu akan mengenai sasaran, sebuah tangkisan telah menghalau serangan itu.  Iblis Muka Seribu tak pernah memperkirakan hal ini,  wajahnya sangat pucat pasi karena terkejut,  bukan itu saja akibat tangkisan tadi Iblis Muka Seribu sempat terdorong kebelakang beberapa langkah.  Lebih terbelalak lagi saat melihat Kakek tua yang tinggal tulang berdiri didepannya dengan membopong Pradipa.  Memang saat Pradipa berlari ke arah ayahnya untuk menghalau serangan, kakek itu segera tanggap dengan apa yang akan dilakukan oleh Pradipa, kalau saja terlambat satu detik saja tubuh Pradipa akan hancur terkena pukulan Iblis Muka Seribu, dengan gerakan secepat kilat kakek tua itu bergerak menyambar tubuh Pradipa, dan dengan mengerahkan tenaga inti lewat tangan-tangannya yang tinggal tulang kakek itu menangkis serangan Iblis Muka Seribu,  walaupun begitu sebagai akibatnya Iblis Muka Seribu sempat terdorong beberapa langkah ke belakang akibat benturan tangannya dengan tangan si kakek tua itu.
“Anak baik, kau sungguh berani” kata Kakek tua itu pada Pradipa sambil menurunkan dari bopongannya.  Pradipa memandang seolah tak percaya dengan apa yang ia lihat dan ia alami, demikian pula Raden Sabu.  Tak kalah kagetnya adalah Marjan dan algojonya yang dari tadi menyaksikan pertarungan itu.
“Terima kasih kek” kata Raden Sabu sambil menjura, kakek tua itu hanya tersenyum “Tadi anakmu telah menolongku, juga Raden, sekarang giliranku untuk membalasnya”
“Biarlah saya yang menghadapinya, dia sangat kuat kek!” Raden Sabu masih sangat meragukan Kakek tua itu.
“Dia bukanlah lawan Raden, biarlah saya yang tua yang menghadapi” kata si Kekek
“Gembel tua, sungguh lancang kau!”  bentak Iblis Muka Seribu untuk menyembunyikan rasa kagetnya itu.
“Iblis busuk bau pete, kenapa teriak-teriak?!!” kata Kakek tua itu sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“Bangsaat, siapa dirimu gembel tua..!? tanya Iblis Muka Seribu dengan nada tinggi.
“Heh, masih muda sudah pikun, baru saja disebut sudah lupa, payaah..” kata kakek itu seenaknya.
“Babi busuk, berani lancang..!” Iblis Muka Seribu semakin gusar, “niiih terimalah…!” dengan loncatan yang indah Iblis Muka Seribu menerjang menyerang ke arah Kakek tua, mendapat serangan yang sangat hebat dan cepat, kakek tua itu hanya tetap berdiri ditempat semula hanya tubuhnya yang meliuk-liuk menghindari serangan-serangan itu.  Melihat kenyataan bahwa serangan yang ia lancarkan tak pernah mengenai sasaran,  Iblis Muka Seribu semakin geram,  terlebih saat melihat gaya Kakek Tua dalam menghindari serangannya seakan-akan seperti meremehkan kepandaiannya.  “Sial..” batinya dalam hati.  “Hiyaa…” Iblis Muka Seribu melakukan gerakan memutar, dengan bertumpu pada kakinya ia bergerak ke atas seperti meloncat,  begitu kakinya ke udara langsung melakukan gerakan menyerang disusul dengan liukkan tubuh dengan tangannya menyambar,  wuuut…wuuut…wuuuss… suara angin mendesir mengenai tempat kosong, “Hoo..hoo..hoo pukulan tanpa ujud cukup hebat untuk mengusir nyamuk”  ejek kakek tua.
“Kakek tua, kau kenal juga dengan jurusku ini!” Iblis Muka Seribu semakin jengkel,  ia kaget rupanya sang lawan juga mengenal jurus-jurus yang ia gunakan, padahal dia baru pertama kali berhadapan dengan sang lawan.  Tiga puluh jurus telah berlalu,  tetapi Iblis Muka Seribu belum berhasil merobohnya si Kakek,  jangankan merobohkan, mengenai saja  tak pernah, ia baru sadar kalau Kakek Tua yang ia hadapi dan dianggap remeh bukanlah seorang tua renta yang lemah tetapi sebaliknya kakek tua itu adalah lawan yang kuat dan tangguh, bahkan Iblis Muka Seribu baru menyadari bahwa dalam setiap jurus Kakek Tua itu hanya mempermainkan dirinya.   Tiba-tiba Iblis Muka Seribu menghentikan serangan,  ia berdiri tegak dengan mata tajam menatap si Kakek, pikirannya dia pusatkan  karena dia merasa tak akan mungkin memenangkan pertarungan itu,  Iblis Muka Seribu mencoba untuk melawannya dengan ilmu sihir.
“Gembel tua, jongkoklah!” bentak Iblis Muka Seribu dengan kekuatan sihir,  sungguh suatu ilmu sihir yang sempurna, tapak kakek tua itu berjongkok menuruti perintah Iblis Muka Seribu, semua orang yang menyaksikan disitu sangat terkejut, terlebih Raden Sabu yang semula mengira kalau kakek tua itu tak akan terpengaruh dengan ilmu sihir, apalagi setelah Raden Sabu melihat betapa hebatnya Kakek tua itu saat menghadapi Iblis Muka Seribu.  Dengan menggunakan kekuatan batinya Raden Sabu berusaha untuk membuyarkan pengaruh sihir.  “Kakek..berdirilah”, tetapi susra batin Raden Sabu tak berpengaruh sama sekali pada kakek tua yang terus berjongkok.
“Gembel tua,  menyalaklah seperti anjing!”  perintah Iblis Muka Seribu,  kembali Raden Sabu terkejut karena si Kakek tua benar-benar menyalak seperti anjing, “guuk..guuk..guuk”.   tak pernah dibayangkan kalau orang tua yang mempunyai ilmu silat setinggi itu tidak mampu menghadapi ilmu sihir.  Kembali Raden Sabu mengerahkan tenaga batinnya untuk membuyarkan pengaruh sihir pada akek itu,  tetapi lagi-lagi usaha itu gagal.  Iblis Muka Seribu tertawa-tawa penuh kemenangan,  ia merasa kalau bakal berhasil untuk merobohkan sang lawan.
“Ayo gembel tua,  kemarilah sambil menari!”  Kakek tua itu menggerakkan badannya seperti menari-nari sambil berjalan mendekati Iblis Muka Seribu,  tangganya digerakkan melakukan tarian yang tampak lucu,  kadang bokongnya menungging.  Dua algojo dan anak-anak tadi tertawa terbahak-bahak.  Kakek tua itu semakin dekat dengan Iblis Muka Seribu,  saat tinggal sejengkal lagi secepat kilat Iblis Muka Seribu mencabut pedangnya dan diayunkan ke arah si kakek tua.  Creess…creees.. pedang itu membabat kedua tangan si kakek tua hingga putus sampai siku,  semua mata terbelalal ngeri melihat kejadian itu.  Raden Sabu hanya berteriak tertahan tak mampu mencegah.  Karena pengaruh ilmu sihir tak sedikitpun rintihan dari si kakek tua,  bahkan dia masih terus menggerakkan tubuhnya,  kembali Iblis Muka Seribu mengayunkan pedangnya kearah paha,  cress…crees…  tetap pada sasaran pedang itu telah membabat kedua paha si kakek hingga putus dengan sekali tebas.  “Uuugh…”  rintihan kecil keluar dari mulut si kakek,  kedua kaki dan dan tangganya tergeletak ditanah dengan darah segar yang tercecer di tanah,  tubuhnya jatuh tetapi masih tetap berdiri dengan ditopang sebagian paha yang tak terpotong.
“Haa..ha..haa.. Gembel Tua busuk, ternyata hanya segini kesaktianmu..! Iblis Muka Seribu tertawa-tawa girang merasa menang.
“Iblis keji…!” bentak Raden Sabu
“Hee..hee..Sabu, kini giliran kematianmu!” Kata Iblis Muka Seribu dengan congkaknya.
“Hayo..akupun ingin mengadu nyawa denganmu!”  tantang Raden Sabu dengan menahan kemarahannya.  Iblis Muka Seribu terus tertawa-tawa.
“Hai..Iblis Jelek,  jangan tertawa keras-keras mengganggu orang makan!”  tiba-tiba terdengar suara bentakan halus,  semua mata bergerak mencari sumber suara,  alangkah terkejutnya mereka karena melihat Kakek Tua duduk bersebelahan dengan Pradipa di atas  dahan pohon mangga sambil mengunyah mangga yang masih mentah,  semua mata tak berkedip dan tak percaya betapa kedua tangan dan kakinya yang tadi telah terpotong masih tetap utuh.  Kembali semua mata bergerak ke arah tubuh yang tergeletak pucat karena kehabisan darah.  “Haaah…!”  betapa kagetnya mereka karena wajah yang semula Kakek Tua itu  berubah menjadi wajah Pembesar Marjan yang pucat tak punya darah lagi.  Raden Sabu kini dapat mengerti,  kalau saat Iblis Muka Seribu menggunakan ilmu sihir, dengan kecepatan yang luar biasa si Kakek Tua  menyambar tubuh Marjan dan dengan menggunakan sihir pula si Kakek Tua mempengaruhi semua mata sehingga mereka melihat Marjan sebagai Kakek Tua,  dan dengan kecepatan pula Kakek itu membopong Pradipa dan duduk di atas pohon mangga sambil menikmati buahnya,  bagi Paradipa yang tahu dengan nyata merupakan suatu kejadian yang menggelitik hati.  Dan pada saat Raden Sabu mengerahkan tenaga batinya untuk membuyarkan pengaruh sihir, Kakek Tua itu  juga menggagalkan sehingga suara Raden Sabu tidak sampai terdengar oleh Marjan.  “Pantas..”  batin Raden Sabu yang merasa bodoh dan  mentertawakan kebodohannya sendiri.
Sementara Iblis Muka Seribu masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat.  Rasa marah, jengkel juga malu perang dalam batinnya.  Iblis Muka Seribu diam dengan muka pucat,  ia baru menyadari kalau kepandaiannya ternyata masih kalah jauh dibawah Kakek Tua yang tadi diremehkannya.
“Hai Iblis jelek, kenapa bingung?!!”  ejek si Kakek Tua dengan terkekeh-kekeh,  “pengkhianat busuk kau, teman sendiri tega kau bantak!”
Paijo begitu tahu kalau yang tergeletak adalah ayahnya sendiri berlari, mendekap dan menangisi tubuh ayahnya yang sudah tak bernyawa lagi,  dengan mata merah penuh kemarahan yang telah memuncak Paijo berdiri,  “Iblis, kau bunuh ayahku!” teriak Paijo histeris sambil menerjang ke arah Iblis Muka Seribu,  melihat hal itu Iblis Muka Seribu menggerakkan tangannya menampar Paijo untuk melampiaskan kemarahannya. “Plaak…” tamparan itu tepat mengenai muka Paijo,  bocah kecil itu terpelanting jatuh, tetapi untunglah tamparan itu tidak terlalu keras, sehingga dengan sisa-sisa tenaganya Paijo berusaha untuk berdiri kembali.
“Gembel tua,  hari ini aku mengaku kalah,  kelak akan kucari kau kembali!”  Teriak Iblis Muka Seribu sambil membalikkan tubuhnya dan berlari,  kakinya terus melangkah dengan cepat menggunakan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh,  yang ada dalam pikirannya hanya satu yaitu meninggalkan tempat yang sangat memalukan atas kekalahannya itu,  tetapi lagi-lagi suatu pemandangan yang lucu,  saat Iblis Muka Seribu melangkahkan kakinya, si Kakek Tua mengerahkan ilmu sihirnya sehingga walaupun Iblis Muka Seribu melangkahkan kakinya dengan ilmu meringankan tubuh ia tetap saja berada di tempat semula.  Ia tak menyadari kalau gerakan-gerakan lari dan loncatan-loncatannya hanyalah gerakan-gerakan ditempat, yang ia rasakan adalah benar-benar lari dengan kecepatan tinggi.  Sungguh sangatlah hebat ilmu yang dimiliki si Kakek Tua itu, apalagi lawannya adalah datuk sesat yang selama ini belum ada lawan tanding yang seimbang.
Paijo dengan terhuyung-huyung mendekati mayat ayahnya kembali yang tergeletak kaku,  ia pungut pedang yang telah merengut nyawa ayahnya,  dengan kekuatan yang ada Paijo menerjang Iblis Muka Seribu yang masih melakukan gerakan-gerakan lari ditempat.  “breet,,,”  tebasan pedang itu mengenai kaki Iblis Muka Seribu disusul serangan yang kedua tepat mengenai kaki yang satu sebatas paha.  “Bruuuk…!”   Iblis Muka Seribu terjatuh karena kakinya terpotong.  Bukan karena pedang itu yang tajam sehingga mampu membabat kaki orang dewasa apalagi yang melakukan adalah anak kecil kemarin sore,  melainkan karena kekuatan hati yang telah dipenuhi rasa marah dan dendam yang dapat membangkitkan tenaga sangat luar biasa pada diri Paijo.  Iblis Muka Seribu meringis kesakitan,  ia seperti orang tolol yang baru saja sadar dari mimpi buruk.  Belum lagi ia dapat menyadari dengan apa yang terjadi,  “creeesss…”  Paijo telah menangcapkan pedangnya kembali tepat di ulu hati,  tak ada rintihan yang keluar sedikitpun dari Iblis Muka Seribu,  badanya mengejang sebentar lalu diam tak bergerak lagi.  Semua yang menyaksikan merasa ngeri dan penuh keheranan,  bagaimana bocah yang belum genap puluhan tahun telah mampu merobohkan  seorang tokoh persilatan.
Memang kadang nafsu amarah,  dendam ataupun emosi mampu membangkitkan semangat bagi kita,  yang semula takut bisa saja menjadi berani dan bahkan menjadi kejam.  Kalau dilihat, tenaga Paijo adalah tenaga anak kecil,  tetapi karena rasa emosi,  marah dan dendam yang muncul dalam hatinya dapat memunculkan tenaga yang begitu kuat.
            Dengan dibantu beberapa orang,  Paijo mengangkat mayat ayahnya dan dibawa pulang,  sementara mayat Iblis Muka Seribu dirawat layaknya manusia yang lain oleh orang-orang kampung.  Disisi lain terlihat Raden Sabu,  Pradipa dan si Kakek Tua terlibat dalam pembicaraan yang cukup serius.
“Kek,  siapakah sebenarnya anda?” tanya Raden Sabu
“Haa..haa..haa.. tadi sudah disebut-sebut kalau aku hanyalah Gembel Tua yang tak pernah punya tempat tinggal”  jawab Kakek Tua itu dengan tertawa-tawa.
“Tadi saya dengar sajak-sajak yang kakek ucapkan sangatlah indah,  kalau tidak salah kakek dalam kebingungan tetapi yang terakhir tampaknya kakek begitu girang,  benarkah?”
“Hee..hee..kau memang cukup jeli Raden, memang aku cukup bahagia karena aku telah menemukan bocah yang mempunyai bakat untuk mewarisi ilmuku”  kata si Kakek dengan memancarkan kegembiraannya,  “Sudah lama memang aku malang melintang mencari penerus ilmuku, tapi selama itu pula aku tak pernah menjumpai yang cocok”  si Kakek berhenti sejenak mengambil nafas,  “tapi sekarang aku sudah menemukan jodoh”
“Siapa yang Kakek maksud?” tanya Raden Sabu.
“Anakmu…Pradipa”  jawab si Kakek singkat.
Mendengar itu Raden Sabu sedikit terkejut,  tetapi dibalik itu ada rasa kegembiraan,  apalagi ia sendiri telah melihat kehebatan Kakek itu,  namun dalam hati kecilnya  Raden Sabu juga mempunyai rasa ragu  sebab dia belum mengenal siapa sebenarnya kakek sakti itu.
“Kau ragu Raden?” pertanyaan si Kakek mengejutkan lamunan Raden Sabu,  ia tersipu karena apa yang ada dalam batinya bisa ditebak si Kakek.
“Maaf Kek,  semua itu terserah pada yang menjalani”  kata Raden Sabu memberi jawaban,  matanya melirik pada Pradipa yang matanya memancarkan harapan untuk dapat diijinkan sang ayah.
“Ayah,  saya bersedia”  kata Pradipa yang dari tadi hanya mendengarkan pembicaraan,  kemudian  ia berlutut,  “Guru terimalah hormat muridmu”
“Haa..haa..haa..anak baik” tawa kakek itu penuh kegirangan.
Betapa senangnya hati Pradipa karena tanpa dia sengaja dan melalui kejadian tak disengaja pula, dia menemukan seorang guru yang sangat sakti.  Memang itulah jodoh yang telah ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa.  Salah satu rahasia Tuhan yang tak dapat diketahui oleh manusia adalah perjodohan.  Bukan saja jodoh tentang teman hidup,  tetapi juga pertemuan dengan sesuatu yang cocok dihati.
Sejak saat itulah,  setelah pamit pada kedua orang tuanya,  Pradipa pergi bersama si Kakek Tua untuk mempelajari ilmu-ilmu yang dimiliki si Kakek tua itu.

👋👋👋👋👀👋👋👋👋👋
Selanjutnya di Klik Bagian Episode 5

No comments:

Post a Comment