KITAB NAGA
(Karya: Mas Wient)
Bagian 2 Episode 7
Kita tinggalkan sejenak Ki Suryo yang mencoba mengobati
dirinya sendiri akibat luka dalam setelah bertempur dengan Dewi Kematian. Kita melihat di sebuah desa di lereng bukit
yang tampak ramai oleh lalu lalang orang.
Seorang pemuda dengan menggunakan baju biru berjalan dengan
santainya. Di pinggangnya terselip
tongkat kecil, tentunya tongkat itu
bukanlah tongkat sembarangan, tongkat itu terbuat dari batang kayu dewandaru. Dewandaru adalah sebuah pohon yang terkenal
di daratan Karimun Jawa dan tidak semua orang bisa untuk membawanya. Kanon kabarnya Kayu Dewandaru mempunyai
kekuatan yang ampuh bagaikan sebuah besi sehingga saat kayu itu di masukkan ke
dalam air tidak seperti kayu-kayu yang lain yang terus mengapung akan tetapi
kayu dewandaru akan tenggelam. Karena
itulah tidak semua orang mampu membawa kayu dewandaru apalagi sampai
menyeberang dari Karimun Jawa.
Pemuda it uterus melangkah memasuki kedai kecil, dia
mengambil tempat duduk di pojok sehingga pandangan matanya bisa leluasa melihat
lalu lalang orang-orang yang lewat di depan kedai. Siapakah pemuda itu?
Tentunya para pembaca masih ingat Caraka. Anak dari Palguna yang dikenal dengan sebutan
Pendekar Banaspati (Baca Bagian 1 Episode 2).
Sepeninggalan ayahnya, Caraka bersama ibunya terus mengembara. Selama pengembaraannya itulah ibunya juga
menggembleng Caraka dengan ilmu-ilmu yang hebat, dia wariskan seluruh
kepandaiannya pada anaknya. Kini Caraka
berusia tujuh belas tahun, usia remaja yang sudah matang. Bersama dengan ibunya, Caraka berhasil membuka
usaha ekspedisi yang melayani pengiriman barang-barang baik dari rakyat jelata
sampai pejabat tinggi.
“Pesan apa Tuan?”
Tanya seorang pelayan pada Caraka.
“Minuman dan makanan saja pak” jawab Caraka singkat,
pelayan itu segera menyiapkan pesanan Caraka
dan tak lama kemudian pelayan itu kembali dengan membawa segelas minuman
dan sepiring nasi lengkap dengan lauknya.
Caraka segera menyantap makanan itu dengan lahapnya. Baru separo Caraka menikmati makanannya,
tiba-tiba pemilik kedai itu datang dengan muka pucat dan ketakutan.
“Maaf tuan-tuan, bukan maksud saya mengusir tuan-tuan”
katanya dengan sinar mata penuh ketakutan, “demi keselamatan tuan-tuan saya
mohon tuan-tuan segera meninggalkan kedai saya”
mendengar omongan pemilik kedai, para tamu saling bertanya-tanya, tapi
ada beberapa orang yang segera menyingkir, mungkin sudah tahu maksud omongan si
pemilik kedai itu. Caraka masih terus
menikmati makanannya.
“Tuan, silahkan tuan..” tegur pemilik kedai pada Caraka
“Ada apa pak?” Tanya Caraka seakan tidak mendengar dengan
apa yang telah diomongkan si pemilik kedai.
“Sudahlah, nanti tuan akan tahu sendiri” jawab pemilik
kedai itu dengan perasaan cemas karena ia merasa bertanggungjawab atas
keselamatan para pelanggannya.
“Baiklah ….” Baru satu kata yang keluar dari bibir Caraka,
lima orang dengan wajah kasar dan tubuh kekar telah masuk ke dalam kedai itu.
“Cepat sediakan arak yang baik untukku!” teriak salah
seorang dari mereka, sementara yang lain tertawa-tawa. Para pelayan kedai segera memenuhi permintaan
lima orang yang baru datang. Pemilik
kedai semakin tampak gugup dan pucat.
Caraka mengurungkan niatnya untuk berdiri dan pergi melainkan kembali
duduk dan melanjutkan menyantap makanannya.
Caraka dapat menebak siapa lima orang itu.
“Bapak tidak perlu kuatir” katanya lirih berbisik untuk
menenangkan hati pemilik kedai. “Tapi
tuan…?” pemilik kedai itu akan membantah karena merasa bertanggung jawab dan
mengkwatirkan pelanggannya, tetapi Caraka segera memotongnya “Sudahlah pak,
tidak akan terjadi apa-apa”
“Haii… pak tua, cepaat sediakan makannya!” suara bentakan ditujukan pada si pemilik
kedai, suara itu datang dari salah
seorang gerombolan lima orang yang baru datang tadi.
“Baa…baa…baaaik.. tuan” sambil mengangguk pemilik kedai itu
menjawab dengan gemetar lalu menyelinap ke belakang untuk segera menyediakan
makanan.
“Haaa…haa..haaa… rupanya ada monyet baru datang kemari”
kata orang tadi sambil melirik Caraka, seolah-olah kata-kata itu ditujukan pada
Caraka, yang lainnya tertawa
terbahak-baha. Cara hanya diam dan
dengan tenang ia melanjutkan makannya.
Saat pemilik kedai itu datang kembali untuk menyerahkan makanan pada
lima orang tamunya, tiba-tiba Caraka berdiri dan berkata sedikit keras.
“Pak, kenapa di sini banyak lalat-lalat busuk, sangat
memuakkan” katanya, “Kalau memang tak
mampu membersihkan dan mengusir lalat itu biarlah nanti saya yang
bereskan” kata-kata Caraka memang sengaja
di tujukan pada lima orang itu.
“Bangsaat lancing betul mulutnya…!” rupanya kata-kata
Caraka membuat mereka marah, dengan gerakan yang sangat cepat salah satu dari
mereka melempar baki yang berisi makanan ke arah Caraka. Mendapat serangan seperti itu dengan
menggunakan tenaga dalamnya Caraka menahan serangan itu sehingga baki yang
berisi makanan berhenti tepat di depan mata Caraka.
“Maaf tuan-tuan, saya tidak berselera makan seperti
ini” kata Caraka lembut, “Terimalah
kembali …!” baki itu segera melayang ke arah lima orang kembali, melihat baki itu kembali berbalik maka lima orang itu
segera menghindar, tapi aneh baki itu tetap berputar-putar dan melakukan
serangan pada lima orang kasar itu.
“Bangsaat…” umpat mereka sambil melakukan serangan kea rah
baki yang masih melayang-layang.
“Duuuk…” pukulan dari salah satu dari mereka tepat mengenai baki, namun
“Aduuh…” terdengar jeritan tertahan dari
orang tersebut dan tubuhnya terpental beberapa tombak sedangkan baki itu masih
tetap melayang. Melihat temannya
terjerembab saat memukul baki itu, membuat keempat lainnya menjadi penasaran.
“Badebah…” makinya, seorang lagi melakukan tendangan saat
baki itu menyerang kea rah kakinya, tapi seperti temannya yang pertama tadi
iapun jatuh berguling-guling sambil memegangi kakinya, serentak tiga orang yang
lain menyergap baki itu secara bersamaan.
Nasib sial juga dialami mereka
bertiga, kali ini ketiga orang itu terpental keluar dari kedai. Kini mereka baru menyadari bahwa orang yang
dihadapi kali ini bukanlah orang yang bisa dipandang sebelah mata. Dengan tertatih-tatih mereka mencoba untuk
berdiri, dan baki itupun mulai
berputar-putar kembali siap melakukan serangan pada mereka. Tampaknya nyali lima orang itu sudah
mengendor sehingga serentak mereka lebih memilih langkah seribu, mereka berlari
dengan menyeret kakinya yang pincang.
Orang-orang yang melihat kejadian itu tertawa terpingkal-pingkal karena
di belakang mereka baki itu tetap
mengikuti sampai beberapa langkah.
“Terima kasih tuan,
tapi tuan telah masuk dalam bahaya”
kata pemilik kedai dengan perasaan kagum bercampur takut dan kuatir, ia
tahu kalau pemuda yang ada di hadapannya adalah seorang pendekar.
“Siapa mereka pak?” Tanya Caraka
“Mereka anak buah Juragan Karta” jawab pemilik kedai
“Hah, bukankah Juragan Karta orangnya sangat baik?” Caraka sedikit terkejut saat di sebut Juragan
Karta.
“Memang juragan Karta itu baik, tetapi kami sendiri tidak
tahu, akhir-akhir ini Juragan Karta selalu menggunakan tukang pukulnya” jelas
pemilik kedai.
“Setahu saya, Juragan Karta tak pernah berbuat kejam atau
arogan, malahan sebaliknya dia suka menolong pada rakyat kecil” Caraka semakin tak mengerti.
“Itulah yang membuat kami bingung, memang akhir-akhir ini banyak orang-orang
aneh yang bergantian datang ke tempat
Juragan Karta, dan sejak saat itu pula Juragan Karta mempunyai tukang-tukang
pukul yang sangat kuat dan kejam” cerita pemilik kedai.
“Apakah selama ini Juragan Karta selalu diganggu
orang-orang aneh itu?” Caraka mencoba untuk menebak.
“Entahlah, kadang terdengar suara tawa dan pesta pora”
jawab pemilik kedai.
“Baiklah pak, terima
kasih bapak sudah memperingatkan saya” kata Caraka menjura.
“Tuan mau kemana?” Tanya pemilik kedai kembali
“Saya mau ke rumah Juragan Karta” jawab Caraka, mendengar
jawaban itu si pemilik kedai kembali dibuat terkejut dan semakin cemas.
“Bapak tidak perlu kuatir, saya memang ada urusan sedikit
dengan Juragan Karta” kata Caraka
menjawab rasa terkejut dan cemas pemilik kedai yang tertahan. Setelah meletakkan beberapa lempengan uang
logam untuk membayar makanan, Caraka melangkahkan kakinya. Semua mata tertuju pada Caraka, mereka merasa
kagum akan kehebatan dan kegagahan Caraka.
Sementara
di rumah Juragan Karta, tampak seorang perempuan muda berwajah cantik duduk di
teras rumah. Wajahnya begitu gelisah,
sesekali ia berdiri, berjalan dan duduk kembali. Itu menandakan bahwa hatinya merasa tidak
tenang. Tib-tiba dari pintu gerbang lima
orang berlari-lari ke arah teras rumah.
“Celaka Nyai…” kata salah satu dari mereka, orang yang dipanggil Nyai itu mengerutkan
alisnya. “Hayo katakana ada apa..!?
bentaknya tak sabar.
“Di desa sana ada pendekar muda, kami berlima tidak mampu
menandingi…” jelas teman yang satunya.
“Bah!, lima singa ompong tak ada guna!” maki perempuan itu.
“Dia cukup lihai Nyai, semula kami bertarung tanpa senjata,
tapi setelah dia mengeluarkan pedangnya kami menjadi kalang kabut” jelas
seorang dari mereka, cerita yang dibuat
adalah cerita bohong karena mereka akan merasa malu kalau menceritakan yang
sebenarnya bahwa mereka bertarung hanya melawan sebuah baki.
“Kami tidak tahu Nyai, kalau dia ….” Belum selesai mereka
bicara, salah satu dari temannya menunjuk ke arah pintu gerbang sambil
berteriak, “Itu dia orangnya…!”. Memang
Nampak terlihat Caraka berjalan memasuki halaman rumah itu dengan tenangnya.
“Kalian dungu! Dia Caraka yang aku tunggu-tunggu” bentak
perempuan itu, “Ayo lekas kalian pergi dari sini!” serentak kelima orang itu
menggeloyor pergi. Perempuan itu
menyambut kedatangan Caraka.
“Selamat datang Caraka”
sambutnya ramah, Caraka hanya
tersenyum kecil, ia merasa tidak mengenal wanita yang menyambut kedatangannya.
“Siapakah nona…?” Tanya Caraka dengan panggilan nona,
karena memang perempuan itu masih Nampak kelihatan muda belia.
“Nyonya, saya Nyonya
Karta” jawab wanita itu dengan nada tegas.
“Bukankah …..”
Caraka tidak jadi melanjutkan kata-katanya, walaupun dalam hati masih
mengganjal pertanyaan. Selama ini Caraka
mengenal baik siapa Juragan Karta yang menjadi langganannya dalam memberikan
pelayanan ekspedisi. Bahkan dengan
keluarganyapun Caraka mengenal satu persatu, tapi dengan wanita yang satu ini
Caraka merasa sangat asing malah mempunyai rasa curiga yang cukup kuat. Melihat gelagat seperti itu perempuan itu
segera masuk kedalam untuk memanggil Juragan Karta dengan terlebih dahulu mempersilahkan
Caraka masuk dan duduk.
“Kau sudah datang Caraka”
seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih muncul dari balik
pintu, tubuhnya kurus, matanya cekung dan di dahinya terdapat tahi lalat,
dialah Juragan Karta.
“Maaf Juragan, saya agak terlambat datang” kata caraka
sambil menghormat.
“Ah, tidak masalah, saya berterima kasih sekali kamu dapat
datang” suara Juragan Karta lirih.
“Ada keperluan apakah sehingga Juragan mengundang saya? Apa
yang dapat saya bantu untuk Juragan?”
Tanya Caraka. Juragan Karta
tampak ragu, sinar matanya kuyu, ada sesuatu yang tersembunyi dalam
hatinya. Caraka dapat merasakan
kegelisahan Juragan Karta tetapi ia pura-pura tidak tahu dan tak mengungkapkan
rasa ingin tahunya pada Juragan Karta.
“Ada pekerjaan untukmu” kata Juragan Karta datar,
“Mengantarkan barang ke Ibu Kota”
“Itu memang sudah pekerjaan saya Juragan, akan saya lakukan sebaik-baiknya” kata
Caraka.
“Tapi kali ini barang yang akan kamu bawa sangatlah
membahayakan jiwamu, bahkan sangat mengancam ji …” Juragan Karta menghentikan
pembicaraannya begitu melihat perempuan yang menyambut Caraka tadi tiba-tiba
keluar kembali sambil membawa minuman dan meletakkan di atas meja.
“Silahkan …” katanya
pempersilahkan, Caraka hanya mengangguk kecil.
Setelah perempuan itu masuk kembali, Caraka memberanikan diri bertanya
pada Juragan Karta, “Rasanya saya belum pernah
bertemu, siapa dia Juragan?”.
Juragan Karta sudah menduga kalau akan terlontar pertanyaan seperti itu
dari bibir Caraka, tetapi masih saja tetap terlihat kegugupannya bahkan
wajahnya menjadi pucat setelah mendapat pertanyaan seperti itu dari Caraka.
“Di..dia.. istri kedua saya” jawab Juragan Karta
terputus-putus. Caraka merasakan ada
kebohongan dengan apa yang dikatakan Juragan Karta, selama ini Caraka mengenal
siapa Juragan Karta yang selalu berbuat jujur dan tidak pernah merugikan orang
lain, tetapi nampaknya kali ini ada sesuatu yang tersembunyi di balik senyum
Juragan Karta. Caraka hanya membatin
dalam hati dan tidak melanjutkan pertanyaan-pertanyaan lagi.
“Kapan barang-barang itu harus saya kirim Juragan?” Tanya
Caraka mengalihkan pokok pembicaraan.
“Besok pagi saat ayam berkokok” jawab Juragan Karta sambil
menarik nafas lega.
“Baiklah, besok pagi saya akan datang untuk membawa
barang-barang itu” kata caraka sambil tangannya diulurkan untuk mengambil gelas
yang berisi minuman yang disuguhkan di hadapannya, belum sampai tangan Caraka
menyentuh gelas, “Sreet…praaaang…” meja itu terdorong sehingga gelas yang akan
di ambil Caraka terjatuh dan pecah berantakan, Caraka sangat terkejut.
“Ma..ma..maaf..” dengan gugup Juragan Karta minta maaf pada
Caraka.
“meoong….meooong….” seekor kucing melompat ke arah gelas
yang pecah terjatuh, lidahnya menjulur-julur menjilati air minum yang tercecer di lantai. Caraka hanya menatap kucing itu, alangkah
terkejutnya Caraka tatkala kucing itu berjalan sempoyongan seperti mabuk sambil
mengeong, sebentar kucing itu mengejang lalu diam tak bergerak. Kini Caraka sadar bahwa air yang ada di dalam
gelas itu berisi racun yang telah dicampur.
“Keji!” guman Caraka dalam hati. Caraka sadar bahwa Juragan Karta telah
menyelamatkan jiwanya dari maut.
Memang saat Caraka akan mengambil gelas itu, secara sengaja
Juragan Karta menggerakkan kakinya sehingga menyenggol kaki meja dengan keras
yang mengakibatkan gelas itu terjatuh.
Juragan Karta telah menduga kalau minuman yang disuguhkan pada Caraka
telah dicampur racun oleh yang membuatnya.
Kecurigaan Caraka semakin kuat
dengan kejadian itu, Caraka merasa iba saat menatap wajah Juragan Karta yang
kembali memucat dengan perasaan takut yang sangat kuat. Dalam hati penuh tanda Tanya, akhirnya Caraka
mohon pamit pada Juragan Karta, Caraka diantar sampai depan pintu gerbang. Dengan langkah kecil Caraka melangkah dengan
hati dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan dan rasa kecurigaan yang begitu
besar.
No comments:
Post a Comment