KITAB NAGA
(Karya Mas Wient)
Bagian 2 Episode 4
Suatu
hari, tampak anak-anak kecil bermain berkejaran ataupun petak umpet, itulah
yang menjadi hiburan anak-anak desa untuk mengisi hari-harinya yang
kosong. Ada lima anak lebih yang
bermain, rata-rata berusia tujuh tahunan.
Cara bermainnya adalah dengan
melakukan hompimpah untuk menentukan siapa yang kalah untuk menjadi pawang dan
harus menjaga batu atau kayu atau benda lain yang ditata bertumpuk-tumpuk
sebagai sasaran lawan, sedangkan sang lawan dari jarak tertentu akan
melemparkan batu masing-masing sebagai gacu ke arah batu yang dijaga sang pawang,
kalau gacu itu mengenai sasaran si pawang
segera mengumpulkan batu-batu lawannya dan diletakkan dekat dengan batu sasaran
tadi, sementara yang lain segera lari bersembunyi, tugas dari sang pawang berikutnya adalah mencari lawannya yang bersembunyi sampai
semua dapat tertangkap.
“Hompimpaah….!”
Teriak anak-anak dengan riangnya.
“Hayo,
Paijo yang jadi pawang!” kembali mereka
bersoran dengan riangnya, sementara Paijo yang disebut tadi hanya garuk-garuk
kepala yang tidak gatal sambil meletakkan batunya di atas tanah sebagai sasaran, teman-temannya
yang lain mulai melempar batunya masing-masing satu persatu. Buuk…buuuk….buuuk…. lemparan-lemparan batu
taka ada yang mengenai batu Paijo.
Tiba-tiba permainan mereka terhenti, mereka terdiam mendengar suara
syair yang tak berurutan tanpa seni baca layaknya orang membaca puisi.
“Dahan kering tinggal lapuk
Menunggu kuncup tak kunjung tiba
Tua Bangka menjelang ambruk
Sudah saatnya tulang tua diganti tulang
muda”
Syair
itu datang dari seorang laki-laki tua kira-kira berusia delapan puluh tahun
lebih, ia berjalan sempoyongan bagaikan orang mabuk, badanya kurus tinggal tulang yang dibalut
kulit tanpa daging, pakaiannya kumal dan
terdapat banyak tambalan disana-sini bahkan hamper sebagian telah robek mungkin
karena terlalu lama dan tak pernah kena air untuk dicuci, kakek itu berjalan
sedikit membongkok, kakinya terasa berat
untuk melangkah, kadang sempoyongan seolah tak kuat menahan terpaan angin. Dia terus mengucap sajak-sajaknya.
“Dari gunung ke gunung
Menuju pantai ke pantai
Tak pernah ada jumpa pengganti
tulang
Mewarisi yang yang kupunya…..”
“Orang
gilaa..” teriak anak-anak yang sedang bermain, perasaan takut tiba-tiba
menyerang hati anak-anak yang sedang riang bermain, sesaat mereka terdiam
dengan muka pucat, tetapi salah satu dari mereka mengambil sebuah batu dan dilemparkannya ke arah kakek tua yang nampak
seperti gembel itu. Melihat temannya ada
yang melempar batu ke arah kakek tua itu
serentak yang lainnyapun segera mengambil batu dan dilemparkan secara
membabi buta kearah kekek tua itu.
“Buuk..buk…buuk…”
batu-batu itu mengenai tubuh sang kakek,
sesekali kakek itu meringis kesakitan tetapi tak ada niat sedikitpun
untuk menghindar, darah mulai keluar
dari dahinya yang terluka, sekejab saja
kulitnya yang sudah berkerut telah dibasahi oleh darah segar.
“Usir
orang gila itu..!” teriak anak-anak kecil itu semakin berani bahkan semakin
bernafsu untuk terus melempari batu begitu melihat sasarannya hanya
meliuk-liukkan tubuhnya tanpa mau lari menjauh,
hal ini semakin membuat anak-anak menjadi gemas dan jengkel sehingga
batu-batu yang dilemparkan semakin bertambah besar sampai sebesar kepalan
tangan orang dewasa.
“Hentikan…!” tiba-tiba ada suara bentakan yang menyuruh
mereka menghentikan lemparan, suaranya
kecil tetapi mengandung kewibawaan.
Rupanya suara itu berasal dari anak kecil berusia lima tahun yang
berdiri dengan gagahnya di depan kakek tua itu seakan melindungi kakek itu dari
lemparan batu anak-anak nakal.
“Hai
Dipa, minggir kamu..!” teriak anak-anak
yang melempari batu, “atau kamu pun ingin dilempari batu…!”
“Kalian
semua kejam…!” bentak anak yang
dipanggil Dipa yang tak lain adalah Pradipa.
Tentunya pembaca masih ingat Pradipa anak terakhir Raden Sabu. Secara kebetulan saat anak-anak melempari
batu ke arah sang kekek Pradipa lewat disitu bersama ayahnya.
“Lihat
ayah, kasihan orang tua itu!” kata Pradipa pada ayahnya saat melihat
pemandangan yang mengerikan itu, “Biar
saya menolong orang tua itu , ayah” pinta Pradipa, tanpa menunggu persetujuan ayahnya dia
langsung melesat lari, ayahnya hanya
menggelengkan kepala kagum pada keberanian anaknya, ayahnya sengaja tidak menyusul tetapi melihat
dari kejauhan apa yang akan dilakukan Pradipa.
“Anak
kecil kurang ajar…!” bentak Paijo sambil
melemparkan batu ke arah Pradipa,
mendapat serangan batu, Pradipa hanya memiringkan badanya sehingga batu
itu tidak mengenai sasaran. Melihat batu
itu tidak mengenai sasaran Paijo maju mendekati Pradipa dengan tangan
mengepal, sementara Pradipa menyadari
bahwa ada gelagat yang kurang baik sehingga begitu Paijo mendekat, dengan cepat
Pradipa mempersiapkan dirinya, memang
tak salah perkiraan Pradipa karena secara tiba-tiba Paijo melakukan serangan
kearah Pradipa, rupanya Paijo tidak
menyadari kalau Pradipa telah waspada
sebelumnya sehingga dengan menggeser tubuhnya sedikit saja Pradipa telah lepas
dari serangan Paijo. “Siaal..!” batin
Paijo kesal, “wuuus..!” kembali Paijo melakukan tendangan mengulang kegagalannya. Walaupun dilihat dari postur tubuhnya yang
masih kecil tetapi Pradipa sudah terlatih dengan gerakan-gerakan dasar ilmu
silat dari ayahnya, kembali serangan itu
tidak mengenai sasaran, bahkan “Ughk…” Pradipa berhasil membalas serangan itu
tepat pada perut Paijo
“Hayo..kita
hajar dia!” teriak Paijo dengan meringis menahan sakit, dia memberi komando
kepada teman-temannya. Serentak mereka
menyerang Pradipa.
“Tulang bagus datang di depan mata
Tak perlu lagi si tua pergi mencari
Jodoh memang sudah ada
Tuk mewarisi ilmu sejati…”
Kembali
terdengar sajak-sajak yang diucapkan kakek tadi yang tubuhnya belepotan darah,
sesekali kakek itu tertawa terkekeh-kekeh, badanya digoyang-goyangkan meniru
setiap gerakan Pradipa sambil memberikan dorongan, “Ayo tendang, pukul…jotos…” “Aduuh…” rintih
salah seorang dari pengeroyok Pradipa sambil memegangi perutnya yang terkena
tendangan Pradipa. “Aduuuh…!” kembali
terdengar lagi, tiga orang sudah mengaduh kesakitan. “Buuk..buuk..” serangan Pradipa
ditengah-tengah pengeroyok mengenai muka Paijo sehingga muka yang lembut itu
menjadi bengap akibat terkena pukulan.
“he..he..he..”
kakek itu terus tertawa-tawa, hatinya senang melihat jagonya dapat mengimbangi
lawannya walaupun dikeroyok secara bersama-sama.
“Gembel
Tua, beraninya mengadu anakku…!” tiba-tiba terdengar bentakan, serentak perkelahian itu berhenti.
“Ayah,
dia memukul saya…!” teriak Paijo sambil berlari memegani mukanya yang bengkak
ke arah laki-laki yang baru datang yang tak lain adalah ayahnya sendiri. Perawakannya tinggi tegap dan kekar,
dibelakangnya berdiri dua orang jago pukul.
Ayah Paijo adalah pembesar yang kaya raya dan sangat ditakuti oleh
penduduk, bukan karena jabatannya melainkan
karena dia mempunyai jago-jago pukul yang kejam dan bengis, kadang tak segan-segan jago-jago pukulnya
menghajar penduduk yang dianggap salah walaupun belum tentu salah, atau orang
yang dianggap membangkang atas kemauannya.
“Hajar
dia ayah..!” pinta Paijo pada ayahnya sambil menunjuk ke arah Pradipa, sementara Pradipa berdiri dengan tenangnya,
pandangannya tajam kedepan seolah menanti apa yang akan dilakukan Marjan ayah
Paijo dengan dua tukang pukulnya.
“Bocah
setan, berani kau membengkakkan muka anakku!” bentaknya.
“Hee..hee..hee..
urusan anak biarlah anak yang menyelesaikan, orang tua hanya sebagai penengah”
kakek tua itu menimpali omongan Marjan dengan suara tawanya yang khas.
“Tua
bangka, aku potong lidahmu yang lancang!” bentak Marjan.
“Haa..haa..ha…
kacang ora ninggal lanjaran, pantas saja
orang tuanya kasar… anaknyapun ikut kasar” ejek kakek tua itu dengan tawa. “Plaak..!” tiba-tiba tamparan Marjan mendarat
pada muka kakek itu, mendapat tamparan yang mendadak sang kakek jatuh
tertelungkap, dengan susah payah ia berusaha untuk bangun kembali, Marjan yang telah panas mendengar
ejekan-ejekannya kembali mengayunkan kakinya, “Duuk..!” terdengar tendangan itu
mengenai sasaran tetapi bukan si kakek yang kena tendangan itu melainkan bocah
kecil Pradipa, Pradipa mencelat beberapa tombak. Saat kaki Marjan diayunkan ke arah si kakek
secepat kilat Pradipa menghadang tendangan itu sehingga tendangan itu mengenai
tubuh Pradipa yang mencelat beberapa tombak,
tak terdengar rintihan sedikitpun, bahkan Pradipa telah berdiri kembali,
mulutnya mengeluarkan darah. “he.he..he..anak baik, lagi-lagi kau menolongku!”
kata kakek itu.
“Cincang
tua bangka busuk itu..!” perintah Marjan pada dua algojonya, hatinya bukan
kasihan melainkan malah semakin meluap-luap amarahnya. Mendapat perintah dari juragannya dua algojo
itu maju sambil menghunus goloknya.
“Wuuut..wuuut..trang..!”
dua algojo itu mengayunkan goloknya ke arah si kakek, tetapi sebelum sampai
sasaran terdengar benturan senjata. Pada
saat yang kritis, hanya tinggal beberapa centi saja golok itu menyentuh tubuh
si kakek, Raden Sabu yang semula hanya menonton saja secepat kiat menangkis
serangan itu dengan pedangnya, dua orang algojo yang yang mengira akan mendapat
tangkisan itu menjadi sangat kaget sehingga dua algojo itu terdorong beberapa
langkah ke belakang. Kembali kakek tua
itu terlepas dari serangan yang mematikan.
“Maaf
tuan, kalau terpaksa saya turun tangan” kata Raden Sabu dengan lembutnya. Kedua algojo itu kembali dibuat terkejut saat
melihat Raden Sabu telah berdiri dihadapannya, tak terkecuali Marjan.
“Lagi-lagi
kau turut campur!” bentak Marjan untuk
menutupi rasa terkejut dan rasa segannya pada Raden Sabu.
“Maaf
tuan, apakah pantas orang seusia kita
menurunkan tangan kejam pada anak kecil dan seorang tua renta?” kata Raden
Sabu.
“Sabu,
semua orang dan pejabat memang segan kepadamu, tapi siapa aku ini ?!” kata
Marjan sambil menepuk dadanya sendiri.
“Tuan
Marjan memang seorang pembesar, tetapi bukan berarti harus bertindak
sewenang-wenang pada masyarakat kecil” kata Raden Sabu dengan tenangnya.
“Kamu
jangan banyak lagak didepanku, minggir!” bentak Marjan
“Maaf
tuan, terpaksa saya tidak dapat menuruti kemauan tuan!” balas Raden Sabu.
“Bangsat,
jangan dikira aku takut padamu, hajar dia!” perintah Marjan pada dua algojonya
yang masih tampak segan dan ragu untuk berhadapan dengan Raden Sabu, tetapi
mereka bimbang karena tuannya telah memerintahkan untuk menyerang, mau tidak
mau merekapun berlompatan menyerang Raden Sabu.
“Hiyaaa…” dua orang algojo itu menebaskan goloknya ke arah Raden Sabu
yang masih tampak tenang menanti serangan. “wuuut..wuut..sriing..” golok-golok
itu menyerang kearah kaki Raden Sabu tetapi
rupanya Raden Sabu lebih cepat untuk menarik kakinya ke atas sehingga
golok lawan mengenai tempat kosong.
Mendapat kenyataan itu dengan cepat pula dan dengan waktu yang hampir bersamaan
dua algojo itu segera memutar tubuhnya ke atas dengan melakukan tusukan golok
kearah lawan, hampir saja Raden Sabu kehilangan keseimbangan saat menerima
serangan tidak terduga seperti itu, untung saja dia sudah banyak makan garam dalam pertarungan sehingga dengan gerakan halus dan dengan bertumpu pada salah
satu kakinya Raden Sabu melompat ke atas dan dengan gerakan yang indah kedua
kaki Raden Sabu dapat mendarat kembali ke atas tanah, sementara dua algojo yang
merasa kehilangan buruannya segera berlompatan kembali mengejar ke arah Raden
Sabu. Sementara si Kakek melihat
pertarungan itu tanpa mengedipkan mata, hatinya kagum melihat gerakan silat
Raden Sabu, bahkan si Kakek meraba-raba kalau kepandaian Raden Sabu cukup
tinggi dibandingkan dua algojo itu yang hanya mengandalkan otot saja tanpa
strategi pertarungan. Beberapa jurus
sudah lewat, “dukk..dees..” serangan berantai Raden Sabu mengenai dua lawannya, keduanya terhuyung-huyung kebelakang beberapa
tombak, belum sempat kedua algojo itu
memperbaiki posisinya Raden Sabu melayang mengirim tendangan kembali. “dess..
dess..bruuk…” kembali tendangan itu tepat pada sasaran membuat dua orang algojo
itu terjerembab dengan mulut mengeluarkan darah, mereka merintih kesakitan.
“Hee..he..he..Tuan
Marjan, mengapa kau memelihara tikus-tikus busuk yang tak berguna untuk menjadi
pengawalmu? Lihatlah mereka tak berguna!”
terdengar suara ejekan dengan suara lembut namun terdengar sangat keras, semua mata menoleh ke arah sumber suara itu
yang ternyata dari seorang tua berusia empat puluh tahunan dengan badannya yang
kekar, pakaiannya bersih rapi dengan ikat kepala menghiasi kepalanya yang sudah
mulai banyak rambut putihnya. Semua dian
tak ada reaksi walaupun ada tanda tanya dalam hatinya pada orang yang baru saja
datang, tetapi lain dengan si kakek tadi.
“celaka..”
pekiknya tertahan si kakek dalam hati, dia sangat terkejut sekali melihat kedatangan laki-laki separo baya itu.
“Haa..haa..haa..
kiranya kau sobat!” teriak Marjan girang
“Ada
urusan apakah sehingga tuan memerintahkan dua algojo hebat tapi tak berarti
itu?” tanya lelaki itu sekaligus juga mengejek.
“Haa..haa..haa..kalau
saja aku tahu kalau Iblis Muka Seribu akan datang tentu aku tak akan membawa
dua algojo itu” disebut Iblis Muka Seribu, Raden Sabu tak dapat menyembunyikan
rasa terkejutnya, walaupun dia tak
pernah bertemu tetapi dia pernah mendengar sebutan Iblis Muka Seribu sebagai
datuk sesat yang licik dan mempunyai kepandaian yang sangat tinggi, namanya sedang melambung karena kekejamannya,
bahkan belum ada lawan yang mampu mengalahkannya.
“haa..haa..haa..
siapakah dia yang merepotkan Tuan?” tanya Iblis Muka Seribu pada Marjan sambil
tertawa-tawa.
“Dia
Raden Sabu yang sombong dan selalu mengganggu ketenanganku!”” jawab Marjan dengan mata melotot dengan
menunjukkan jarinya ke arah Raden Sabu.
“Hah, Raden Sabu yang terkenal itu?” Iblis Muka
Seribu seolah tak percaya, matanya melotot seakan penuh selidik ke arah Raden
Sabu, sementara Raden Sabu masih begitu
tenang berdiri di tempatnya semula.
“Kebetulan sekali, aku ingin memotong kepalanya” kata Iblis Muka Seribu.
“Maaf,
ada urusan apakah tuan dengan saya?” tanya Raden Sabu setelah mendengar ucapan
Iblis Muka Seribu.
“Aku
tak punya urusan, hanya saja kepalamu sangat berarti bagi namaku” jawab Iblis Muka
Seribu dengan ketusnya, “Hayooo serahkan kepalamu!”. Mendengar ancaman itu, semua orang yang ada
disitu menjadi tegang, terlebih
anak-anak yang dari tadi hanya sebagai penonton saja, dengan hati
berdebar-debar mereka ingin tahu apa yang akan terjadi, sementara kakek tua
yang selalu mempunyai nasib baik nampak begitu cemas, sesekali ia mengambil
nafas panjang untuk mengurangi kecemasannya.
“Kalau
Tuan mampu, silahkan!” tantang Raden Sabu yang merasa tak senang dengan sikap
congkak Iblis Muka Seribu yang jumawa, kata-katanya pelan tetapi bagi Iblis Muka
Seribu sangatlah memanaskan. Tanpa
menunggu waktu lagi Iblis Muka Seribu menyerang Raden Sabu dengan pukulan yang
mematikan, Raden Sabu bukanlah orang
bodoh, dia mengelak menghindari serangan itu, sekali Raden Sabu menghindar sang
lawan tidak memberi kesempatan untuk terus bertahan, pukulan-pukulan beruntun
semakin gencar ke arah Raden Sabu,
sangat jelas sekali kalau akhirnya Raden Sabu merasa kuwalahan. Bagaimanapun juga lihainya seseorang, dan
bagaimanapun juga seseorang itu mempunyai pengalaman bertarung tentu akan tetap
merasa sulit menerka arah serangan sang lawan yang baru pertama kali
bertemu. Rupanya inilah yang dialami
oleh Raden Sabu, ia sangat kesulitan untuk membaca setiap gerak langkah sang
lawan, tak aneh dalam dua puluh jurus
saja Raden Sabu mulai terdesak hebat tanpa mampu membalas serangan. Plaaak, sebuah pukulan mengenai bahu Raden
Sabu, dia tak sempat untuk mengelak sehingga pukulan tangan Iblis Muka Seribu
mengenai sasaran, tampak jelas sekali warna merah kehitam-hitaman membekas
dibahu Raden Sabu, ia terhuyung beberapa langkah ke belakang, keseimbangannya
goyah. Melihat lawannya lengah Iblis
Muka Seribu kembali melancarkan serangannya dengan ganas, seakan penuh nafsu
untuk segera mengakhiri riwayat sang lawan.
“Hiyaaaa….” Dengan kekuatan penuh Iblis Muka Seribu meluncur berputar ke
arah Raden Sabu, serangan kali ini
bukanlah serangan main-main karena memang yang ada di pikiran Iblis Muka Seribu
adalah untuk menghancurkan tubuh Raden Sabu.
Melihat ayahnya dalam bahaya, Pradipa berlari untuk menghalau serangan
yang berbahaya dan mematikan. Wusss…
seperti terpaan angin yang menyambar tubuh Pradipa, “duuk..duukk..desss”. tepat
saat serangan Iblis Muka Seribu akan mengenai sasaran, sebuah tangkisan telah
menghalau serangan itu. Iblis Muka
Seribu tak pernah memperkirakan hal ini,
wajahnya sangat pucat pasi karena terkejut, bukan itu saja akibat tangkisan tadi Iblis
Muka Seribu sempat terdorong kebelakang beberapa langkah. Lebih terbelalak lagi saat melihat Kakek tua
yang tinggal tulang berdiri didepannya dengan membopong Pradipa. Memang saat Pradipa berlari ke arah ayahnya
untuk menghalau serangan, kakek itu segera tanggap dengan apa yang akan
dilakukan oleh Pradipa, kalau saja terlambat satu detik saja tubuh Pradipa akan
hancur terkena pukulan Iblis Muka Seribu, dengan gerakan secepat kilat kakek
tua itu bergerak menyambar tubuh Pradipa, dan dengan mengerahkan tenaga inti
lewat tangan-tangannya yang tinggal tulang kakek itu menangkis serangan Iblis
Muka Seribu, walaupun begitu sebagai
akibatnya Iblis Muka Seribu sempat terdorong beberapa langkah ke belakang
akibat benturan tangannya dengan tangan si kakek tua itu.
“Anak
baik, kau sungguh berani” kata Kakek tua itu pada Pradipa sambil menurunkan
dari bopongannya. Pradipa memandang
seolah tak percaya dengan apa yang ia lihat dan ia alami, demikian pula Raden
Sabu. Tak kalah kagetnya adalah Marjan
dan algojonya yang dari tadi menyaksikan pertarungan itu.
“Terima
kasih kek” kata Raden Sabu sambil menjura, kakek tua itu hanya tersenyum “Tadi
anakmu telah menolongku, juga Raden, sekarang giliranku untuk membalasnya”
“Biarlah
saya yang menghadapinya, dia sangat kuat kek!” Raden Sabu masih sangat
meragukan Kakek tua itu.
“Dia
bukanlah lawan Raden, biarlah saya yang tua yang menghadapi” kata si Kekek
“Gembel
tua, sungguh lancang kau!” bentak Iblis
Muka Seribu untuk menyembunyikan rasa kagetnya itu.
“Iblis
busuk bau pete, kenapa teriak-teriak?!!” kata Kakek tua itu sambil menggaruk
kepalanya yang tak gatal.
“Bangsaat,
siapa dirimu gembel tua..!? tanya Iblis Muka Seribu dengan nada tinggi.
“Heh,
masih muda sudah pikun, baru saja disebut sudah lupa, payaah..” kata kakek itu
seenaknya.
“Babi
busuk, berani lancang..!” Iblis Muka Seribu semakin gusar, “niiih terimalah…!”
dengan loncatan yang indah Iblis Muka Seribu menerjang menyerang ke arah Kakek
tua, mendapat serangan yang sangat hebat dan cepat, kakek tua itu hanya tetap
berdiri ditempat semula hanya tubuhnya yang meliuk-liuk menghindari serangan-serangan
itu. Melihat kenyataan bahwa serangan
yang ia lancarkan tak pernah mengenai sasaran,
Iblis Muka Seribu semakin geram,
terlebih saat melihat gaya Kakek Tua dalam menghindari serangannya
seakan-akan seperti meremehkan kepandaiannya.
“Sial..” batinya dalam hati.
“Hiyaa…” Iblis Muka Seribu melakukan gerakan memutar, dengan bertumpu pada
kakinya ia bergerak ke atas seperti meloncat,
begitu kakinya ke udara langsung melakukan gerakan menyerang disusul
dengan liukkan tubuh dengan tangannya menyambar, wuuut…wuuut…wuuuss… suara angin mendesir
mengenai tempat kosong, “Hoo..hoo..hoo pukulan tanpa ujud cukup hebat untuk
mengusir nyamuk” ejek kakek tua.
“Kakek
tua, kau kenal juga dengan jurusku ini!” Iblis Muka Seribu semakin jengkel, ia kaget rupanya sang lawan juga mengenal
jurus-jurus yang ia gunakan, padahal dia baru pertama kali berhadapan dengan
sang lawan. Tiga puluh jurus telah
berlalu, tetapi Iblis Muka Seribu belum
berhasil merobohnya si Kakek, jangankan
merobohkan, mengenai saja tak pernah, ia
baru sadar kalau Kakek Tua yang ia hadapi dan dianggap remeh bukanlah seorang
tua renta yang lemah tetapi sebaliknya kakek tua itu adalah lawan yang kuat dan
tangguh, bahkan Iblis Muka Seribu baru menyadari bahwa dalam setiap jurus Kakek
Tua itu hanya mempermainkan dirinya.
Tiba-tiba Iblis Muka Seribu menghentikan serangan, ia berdiri tegak dengan mata tajam menatap si
Kakek, pikirannya dia pusatkan karena
dia merasa tak akan mungkin memenangkan pertarungan itu, Iblis Muka Seribu mencoba untuk melawannya
dengan ilmu sihir.
“Gembel
tua, jongkoklah!” bentak Iblis Muka Seribu dengan kekuatan sihir, sungguh suatu ilmu sihir yang sempurna, tapak
kakek tua itu berjongkok menuruti perintah Iblis Muka Seribu, semua orang yang
menyaksikan disitu sangat terkejut, terlebih Raden Sabu yang semula mengira
kalau kakek tua itu tak akan terpengaruh dengan ilmu sihir, apalagi setelah
Raden Sabu melihat betapa hebatnya Kakek tua itu saat menghadapi Iblis Muka
Seribu. Dengan menggunakan kekuatan
batinya Raden Sabu berusaha untuk membuyarkan pengaruh sihir. “Kakek..berdirilah”, tetapi susra batin Raden
Sabu tak berpengaruh sama sekali pada kakek tua yang terus berjongkok.
“Gembel
tua, menyalaklah seperti anjing!” perintah Iblis Muka Seribu, kembali Raden Sabu terkejut karena si Kakek
tua benar-benar menyalak seperti anjing, “guuk..guuk..guuk”. tak pernah dibayangkan kalau orang tua yang
mempunyai ilmu silat setinggi itu tidak mampu menghadapi ilmu sihir. Kembali Raden Sabu mengerahkan tenaga
batinnya untuk membuyarkan pengaruh sihir pada akek itu, tetapi lagi-lagi usaha itu gagal. Iblis Muka Seribu tertawa-tawa penuh
kemenangan, ia merasa kalau bakal
berhasil untuk merobohkan sang lawan.
“Ayo
gembel tua, kemarilah sambil
menari!” Kakek tua itu menggerakkan
badannya seperti menari-nari sambil berjalan mendekati Iblis Muka Seribu, tangganya digerakkan melakukan tarian yang
tampak lucu, kadang bokongnya
menungging. Dua algojo dan anak-anak
tadi tertawa terbahak-bahak. Kakek tua
itu semakin dekat dengan Iblis Muka Seribu,
saat tinggal sejengkal lagi secepat kilat Iblis Muka Seribu mencabut
pedangnya dan diayunkan ke arah si kakek tua.
Creess…creees.. pedang itu membabat kedua tangan si kakek tua hingga
putus sampai siku, semua mata terbelalal
ngeri melihat kejadian itu. Raden Sabu
hanya berteriak tertahan tak mampu mencegah.
Karena pengaruh ilmu sihir tak sedikitpun rintihan dari si kakek
tua, bahkan dia masih terus menggerakkan
tubuhnya, kembali Iblis Muka Seribu
mengayunkan pedangnya kearah paha, cress…crees… tetap pada sasaran pedang itu telah membabat
kedua paha si kakek hingga putus dengan sekali tebas. “Uuugh…”
rintihan kecil keluar dari mulut si kakek, kedua kaki dan dan tangganya tergeletak
ditanah dengan darah segar yang tercecer di tanah, tubuhnya jatuh tetapi masih tetap berdiri
dengan ditopang sebagian paha yang tak terpotong.
“Haa..ha..haa..
Gembel Tua busuk, ternyata hanya segini kesaktianmu..! Iblis Muka Seribu
tertawa-tawa girang merasa menang.
“Iblis
keji…!” bentak Raden Sabu
“Hee..hee..Sabu,
kini giliran kematianmu!” Kata Iblis Muka Seribu dengan congkaknya.
“Hayo..akupun
ingin mengadu nyawa denganmu!” tantang
Raden Sabu dengan menahan kemarahannya.
Iblis Muka Seribu terus tertawa-tawa.
“Hai..Iblis
Jelek, jangan tertawa keras-keras
mengganggu orang makan!” tiba-tiba
terdengar suara bentakan halus, semua
mata bergerak mencari sumber suara,
alangkah terkejutnya mereka karena melihat Kakek Tua duduk bersebelahan
dengan Pradipa di atas dahan pohon
mangga sambil mengunyah mangga yang masih mentah, semua mata tak berkedip dan tak percaya
betapa kedua tangan dan kakinya yang tadi telah terpotong masih tetap
utuh. Kembali semua mata bergerak ke
arah tubuh yang tergeletak pucat karena kehabisan darah. “Haaah…!”
betapa kagetnya mereka karena wajah yang semula Kakek Tua itu berubah menjadi wajah Pembesar Marjan yang
pucat tak punya darah lagi. Raden Sabu
kini dapat mengerti, kalau saat Iblis
Muka Seribu menggunakan ilmu sihir, dengan kecepatan yang luar biasa si Kakek
Tua menyambar tubuh Marjan dan dengan
menggunakan sihir pula si Kakek Tua mempengaruhi semua mata sehingga mereka
melihat Marjan sebagai Kakek Tua, dan
dengan kecepatan pula Kakek itu membopong Pradipa dan duduk di atas pohon
mangga sambil menikmati buahnya, bagi Paradipa
yang tahu dengan nyata merupakan suatu kejadian yang menggelitik hati. Dan pada saat Raden Sabu mengerahkan tenaga
batinya untuk membuyarkan pengaruh sihir, Kakek Tua itu juga menggagalkan sehingga suara Raden Sabu
tidak sampai terdengar oleh Marjan.
“Pantas..” batin Raden Sabu yang
merasa bodoh dan mentertawakan
kebodohannya sendiri.
Sementara
Iblis Muka Seribu masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Rasa marah, jengkel juga malu perang dalam
batinnya. Iblis Muka Seribu diam dengan
muka pucat, ia baru menyadari kalau
kepandaiannya ternyata masih kalah jauh dibawah Kakek Tua yang tadi
diremehkannya.
“Hai
Iblis jelek, kenapa bingung?!!” ejek si
Kakek Tua dengan terkekeh-kekeh,
“pengkhianat busuk kau, teman sendiri tega kau bantak!”
Paijo
begitu tahu kalau yang tergeletak adalah ayahnya sendiri berlari, mendekap dan
menangisi tubuh ayahnya yang sudah tak bernyawa lagi, dengan mata merah penuh kemarahan yang telah
memuncak Paijo berdiri, “Iblis, kau
bunuh ayahku!” teriak Paijo histeris sambil menerjang ke arah Iblis Muka
Seribu, melihat hal itu Iblis Muka
Seribu menggerakkan tangannya menampar Paijo untuk melampiaskan kemarahannya.
“Plaak…” tamparan itu tepat mengenai muka Paijo, bocah kecil itu terpelanting jatuh, tetapi
untunglah tamparan itu tidak terlalu keras, sehingga dengan sisa-sisa tenaganya
Paijo berusaha untuk berdiri kembali.
“Gembel
tua, hari ini aku mengaku kalah, kelak akan kucari kau kembali!” Teriak Iblis Muka Seribu sambil membalikkan
tubuhnya dan berlari, kakinya terus
melangkah dengan cepat menggunakan tenaga dalam dan ilmu meringankan
tubuh, yang ada dalam pikirannya hanya
satu yaitu meninggalkan tempat yang sangat memalukan atas kekalahannya itu, tetapi lagi-lagi suatu pemandangan yang
lucu, saat Iblis Muka Seribu
melangkahkan kakinya, si Kakek Tua mengerahkan ilmu sihirnya sehingga walaupun
Iblis Muka Seribu melangkahkan kakinya dengan ilmu meringankan tubuh ia tetap
saja berada di tempat semula. Ia tak
menyadari kalau gerakan-gerakan lari dan loncatan-loncatannya hanyalah
gerakan-gerakan ditempat, yang ia rasakan adalah benar-benar lari dengan
kecepatan tinggi. Sungguh sangatlah
hebat ilmu yang dimiliki si Kakek Tua itu, apalagi lawannya adalah datuk sesat
yang selama ini belum ada lawan tanding yang seimbang.
Paijo
dengan terhuyung-huyung mendekati mayat ayahnya kembali yang tergeletak
kaku, ia pungut pedang yang telah
merengut nyawa ayahnya, dengan kekuatan
yang ada Paijo menerjang Iblis Muka Seribu yang masih melakukan gerakan-gerakan
lari ditempat. “breet,,,” tebasan pedang itu mengenai kaki Iblis Muka
Seribu disusul serangan yang kedua tepat mengenai kaki yang satu sebatas
paha. “Bruuuk…!” Iblis Muka Seribu terjatuh karena kakinya
terpotong. Bukan karena pedang itu yang
tajam sehingga mampu membabat kaki orang dewasa apalagi yang melakukan adalah
anak kecil kemarin sore, melainkan
karena kekuatan hati yang telah dipenuhi rasa marah dan dendam yang dapat
membangkitkan tenaga sangat luar biasa pada diri Paijo. Iblis Muka Seribu meringis kesakitan, ia seperti orang tolol yang baru saja sadar
dari mimpi buruk. Belum lagi ia dapat
menyadari dengan apa yang terjadi,
“creeesss…” Paijo telah
menangcapkan pedangnya kembali tepat di ulu hati, tak ada rintihan yang keluar sedikitpun dari
Iblis Muka Seribu, badanya mengejang
sebentar lalu diam tak bergerak lagi.
Semua yang menyaksikan merasa ngeri dan penuh keheranan, bagaimana bocah yang belum genap puluhan
tahun telah mampu merobohkan seorang
tokoh persilatan.
Memang
kadang nafsu amarah, dendam ataupun
emosi mampu membangkitkan semangat bagi kita,
yang semula takut bisa saja menjadi berani dan bahkan menjadi
kejam. Kalau dilihat, tenaga Paijo
adalah tenaga anak kecil, tetapi karena
rasa emosi, marah dan dendam yang muncul
dalam hatinya dapat memunculkan tenaga yang begitu kuat.
Dengan dibantu beberapa orang, Paijo mengangkat mayat ayahnya dan dibawa
pulang, sementara mayat Iblis Muka
Seribu dirawat layaknya manusia yang lain oleh orang-orang kampung. Disisi lain terlihat Raden Sabu, Pradipa dan si Kakek Tua terlibat dalam
pembicaraan yang cukup serius.
“Kek, siapakah sebenarnya anda?” tanya Raden Sabu
“Haa..haa..haa..
tadi sudah disebut-sebut kalau aku hanyalah Gembel Tua yang tak pernah punya
tempat tinggal” jawab Kakek Tua itu
dengan tertawa-tawa.
“Tadi
saya dengar sajak-sajak yang kakek ucapkan sangatlah indah, kalau tidak salah kakek dalam kebingungan
tetapi yang terakhir tampaknya kakek begitu girang, benarkah?”
“Hee..hee..kau
memang cukup jeli Raden, memang aku cukup bahagia karena aku telah menemukan
bocah yang mempunyai bakat untuk mewarisi ilmuku” kata si Kakek dengan memancarkan
kegembiraannya, “Sudah lama memang aku
malang melintang mencari penerus ilmuku, tapi selama itu pula aku tak pernah
menjumpai yang cocok” si Kakek berhenti
sejenak mengambil nafas, “tapi sekarang
aku sudah menemukan jodoh”
“Siapa
yang Kakek maksud?” tanya Raden Sabu.
“Anakmu…Pradipa” jawab si Kakek singkat.
Mendengar
itu Raden Sabu sedikit terkejut, tetapi
dibalik itu ada rasa kegembiraan,
apalagi ia sendiri telah melihat kehebatan Kakek itu, namun dalam hati kecilnya Raden Sabu juga mempunyai rasa ragu sebab dia belum mengenal siapa sebenarnya
kakek sakti itu.
“Kau
ragu Raden?” pertanyaan si Kakek mengejutkan lamunan Raden Sabu, ia tersipu karena apa yang ada dalam batinya
bisa ditebak si Kakek.
“Maaf
Kek, semua itu terserah pada yang
menjalani” kata Raden Sabu memberi
jawaban, matanya melirik pada Pradipa
yang matanya memancarkan harapan untuk dapat diijinkan sang ayah.
“Ayah, saya bersedia” kata Pradipa yang dari tadi hanya mendengarkan
pembicaraan, kemudian ia berlutut,
“Guru terimalah hormat muridmu”
“Haa..haa..haa..anak
baik” tawa kakek itu penuh kegirangan.
Betapa
senangnya hati Pradipa karena tanpa dia sengaja dan melalui kejadian tak
disengaja pula, dia menemukan seorang guru yang sangat sakti. Memang itulah jodoh yang telah ditetapkan
oleh Yang Maha Kuasa. Salah satu rahasia
Tuhan yang tak dapat diketahui oleh manusia adalah perjodohan. Bukan saja jodoh tentang teman hidup, tetapi juga pertemuan dengan sesuatu yang
cocok dihati.
Sejak
saat itulah, setelah pamit pada kedua
orang tuanya, Pradipa pergi bersama si
Kakek Tua untuk mempelajari ilmu-ilmu yang dimiliki si Kakek tua itu.
ππππππππππ