Tuesday, November 13, 2018

Kitab Naga Bagian 2 Episode 7

KITAB NAGA
(Karya: Mas Wient)
Bagian 2 Episode 7


Kita tinggalkan sejenak Ki Suryo yang mencoba mengobati dirinya sendiri akibat luka dalam setelah bertempur dengan Dewi Kematian.  Kita melihat di sebuah desa di lereng bukit yang tampak ramai oleh lalu lalang orang.  Seorang pemuda dengan menggunakan baju biru berjalan dengan santainya.  Di pinggangnya terselip tongkat kecil,  tentunya tongkat itu bukanlah tongkat sembarangan, tongkat itu terbuat dari batang kayu dewandaru.  Dewandaru adalah sebuah pohon yang terkenal di daratan Karimun Jawa dan tidak semua orang bisa untuk membawanya.  Kanon kabarnya Kayu Dewandaru mempunyai kekuatan yang ampuh bagaikan sebuah besi sehingga saat kayu itu di masukkan ke dalam air tidak seperti kayu-kayu yang lain yang terus mengapung akan tetapi kayu dewandaru akan tenggelam.  Karena itulah tidak semua orang mampu membawa kayu dewandaru apalagi sampai menyeberang dari Karimun Jawa.

Pemuda it uterus melangkah memasuki kedai kecil, dia mengambil tempat duduk di pojok sehingga pandangan matanya bisa leluasa melihat lalu lalang orang-orang yang lewat di depan kedai.  Siapakah pemuda itu?

Tentunya para pembaca masih ingat Caraka.  Anak dari Palguna yang dikenal dengan sebutan Pendekar Banaspati (Baca Bagian 1 Episode 2).  Sepeninggalan ayahnya, Caraka bersama ibunya terus mengembara.  Selama pengembaraannya itulah ibunya juga menggembleng Caraka dengan ilmu-ilmu yang hebat, dia wariskan seluruh kepandaiannya pada anaknya.  Kini Caraka berusia tujuh belas tahun, usia remaja yang sudah matang.  Bersama dengan ibunya, Caraka berhasil membuka usaha ekspedisi yang melayani pengiriman barang-barang baik dari rakyat jelata sampai pejabat tinggi.

“Pesan apa Tuan?”  Tanya seorang pelayan pada Caraka.

“Minuman dan makanan saja pak” jawab Caraka singkat, pelayan itu segera menyiapkan pesanan Caraka  dan tak lama kemudian pelayan itu kembali dengan membawa segelas minuman dan sepiring nasi lengkap dengan lauknya.  Caraka segera menyantap makanan itu dengan lahapnya.  Baru separo Caraka menikmati makanannya, tiba-tiba pemilik kedai itu datang dengan muka pucat dan ketakutan.

“Maaf tuan-tuan, bukan maksud saya mengusir tuan-tuan” katanya dengan sinar mata penuh ketakutan, “demi keselamatan tuan-tuan saya mohon tuan-tuan segera meninggalkan kedai saya”  mendengar omongan pemilik kedai, para tamu saling bertanya-tanya, tapi ada beberapa orang yang segera menyingkir, mungkin sudah tahu maksud omongan si pemilik kedai itu.  Caraka masih terus menikmati makanannya.

“Tuan, silahkan tuan..” tegur pemilik kedai pada Caraka
“Ada apa pak?” Tanya Caraka seakan tidak mendengar dengan apa yang telah diomongkan si pemilik kedai.
“Sudahlah, nanti tuan akan tahu sendiri” jawab pemilik kedai itu dengan perasaan cemas karena ia merasa bertanggungjawab atas keselamatan para pelanggannya.
“Baiklah ….” Baru satu kata yang keluar dari bibir Caraka, lima orang dengan wajah kasar dan tubuh kekar telah masuk ke dalam kedai itu.
“Cepat sediakan arak yang baik untukku!” teriak salah seorang dari mereka, sementara yang lain tertawa-tawa.  Para pelayan kedai segera memenuhi permintaan lima orang yang baru datang.  Pemilik kedai semakin tampak gugup dan pucat.  Caraka mengurungkan niatnya untuk berdiri dan pergi melainkan kembali duduk dan melanjutkan menyantap makanannya.  Caraka dapat menebak siapa lima orang itu.
“Bapak tidak perlu kuatir” katanya lirih berbisik untuk menenangkan hati pemilik kedai.  “Tapi tuan…?” pemilik kedai itu akan membantah karena merasa bertanggung jawab dan mengkwatirkan pelanggannya, tetapi Caraka segera memotongnya “Sudahlah pak, tidak akan terjadi apa-apa”
“Haii… pak tua, cepaat sediakan makannya!”  suara bentakan ditujukan pada si pemilik kedai,  suara itu datang dari salah seorang gerombolan lima orang yang baru datang tadi.
“Baa…baa…baaaik.. tuan” sambil mengangguk pemilik kedai itu menjawab dengan gemetar lalu menyelinap ke belakang untuk segera menyediakan makanan.
“Haaa…haa..haaa… rupanya ada monyet baru datang kemari” kata orang tadi sambil melirik Caraka, seolah-olah kata-kata itu ditujukan pada Caraka,  yang lainnya tertawa terbahak-baha.  Cara hanya diam dan dengan tenang ia melanjutkan makannya.  Saat pemilik kedai itu datang kembali untuk menyerahkan makanan pada lima orang tamunya, tiba-tiba Caraka berdiri dan berkata sedikit keras.
“Pak, kenapa di sini banyak lalat-lalat busuk, sangat memuakkan”  katanya, “Kalau memang tak mampu membersihkan dan mengusir lalat itu biarlah nanti saya yang bereskan”  kata-kata Caraka memang sengaja di tujukan pada lima orang itu.
“Bangsaat lancing betul mulutnya…!” rupanya kata-kata Caraka membuat mereka marah, dengan gerakan yang sangat cepat salah satu dari mereka melempar baki yang berisi makanan ke arah Caraka.  Mendapat serangan seperti itu dengan menggunakan tenaga dalamnya Caraka menahan serangan itu sehingga baki yang berisi makanan berhenti tepat di depan mata Caraka.
“Maaf tuan-tuan, saya tidak berselera makan seperti ini”  kata Caraka lembut, “Terimalah kembali …!”  baki itu segera melayang ke arah lima orang kembali, melihat baki itu kembali berbalik maka lima orang itu segera menghindar, tapi aneh baki itu tetap berputar-putar dan melakukan serangan pada lima orang kasar itu.
“Bangsaat…” umpat mereka sambil melakukan serangan kea rah baki yang masih melayang-layang.  “Duuuk…” pukulan dari salah satu dari mereka tepat mengenai baki, namun “Aduuh…” terdengar  jeritan tertahan dari orang tersebut dan tubuhnya terpental beberapa tombak sedangkan baki itu masih tetap melayang.  Melihat temannya terjerembab saat memukul baki itu, membuat keempat lainnya menjadi penasaran.
“Badebah…” makinya, seorang lagi melakukan tendangan saat baki itu menyerang kea rah kakinya, tapi seperti temannya yang pertama tadi iapun jatuh berguling-guling sambil memegangi kakinya, serentak tiga orang yang lain menyergap baki itu secara bersamaan.  Nasib sial  juga dialami mereka bertiga, kali ini ketiga orang itu terpental keluar dari kedai.  Kini mereka baru menyadari bahwa orang yang dihadapi kali ini bukanlah orang yang bisa dipandang sebelah mata.   Dengan tertatih-tatih mereka mencoba untuk berdiri,  dan baki itupun mulai berputar-putar kembali siap melakukan serangan pada mereka.  Tampaknya nyali lima orang itu sudah mengendor sehingga serentak mereka lebih memilih langkah seribu, mereka berlari dengan menyeret kakinya yang pincang.  Orang-orang yang melihat kejadian itu tertawa terpingkal-pingkal karena di belakang mereka baki itu  tetap mengikuti sampai beberapa langkah.
“Terima kasih tuan,  tapi tuan telah masuk dalam bahaya”  kata pemilik kedai dengan perasaan kagum bercampur takut dan kuatir, ia tahu kalau pemuda yang ada di hadapannya adalah seorang pendekar.
“Siapa mereka pak?” Tanya Caraka
“Mereka anak buah Juragan Karta”  jawab pemilik kedai
“Hah, bukankah Juragan Karta orangnya sangat baik?”  Caraka sedikit terkejut saat di sebut Juragan Karta.
“Memang juragan Karta itu baik, tetapi kami sendiri tidak tahu, akhir-akhir ini Juragan Karta selalu menggunakan tukang pukulnya” jelas pemilik kedai.
“Setahu saya, Juragan Karta tak pernah berbuat kejam atau arogan, malahan sebaliknya dia suka menolong pada rakyat kecil”   Caraka semakin tak mengerti.
“Itulah yang membuat kami bingung,  memang akhir-akhir ini banyak orang-orang aneh  yang bergantian datang ke tempat Juragan Karta, dan sejak saat itu pula Juragan Karta mempunyai tukang-tukang pukul yang sangat kuat dan kejam” cerita pemilik kedai.
“Apakah selama ini Juragan Karta selalu diganggu orang-orang aneh itu?” Caraka mencoba untuk menebak.
“Entahlah, kadang terdengar suara tawa dan pesta pora” jawab pemilik kedai.
“Baiklah pak,  terima kasih bapak sudah memperingatkan saya” kata Caraka menjura.
“Tuan mau kemana?” Tanya pemilik kedai kembali
“Saya mau ke rumah Juragan Karta” jawab Caraka, mendengar jawaban itu si pemilik kedai kembali dibuat terkejut dan semakin cemas.
“Bapak tidak perlu kuatir, saya memang ada urusan sedikit dengan Juragan Karta”  kata Caraka menjawab rasa terkejut dan cemas pemilik kedai yang tertahan.  Setelah meletakkan beberapa lempengan uang logam untuk membayar makanan, Caraka melangkahkan kakinya.  Semua mata tertuju pada Caraka, mereka merasa kagum akan kehebatan dan kegagahan Caraka.
            Sementara di rumah Juragan Karta, tampak seorang perempuan muda berwajah cantik duduk di teras rumah.  Wajahnya begitu gelisah, sesekali ia berdiri, berjalan dan duduk kembali.  Itu menandakan bahwa hatinya merasa tidak tenang.  Tib-tiba dari pintu gerbang lima orang berlari-lari ke arah teras rumah.
“Celaka Nyai…” kata salah satu dari mereka,  orang yang dipanggil Nyai itu mengerutkan alisnya.  “Hayo katakana ada apa..!? bentaknya tak sabar.
“Di desa sana ada pendekar muda, kami berlima tidak mampu menandingi…” jelas teman yang satunya.
“Bah!, lima singa ompong tak ada guna!” maki perempuan itu.
“Dia cukup lihai Nyai, semula kami bertarung tanpa senjata, tapi setelah dia mengeluarkan pedangnya kami menjadi kalang kabut” jelas seorang dari mereka,  cerita yang dibuat adalah cerita bohong karena mereka akan merasa malu kalau menceritakan yang sebenarnya bahwa mereka bertarung hanya melawan sebuah baki.
“Kami tidak tahu Nyai, kalau dia ….” Belum selesai mereka bicara, salah satu dari temannya menunjuk ke arah pintu gerbang sambil berteriak, “Itu dia orangnya…!”.  Memang Nampak terlihat Caraka berjalan memasuki halaman rumah itu dengan tenangnya.
“Kalian dungu! Dia Caraka yang aku tunggu-tunggu” bentak perempuan itu, “Ayo lekas kalian pergi dari sini!” serentak kelima orang itu menggeloyor pergi.  Perempuan itu menyambut kedatangan Caraka.
“Selamat datang Caraka”  sambutnya ramah,  Caraka hanya tersenyum kecil, ia merasa tidak mengenal wanita yang menyambut kedatangannya.
“Siapakah nona…?” Tanya Caraka dengan panggilan nona, karena memang perempuan itu masih Nampak kelihatan muda belia.
“Nyonya,  saya Nyonya Karta” jawab wanita itu dengan nada tegas.
“Bukankah …..”  Caraka tidak jadi melanjutkan kata-katanya, walaupun dalam hati masih mengganjal pertanyaan.  Selama ini Caraka mengenal baik siapa Juragan Karta yang menjadi langganannya dalam memberikan pelayanan ekspedisi.  Bahkan dengan keluarganyapun Caraka mengenal satu persatu, tapi dengan wanita yang satu ini Caraka merasa sangat asing malah mempunyai rasa curiga yang cukup kuat.  Melihat gelagat seperti itu perempuan itu segera masuk kedalam untuk memanggil Juragan Karta dengan terlebih dahulu mempersilahkan Caraka masuk dan duduk.
“Kau sudah datang Caraka”  seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih muncul dari balik pintu, tubuhnya kurus, matanya cekung dan di dahinya terdapat tahi lalat, dialah Juragan Karta.
“Maaf Juragan, saya agak terlambat datang” kata caraka sambil menghormat.
“Ah, tidak masalah, saya berterima kasih sekali kamu dapat datang” suara Juragan Karta lirih.
“Ada keperluan apakah sehingga Juragan mengundang saya? Apa yang dapat saya bantu untuk Juragan?”  Tanya Caraka.  Juragan Karta tampak ragu, sinar matanya kuyu, ada sesuatu yang tersembunyi dalam hatinya.  Caraka dapat merasakan kegelisahan Juragan Karta tetapi ia pura-pura tidak tahu dan tak mengungkapkan rasa ingin tahunya pada Juragan Karta.
“Ada pekerjaan untukmu” kata Juragan Karta datar, “Mengantarkan barang ke Ibu Kota”
“Itu memang sudah pekerjaan saya Juragan,  akan saya lakukan sebaik-baiknya” kata Caraka.
“Tapi kali ini barang yang akan kamu bawa sangatlah membahayakan jiwamu, bahkan sangat mengancam ji …” Juragan Karta menghentikan pembicaraannya begitu melihat perempuan yang menyambut Caraka tadi tiba-tiba keluar kembali sambil membawa minuman dan meletakkan di atas meja.
“Silahkan …”  katanya pempersilahkan, Caraka hanya mengangguk kecil.  Setelah perempuan itu masuk kembali, Caraka memberanikan diri bertanya pada Juragan Karta, “Rasanya saya belum pernah  bertemu, siapa dia Juragan?”.  Juragan Karta sudah menduga kalau akan terlontar pertanyaan seperti itu dari bibir Caraka, tetapi masih saja tetap terlihat kegugupannya bahkan wajahnya menjadi pucat setelah mendapat pertanyaan seperti itu dari Caraka.
“Di..dia.. istri kedua saya” jawab Juragan Karta terputus-putus.  Caraka merasakan ada kebohongan dengan apa yang dikatakan Juragan Karta, selama ini Caraka mengenal siapa Juragan Karta yang selalu berbuat jujur dan tidak pernah merugikan orang lain, tetapi nampaknya kali ini ada sesuatu yang tersembunyi di balik senyum Juragan Karta.  Caraka hanya membatin dalam hati dan tidak melanjutkan pertanyaan-pertanyaan lagi.
“Kapan barang-barang itu harus saya kirim Juragan?” Tanya Caraka mengalihkan pokok pembicaraan.
“Besok pagi saat ayam berkokok” jawab Juragan Karta sambil menarik nafas lega.
“Baiklah, besok pagi saya akan datang untuk membawa barang-barang itu” kata caraka sambil tangannya diulurkan untuk mengambil gelas yang berisi minuman yang disuguhkan di hadapannya, belum sampai tangan Caraka menyentuh gelas, “Sreet…praaaang…” meja itu terdorong sehingga gelas yang akan di ambil Caraka terjatuh dan pecah berantakan, Caraka sangat terkejut.
“Ma..ma..maaf..” dengan gugup Juragan Karta minta maaf pada Caraka.
“meoong….meooong….” seekor kucing melompat ke arah gelas yang pecah terjatuh, lidahnya menjulur-julur menjilati air minum yang  tercecer di lantai.  Caraka hanya menatap kucing itu, alangkah terkejutnya Caraka tatkala kucing itu berjalan sempoyongan seperti mabuk sambil mengeong, sebentar kucing itu mengejang lalu diam tak bergerak.  Kini Caraka sadar bahwa air yang ada di dalam gelas itu berisi racun yang telah dicampur.
“Keji!” guman Caraka dalam hati.  Caraka sadar bahwa Juragan Karta telah menyelamatkan jiwanya dari maut.
Memang saat Caraka akan mengambil gelas itu, secara sengaja Juragan Karta menggerakkan kakinya sehingga menyenggol kaki meja dengan keras yang mengakibatkan gelas itu terjatuh.  Juragan Karta telah menduga kalau minuman yang disuguhkan pada Caraka telah dicampur racun oleh yang membuatnya.  Kecurigaan Caraka semakin  kuat dengan kejadian itu, Caraka merasa iba saat menatap wajah Juragan Karta yang kembali memucat dengan perasaan takut yang sangat kuat.  Dalam hati penuh tanda Tanya, akhirnya Caraka mohon pamit pada Juragan Karta, Caraka diantar sampai depan pintu gerbang.   Dengan langkah kecil Caraka melangkah dengan hati dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan dan rasa kecurigaan yang begitu besar.

✋✋ Berlanjut ke Klik Bagian 2 Episode 8 ✋✋

No comments:

Post a Comment