Tuesday, November 13, 2018

Kitab Naga Bagian 2 Episode 8

KITAB NAGA
(Karya: Mas Wient)
Bagian 2 Episode 8


Di kegelapan malam, tampak bayangan hitam berlompatan dari atap rumah ke rumah yang lain, gerakannya sangat ringan dan lincah menunjukkan bahwa bayangan itu mempunyai ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi.  Bayangan itu terus melompat-lompat menuju rumah Juragan Karta. Dengan hati-hati bayangan itu menyelinap dari atap rumah, kelihatanya bayangan itu sudah menguasai dan faham betul dengan ruangan-ruangan dalam rumah itu, sehingga dengan mudah bayangan it uterus menyelinap tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.  Dari dalam rumah terdengar suara tawa yang sangat keras.

“Celaka!”  guman bayangan hitam itu yang dapat melihat dengan jelas asal suara tawa tadi.  Memang di dalam ruangan itu ada beberapa orang antara lain Iblis dari Utara, Iblis Penyebar Maut, Sepasang Iblis dan seorang perempuan yang tak lain adalah Dewi Kematian yang tadi mengaku sebagai istri dari Juragan Karta pada Caraka. Rupanya setelah pertarungannya dengan Ki Suryo dengan mengalami luka dalam yang cukup hebat Dewi Kematian berlari meninggalkan arena pertempuran dan bersembunyi di kediaman Juragan Karta, di sinlah Dewi Kematian mendapat pengobatan dari golongannya datuk-datuk dunia sesat.   Mereka semua adalah tokoh-tokoh golongan hitam.  Seperti telah diceritakan di depan bahwa datuk-datuk sesat itu akan mencoba menguasai Kota Kanoman dan sekaligus untuk mencari sebuah Kitab yang berisi ilmu langka  di mana kitab itu telah hilang ratusan tahun silam dan kini mulai ramai dibicarakan oleh tokoh-tokoh persilatan.

“Mari kawan kita bersulang untuk kemenangan pertama ini” kata Iblis dari Utara diikuti gelak tawa teman-temannya.

“Kita tinggal menunggu waktu untuk menghancurkan Sabu yang sok suci itu” sahut Iblis Penyebar Maut, “Dia sebagai penghalang kita” lanjutnya.

“Kita harus menghancurkan keluarga Sabu satu demi satu” Kata Iblis dari Utara

“Hee..hee..hee.. rupanya kau tidak bernyali menghadapi keluarga Sabu” ejek Sepasang Iblis pada Iblis dari Utara, tawanya terkekeh-kekeh.
“Badebah, kau meremehkan aku si kembar jelek!”  balas Iblis dari Utara, hanya panas mendengar ejekan temannya, “Seluruh keluarga Sabu maju serentakpun aku tak akan mundur”
“Aiiih, sesama temanpun kalian membuat panas.. “cegah Dewi Kematian dengan suara manja, “Kita harus mencari jalan kemenangan”
“Besok pagi adalah kematian Sabu, kalian tahu rencanaku….?” Kata Iblis Penyebar Maut
“Apaaa?!”  Tanya kawan-kawanya serentak.
“Besok pagi Caraka akan menghantar barang ke Kota Raja, barang itu adalah peti-peti yang berisi mayat para pembesar yang telah kita binasakan” jelas Iblis Penyebar Maut.
“Bagaimana Sabu bisa mampus kalau hanya Caraka menghantarkan mayat itu?” Tanya Sepasang Iblis.
“Kau dungu, di dalam peti-peti yang berisi mayat itu kita letakkan peledak, sehingga kita tinggal menunggu waktu, karena saat dibuka, peti itu akan meledak dan Sabu akan ikut hancur” jelas Iblis Penyebar Maut dengan yakin.
“Kau meremehkan Sabu sobat…” kata Dewi Kematian
“Kalian ragu, bagaimana kalau Sabu bisa lolos?” Tanya Iblis Penyebar Maut, semuanya mengangguk.
“Kalau Sabu bisa lolos, tentu semua orang kan mengira bahwa Sabulah yang bertanggungjawab atas kematian para pembesar itu” jelas Iblis Penyebar Maut dengan penuh keyakinan.
“Heee..hee.. pantas dengan julukanmu Iblis Penyebar Maut yang hanya menyebarkan fitnah” Iblis dari Utara menganguk-angguk. 
“Hiii…hiii…hiii…. dasar  otak Iblis”  maki Dewi Kematian dengan suara yang menggemaskan.
“Hahaha…Sang Dewi yang sedang galau, harusnya malam ini kamu bisa bersenang-senang dengan Caraka”  sindir Iblis Penyebar Maut.  Mendapat sindiran seperti itu Dewi Kematian menjadi gusar, “Dasar si tua Bangka Karta, coba kalau tadi Caraka minum ramuanku akan bertekuk lutut” ujar Dewi Kematian gusar, “Aku sudah terlanjur  membayangkan bagaimana bercinta dengan pemuda gagah itu” ungkapnya tanpa rasa risih sedikitpun.  Ternyata apa yang dialami Caraka siang tadi adalah akal-akalan dari Dewi Kematian dengan menyuguhkan minuman yang telah dicampuri Racun Penarik Sukma.  Racun ini sangatlah kuat untuk membangkitkan gairah dan nafsu serta membuat si peminum menjadi terpikat saat itu juga saat melihat Dewi Kematian.  Dan mungkin kalau saja Caraka sempat meneguk minuman itu maka yang akan terjadi adalah jiwa Caraka akan melayang dalam ikatan gairah dan nafsu,  tentunya Dewi Kematian akan dengan mudah mempermainkan Caraka sekehendak hatinya untuk memuaskan hasratnya.
Para datuk-datuk sesat melanjutkan pembicaraan dengan panjang lebar yang kadang diiringi dengan tawa tanpa menyadari kalau di balik itu sepasang mata dan telinga telah terpasang mendengarkan percakapan mereka.  Bayangan hitam yang dari tadi terus mendengarkan pembicaraan Nampak menarik nafas panjang, dia sangat terkejut terhadap rencana keji yang akan dijalankan oleh kelompok golongan sesat itu.  Dengan berhati-hati bayangan hitam itu melompat meninggalkan rumah Juragan Karta.  Langkahnya sangat ringan bagaikan seekor burung yang terbang dia mudah menghilang di kegelapan malam.  Kalau bukan orang berkepandaian tinggi tentu tidak dapat melakukan ini, apalagi yang diintai adalah para datuk yang mempunyai ilmu kepandaian cukup tinggi.  Para datuk itu saja tidak bisa menangkap suara gerak langkahnya.

            Saat ayam berkokok, Caraka telah melangkahkan kakinya menuju rumah Juragan Karta.  Itulah watak dan sifat dari seorang pendekar yang selalu menepati janjinya, karena itulah oleh para langgan yang menggunakan jasa Caraka merasa senang dan puas atas pelayanan yang diberikan Caraka sehingga usaha ekspedisi Caraka semakin lama semakin berkembang pesat.  Kali ini Caraka bersama empat orang anak buahnya dengan mengendarai kereta kuda.
“Hee..hee..hee..kau sangat tepat Caraka” kata Juragan Karta yang menyambut kedatangan Caraka dengan empat orang anak buahnya.
“Terima kasih Juragan, apakah Juragan Karta baik-baik saja?” balas Caraka sambil melontarkan pertanyaan.  Juragan Karta Nampak tersipu dan menyembunyikan perasaanya, ia hanya tersenyum kecut.
“Barangnya sudah siap, tinggal mengangkut saja” kata Juragan Karta sambil memperlihatkan lima buah peti yang telah dikemas dan siap untuk diangkut. “Silahkan..”  Caraka memberi komando pada anak buahnya untuk segera mengangkat dan memindahkan peti-peti itu ke atas kereta kudanya. Tak lama kemudian semuanya telah berada di atas kereta kuda dan siap untuk berangkat.
“Caraka, aku yakin kamu akan berhasil menjaga dirimu” kata Juragan Karta mengandung sebuah peringatan, “Berhati-hatilah dan jaga dirimu baik-baik”.
“Terimakasih Juragan, saya terus berangkat dan juga Juragan harus berhati-hati dalam menjaga diri” jawab Caraka membalas kecemasan Juragan Karta.  Kereta kuda yang mengangkut lima peti dengan lima orang penunggang mulai perlahan bergerak berjalan meninggalkan kediaman Juragan Karta.


πŸ‘ΊπŸ‘Ί Masih bersambung ke episode 9 πŸ‘ΊπŸ‘Ί

Kitab Naga Bagian 2 Episode 6


KITAB NAGA
(Karya: Mas Wient)
Bagian 2 Episode 6

“Trang…trang…trang…traang…”  terdengar begitu nyaring benturan pedang yang sedang beradu.  Suara itu begitu keras yang berasal dari sebuah pertarungan satu lawan satu.  “Hiyaaaat ….” Teriak salah seorang dari mereka dengan melancarkan serangan pada lawannya.  Seorang wanita dengan tubuh langsing, padat berisi sehingga lekuk tubuhnya sangatlah jelas, pada dadanya sedikit menonjol dengan kencang, kulitnya yang putih bersih dapat terlihat dari pantulan raut wajahnya yang bulat, matanya tidak terlalu lebar, hidungnya kecil mungil dengan bibir merekah.  Kalau melihat mungkin orang akan mengira kalau dia berusia di bawah tiga puluh tahunan, karena kepandaiannya dalam merawat tubuh dan sering minum ramuan jamu sehingga dia tampak muda padahal usianya sudah empat puluh lima tahun.  Dia adalah Dewi Kematian.    Sebuah julukan yang terkesan sangat mengerikan dan membuat bulu roma berdiri saat mendengarnya.  Memang sebutan itu sangatlah pantas, karena setiap kali dia muncul selalu saja ada korban-korban yang mati dengan tubuh telanjang, dada terbelah tanpa jantung.  Rata-rata yang menjadi korban adalah pemuda-pemuda tampan.  Itulah kepuasan Dewi Kematian, setiap kali mendapat mangsa atau menemukan pria-pria yang memenuhi seleranya, dia mengajak berkencan, bercumbu dan bercinta sepuas hatinya, tetapi setelah kepuasan itu dapat diperolehnya dengan kejamnya Dewi Kematian menikam pria itu dengan pedangnya kemudian membelah dadanya dan mengambil organ jantungnya.  Kanon jantung yang diambil itu untuk digunakan sebagai ramuan obat awet mudanya.  Sungguh sangat mengerikan dan menjijikkan.  Entah sudah berapa banyak pria yang menjadi korban kebiadaban dan keganasannya, kecantikannya itulah sebagai pemikat.

Sedangkan yang menjadi lawan bertarung Dewi Kematian saat ini adalah seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh lima tahun, tubuhnya sedang tidak terlalu gemuk, kepalanya tertutup sorban putih dengan baju yang serba putih, kumisnya juga putih demikian pula jenggotnya yang telah memutih tampak panjang sampai dada tetapi giginya masih kuat dan tersusun rapi.
“Iblis betina, hari ini adalah hari kematianmu…!” umpat laki-laki itu dengan nada marah, dialah Ki Suryo.
“Hee heee..heee..heee..” jangan takabur Ki” balas Dewi Kematian dengan berlompatan menghindari serangan Ki Suryo.  Sudah seratus jurus lebih telah berlalu tetapi belum terlihat mana yang lebih unggul, keduanya mempunyai kepandaian yang seimbang.
“Iblis babon, aku akan mencincang kau seperti apa yang kau lakukan pada anakku!” Ki Suryo terus mengeluarkan kata-kata makian dengan melancarkan serangan-serangan mematikan.  Memang kemarahannya sudah memuncak, api dendam yang ada dalam hati Ki Suryo terus berkobar terlebih saat Ki Suryo teringat akan nasib anaknya yang semata wayang telah menjadi korban kebiadaban Dewi Kematian.  Inilah saatnya untuk menuntut balas.
“Ternyata kaupun  kuat juga Ki”  kata Dewi Kematian, “Pantas anakmu pun sangat menggairahkan sekali”  kata-kata mesum keluar dari mulut mungil Dewi Kematian, Ki Suryo semakin marah,  tubuhnya melayang dengan melakukan tendangan ke arah Dewi Kematian.  “Praaak….” Saat melihat serangan datang, Dewi Kematian segera melompat dengan memutar tubuhnya sehingga serangan Ki Suryo hanya mampu menghantam pohon sampai roboh, dapat dibayangkan kalau saja serangan itu mengenai tubuh Dewi Kematian tentu sangatlah tragis nasibnya.
“Tendanganmu hebat Ki, sayang hanya mampu menghancurkan pohon kering!” ejek Dewi Kematian, “Sambutlah seranganku Ki…!” Dewi Kematian mencelat ke arah Ki Suryo, tendangan beruntun dengan kecepatan yang luar biasa di lancarkan ke arah Ki Suryo, nampaknya Ki Suryo sangatlah kerepotan mendapatkan serangan seperti itu.  Ki Suryo hanya berlompatan untuk menghindar, sesekali meliukkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Ki Suryo dapat menggagalkan serangan itu walaupun sangat repot sekali, tetapi alangkah terkejutnya Ki Suryo saat Dewi Kematian secara tiba-tiba melakukan pukulan dengan tendangan, Ki Suryo dapat menduga kalau serangan itu  bukanlah serangan sembarangan melainkan serangan yang sangat mematikan dengan menggunakan  kekuatan  tenaga dalam yang sangat ampuh.  Sebelum serangan itu mengenai sasaran, Ki Suryo telah mengalirkan hawa murni ke seluruh tubuhnya.  “Desss…” benturan itu tak dapat untuk dihindari lagi, dua tenaga dalam saling beradu, Ki Suryo terpental beberapa langkah ke belakang, sedangkan Dewi Kematian terpelanting dengan mengeluarkan darah segar dari bibirnya yang mungil.
“Uuugh…”  keluh Dewi Kematian tertahan, ia berusaha untuk berdiri, ia merasakan tubuhnya nyeri seakan tulangnya remuk.  Dewi Kematian mengalami luka dalam yang cukup berat.  Sementara Ki Suryo telah berdiri seakan tidak mengalami luka sedikitpun, bibirnya masih tersenyum mengejek.
“Ki, tenagamu hebat sekali” kata Dewi Kematian sambil meringis menahan rasa sakit yang amat sangat dan sesak pada dadanya.  “Kali ini aku mengaku kalah, tapi kelak aku akan mencarimu” selesai mengucapkan kata-kata itu Dewi Kematian membalikkan tubuhnya dan melesat pergi dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh yang sempurna.  Ki Suryo bermaksud untuk mengejarnya, tapi baru beberapa langkah, “Uugh..ugh..” darah hitam keluar dari mulut Ki Suryo.  Rupanya luka-luka yang dialami Ki Suryo lebih parah dibandingkan dengan luka yang dialami Dewi Kematian.  Kalau saja Dewi Kematian tidak lari dan melanjutkan pertarungan mungkin Dewi Kematianlah yang berada di atas angin untuk merobohkan Ki Suryo.    Memang saat Dewi Kematian mencoba untuk bangkit, Ki Suryo tidak melakukan serangan balik karena Ki Suryo tahu kalau luka yang dideritanya sangatlah hebat sehingga kalau dia nekad untuk melakukan serangan tentu sangat membahayakan jiwanya, walaupun Dewi Kematian juga telah terluka tapi dalam hati Ki Suryo juga mengakui kalau sebenarnya kepandaian yang ia miliki masih kalau jauh di bawah Dewi Kematian.  Untunglah dengan menahan rasa sakitnya Ki Suryo dapat berdiri tegak sehingga Dewi Kematian tidak menyangka kalau Ki Suryo juga mengalami luka dalam yang lebih parah.  Tak dapat dibayangkan kalau Dewi Kematian masih melakukan serangan pada Ki Suryo.
Ki Suryo duduk bersila di bawah pohon yang rindang untuk mengerahkan hawa murninya, matanya terus terpejam dengan memusatkan konsentrasinya, secara perlahan hawa murni yang telah terkumpul dia salurkan ke seluruh tubuhnya.  Badanya mulai basah oleh keringat.

πŸ‘€πŸ‘€πŸ‘€ Ikuti terus Klik Bagian 2 Episode 7 πŸ‘€πŸ‘€πŸ‘€

Kitab Naga Bagian 2 Episode 7

KITAB NAGA
(Karya: Mas Wient)
Bagian 2 Episode 7


Kita tinggalkan sejenak Ki Suryo yang mencoba mengobati dirinya sendiri akibat luka dalam setelah bertempur dengan Dewi Kematian.  Kita melihat di sebuah desa di lereng bukit yang tampak ramai oleh lalu lalang orang.  Seorang pemuda dengan menggunakan baju biru berjalan dengan santainya.  Di pinggangnya terselip tongkat kecil,  tentunya tongkat itu bukanlah tongkat sembarangan, tongkat itu terbuat dari batang kayu dewandaru.  Dewandaru adalah sebuah pohon yang terkenal di daratan Karimun Jawa dan tidak semua orang bisa untuk membawanya.  Kanon kabarnya Kayu Dewandaru mempunyai kekuatan yang ampuh bagaikan sebuah besi sehingga saat kayu itu di masukkan ke dalam air tidak seperti kayu-kayu yang lain yang terus mengapung akan tetapi kayu dewandaru akan tenggelam.  Karena itulah tidak semua orang mampu membawa kayu dewandaru apalagi sampai menyeberang dari Karimun Jawa.

Pemuda it uterus melangkah memasuki kedai kecil, dia mengambil tempat duduk di pojok sehingga pandangan matanya bisa leluasa melihat lalu lalang orang-orang yang lewat di depan kedai.  Siapakah pemuda itu?

Tentunya para pembaca masih ingat Caraka.  Anak dari Palguna yang dikenal dengan sebutan Pendekar Banaspati (Baca Bagian 1 Episode 2).  Sepeninggalan ayahnya, Caraka bersama ibunya terus mengembara.  Selama pengembaraannya itulah ibunya juga menggembleng Caraka dengan ilmu-ilmu yang hebat, dia wariskan seluruh kepandaiannya pada anaknya.  Kini Caraka berusia tujuh belas tahun, usia remaja yang sudah matang.  Bersama dengan ibunya, Caraka berhasil membuka usaha ekspedisi yang melayani pengiriman barang-barang baik dari rakyat jelata sampai pejabat tinggi.

“Pesan apa Tuan?”  Tanya seorang pelayan pada Caraka.

“Minuman dan makanan saja pak” jawab Caraka singkat, pelayan itu segera menyiapkan pesanan Caraka  dan tak lama kemudian pelayan itu kembali dengan membawa segelas minuman dan sepiring nasi lengkap dengan lauknya.  Caraka segera menyantap makanan itu dengan lahapnya.  Baru separo Caraka menikmati makanannya, tiba-tiba pemilik kedai itu datang dengan muka pucat dan ketakutan.

“Maaf tuan-tuan, bukan maksud saya mengusir tuan-tuan” katanya dengan sinar mata penuh ketakutan, “demi keselamatan tuan-tuan saya mohon tuan-tuan segera meninggalkan kedai saya”  mendengar omongan pemilik kedai, para tamu saling bertanya-tanya, tapi ada beberapa orang yang segera menyingkir, mungkin sudah tahu maksud omongan si pemilik kedai itu.  Caraka masih terus menikmati makanannya.

“Tuan, silahkan tuan..” tegur pemilik kedai pada Caraka
“Ada apa pak?” Tanya Caraka seakan tidak mendengar dengan apa yang telah diomongkan si pemilik kedai.
“Sudahlah, nanti tuan akan tahu sendiri” jawab pemilik kedai itu dengan perasaan cemas karena ia merasa bertanggungjawab atas keselamatan para pelanggannya.
“Baiklah ….” Baru satu kata yang keluar dari bibir Caraka, lima orang dengan wajah kasar dan tubuh kekar telah masuk ke dalam kedai itu.
“Cepat sediakan arak yang baik untukku!” teriak salah seorang dari mereka, sementara yang lain tertawa-tawa.  Para pelayan kedai segera memenuhi permintaan lima orang yang baru datang.  Pemilik kedai semakin tampak gugup dan pucat.  Caraka mengurungkan niatnya untuk berdiri dan pergi melainkan kembali duduk dan melanjutkan menyantap makanannya.  Caraka dapat menebak siapa lima orang itu.
“Bapak tidak perlu kuatir” katanya lirih berbisik untuk menenangkan hati pemilik kedai.  “Tapi tuan…?” pemilik kedai itu akan membantah karena merasa bertanggung jawab dan mengkwatirkan pelanggannya, tetapi Caraka segera memotongnya “Sudahlah pak, tidak akan terjadi apa-apa”
“Haii… pak tua, cepaat sediakan makannya!”  suara bentakan ditujukan pada si pemilik kedai,  suara itu datang dari salah seorang gerombolan lima orang yang baru datang tadi.
“Baa…baa…baaaik.. tuan” sambil mengangguk pemilik kedai itu menjawab dengan gemetar lalu menyelinap ke belakang untuk segera menyediakan makanan.
“Haaa…haa..haaa… rupanya ada monyet baru datang kemari” kata orang tadi sambil melirik Caraka, seolah-olah kata-kata itu ditujukan pada Caraka,  yang lainnya tertawa terbahak-baha.  Cara hanya diam dan dengan tenang ia melanjutkan makannya.  Saat pemilik kedai itu datang kembali untuk menyerahkan makanan pada lima orang tamunya, tiba-tiba Caraka berdiri dan berkata sedikit keras.
“Pak, kenapa di sini banyak lalat-lalat busuk, sangat memuakkan”  katanya, “Kalau memang tak mampu membersihkan dan mengusir lalat itu biarlah nanti saya yang bereskan”  kata-kata Caraka memang sengaja di tujukan pada lima orang itu.
“Bangsaat lancing betul mulutnya…!” rupanya kata-kata Caraka membuat mereka marah, dengan gerakan yang sangat cepat salah satu dari mereka melempar baki yang berisi makanan ke arah Caraka.  Mendapat serangan seperti itu dengan menggunakan tenaga dalamnya Caraka menahan serangan itu sehingga baki yang berisi makanan berhenti tepat di depan mata Caraka.
“Maaf tuan-tuan, saya tidak berselera makan seperti ini”  kata Caraka lembut, “Terimalah kembali …!”  baki itu segera melayang ke arah lima orang kembali, melihat baki itu kembali berbalik maka lima orang itu segera menghindar, tapi aneh baki itu tetap berputar-putar dan melakukan serangan pada lima orang kasar itu.
“Bangsaat…” umpat mereka sambil melakukan serangan kea rah baki yang masih melayang-layang.  “Duuuk…” pukulan dari salah satu dari mereka tepat mengenai baki, namun “Aduuh…” terdengar  jeritan tertahan dari orang tersebut dan tubuhnya terpental beberapa tombak sedangkan baki itu masih tetap melayang.  Melihat temannya terjerembab saat memukul baki itu, membuat keempat lainnya menjadi penasaran.
“Badebah…” makinya, seorang lagi melakukan tendangan saat baki itu menyerang kea rah kakinya, tapi seperti temannya yang pertama tadi iapun jatuh berguling-guling sambil memegangi kakinya, serentak tiga orang yang lain menyergap baki itu secara bersamaan.  Nasib sial  juga dialami mereka bertiga, kali ini ketiga orang itu terpental keluar dari kedai.  Kini mereka baru menyadari bahwa orang yang dihadapi kali ini bukanlah orang yang bisa dipandang sebelah mata.   Dengan tertatih-tatih mereka mencoba untuk berdiri,  dan baki itupun mulai berputar-putar kembali siap melakukan serangan pada mereka.  Tampaknya nyali lima orang itu sudah mengendor sehingga serentak mereka lebih memilih langkah seribu, mereka berlari dengan menyeret kakinya yang pincang.  Orang-orang yang melihat kejadian itu tertawa terpingkal-pingkal karena di belakang mereka baki itu  tetap mengikuti sampai beberapa langkah.
“Terima kasih tuan,  tapi tuan telah masuk dalam bahaya”  kata pemilik kedai dengan perasaan kagum bercampur takut dan kuatir, ia tahu kalau pemuda yang ada di hadapannya adalah seorang pendekar.
“Siapa mereka pak?” Tanya Caraka
“Mereka anak buah Juragan Karta”  jawab pemilik kedai
“Hah, bukankah Juragan Karta orangnya sangat baik?”  Caraka sedikit terkejut saat di sebut Juragan Karta.
“Memang juragan Karta itu baik, tetapi kami sendiri tidak tahu, akhir-akhir ini Juragan Karta selalu menggunakan tukang pukulnya” jelas pemilik kedai.
“Setahu saya, Juragan Karta tak pernah berbuat kejam atau arogan, malahan sebaliknya dia suka menolong pada rakyat kecil”   Caraka semakin tak mengerti.
“Itulah yang membuat kami bingung,  memang akhir-akhir ini banyak orang-orang aneh  yang bergantian datang ke tempat Juragan Karta, dan sejak saat itu pula Juragan Karta mempunyai tukang-tukang pukul yang sangat kuat dan kejam” cerita pemilik kedai.
“Apakah selama ini Juragan Karta selalu diganggu orang-orang aneh itu?” Caraka mencoba untuk menebak.
“Entahlah, kadang terdengar suara tawa dan pesta pora” jawab pemilik kedai.
“Baiklah pak,  terima kasih bapak sudah memperingatkan saya” kata Caraka menjura.
“Tuan mau kemana?” Tanya pemilik kedai kembali
“Saya mau ke rumah Juragan Karta” jawab Caraka, mendengar jawaban itu si pemilik kedai kembali dibuat terkejut dan semakin cemas.
“Bapak tidak perlu kuatir, saya memang ada urusan sedikit dengan Juragan Karta”  kata Caraka menjawab rasa terkejut dan cemas pemilik kedai yang tertahan.  Setelah meletakkan beberapa lempengan uang logam untuk membayar makanan, Caraka melangkahkan kakinya.  Semua mata tertuju pada Caraka, mereka merasa kagum akan kehebatan dan kegagahan Caraka.
            Sementara di rumah Juragan Karta, tampak seorang perempuan muda berwajah cantik duduk di teras rumah.  Wajahnya begitu gelisah, sesekali ia berdiri, berjalan dan duduk kembali.  Itu menandakan bahwa hatinya merasa tidak tenang.  Tib-tiba dari pintu gerbang lima orang berlari-lari ke arah teras rumah.
“Celaka Nyai…” kata salah satu dari mereka,  orang yang dipanggil Nyai itu mengerutkan alisnya.  “Hayo katakana ada apa..!? bentaknya tak sabar.
“Di desa sana ada pendekar muda, kami berlima tidak mampu menandingi…” jelas teman yang satunya.
“Bah!, lima singa ompong tak ada guna!” maki perempuan itu.
“Dia cukup lihai Nyai, semula kami bertarung tanpa senjata, tapi setelah dia mengeluarkan pedangnya kami menjadi kalang kabut” jelas seorang dari mereka,  cerita yang dibuat adalah cerita bohong karena mereka akan merasa malu kalau menceritakan yang sebenarnya bahwa mereka bertarung hanya melawan sebuah baki.
“Kami tidak tahu Nyai, kalau dia ….” Belum selesai mereka bicara, salah satu dari temannya menunjuk ke arah pintu gerbang sambil berteriak, “Itu dia orangnya…!”.  Memang Nampak terlihat Caraka berjalan memasuki halaman rumah itu dengan tenangnya.
“Kalian dungu! Dia Caraka yang aku tunggu-tunggu” bentak perempuan itu, “Ayo lekas kalian pergi dari sini!” serentak kelima orang itu menggeloyor pergi.  Perempuan itu menyambut kedatangan Caraka.
“Selamat datang Caraka”  sambutnya ramah,  Caraka hanya tersenyum kecil, ia merasa tidak mengenal wanita yang menyambut kedatangannya.
“Siapakah nona…?” Tanya Caraka dengan panggilan nona, karena memang perempuan itu masih Nampak kelihatan muda belia.
“Nyonya,  saya Nyonya Karta” jawab wanita itu dengan nada tegas.
“Bukankah …..”  Caraka tidak jadi melanjutkan kata-katanya, walaupun dalam hati masih mengganjal pertanyaan.  Selama ini Caraka mengenal baik siapa Juragan Karta yang menjadi langganannya dalam memberikan pelayanan ekspedisi.  Bahkan dengan keluarganyapun Caraka mengenal satu persatu, tapi dengan wanita yang satu ini Caraka merasa sangat asing malah mempunyai rasa curiga yang cukup kuat.  Melihat gelagat seperti itu perempuan itu segera masuk kedalam untuk memanggil Juragan Karta dengan terlebih dahulu mempersilahkan Caraka masuk dan duduk.
“Kau sudah datang Caraka”  seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih muncul dari balik pintu, tubuhnya kurus, matanya cekung dan di dahinya terdapat tahi lalat, dialah Juragan Karta.
“Maaf Juragan, saya agak terlambat datang” kata caraka sambil menghormat.
“Ah, tidak masalah, saya berterima kasih sekali kamu dapat datang” suara Juragan Karta lirih.
“Ada keperluan apakah sehingga Juragan mengundang saya? Apa yang dapat saya bantu untuk Juragan?”  Tanya Caraka.  Juragan Karta tampak ragu, sinar matanya kuyu, ada sesuatu yang tersembunyi dalam hatinya.  Caraka dapat merasakan kegelisahan Juragan Karta tetapi ia pura-pura tidak tahu dan tak mengungkapkan rasa ingin tahunya pada Juragan Karta.
“Ada pekerjaan untukmu” kata Juragan Karta datar, “Mengantarkan barang ke Ibu Kota”
“Itu memang sudah pekerjaan saya Juragan,  akan saya lakukan sebaik-baiknya” kata Caraka.
“Tapi kali ini barang yang akan kamu bawa sangatlah membahayakan jiwamu, bahkan sangat mengancam ji …” Juragan Karta menghentikan pembicaraannya begitu melihat perempuan yang menyambut Caraka tadi tiba-tiba keluar kembali sambil membawa minuman dan meletakkan di atas meja.
“Silahkan …”  katanya pempersilahkan, Caraka hanya mengangguk kecil.  Setelah perempuan itu masuk kembali, Caraka memberanikan diri bertanya pada Juragan Karta, “Rasanya saya belum pernah  bertemu, siapa dia Juragan?”.  Juragan Karta sudah menduga kalau akan terlontar pertanyaan seperti itu dari bibir Caraka, tetapi masih saja tetap terlihat kegugupannya bahkan wajahnya menjadi pucat setelah mendapat pertanyaan seperti itu dari Caraka.
“Di..dia.. istri kedua saya” jawab Juragan Karta terputus-putus.  Caraka merasakan ada kebohongan dengan apa yang dikatakan Juragan Karta, selama ini Caraka mengenal siapa Juragan Karta yang selalu berbuat jujur dan tidak pernah merugikan orang lain, tetapi nampaknya kali ini ada sesuatu yang tersembunyi di balik senyum Juragan Karta.  Caraka hanya membatin dalam hati dan tidak melanjutkan pertanyaan-pertanyaan lagi.
“Kapan barang-barang itu harus saya kirim Juragan?” Tanya Caraka mengalihkan pokok pembicaraan.
“Besok pagi saat ayam berkokok” jawab Juragan Karta sambil menarik nafas lega.
“Baiklah, besok pagi saya akan datang untuk membawa barang-barang itu” kata caraka sambil tangannya diulurkan untuk mengambil gelas yang berisi minuman yang disuguhkan di hadapannya, belum sampai tangan Caraka menyentuh gelas, “Sreet…praaaang…” meja itu terdorong sehingga gelas yang akan di ambil Caraka terjatuh dan pecah berantakan, Caraka sangat terkejut.
“Ma..ma..maaf..” dengan gugup Juragan Karta minta maaf pada Caraka.
“meoong….meooong….” seekor kucing melompat ke arah gelas yang pecah terjatuh, lidahnya menjulur-julur menjilati air minum yang  tercecer di lantai.  Caraka hanya menatap kucing itu, alangkah terkejutnya Caraka tatkala kucing itu berjalan sempoyongan seperti mabuk sambil mengeong, sebentar kucing itu mengejang lalu diam tak bergerak.  Kini Caraka sadar bahwa air yang ada di dalam gelas itu berisi racun yang telah dicampur.
“Keji!” guman Caraka dalam hati.  Caraka sadar bahwa Juragan Karta telah menyelamatkan jiwanya dari maut.
Memang saat Caraka akan mengambil gelas itu, secara sengaja Juragan Karta menggerakkan kakinya sehingga menyenggol kaki meja dengan keras yang mengakibatkan gelas itu terjatuh.  Juragan Karta telah menduga kalau minuman yang disuguhkan pada Caraka telah dicampur racun oleh yang membuatnya.  Kecurigaan Caraka semakin  kuat dengan kejadian itu, Caraka merasa iba saat menatap wajah Juragan Karta yang kembali memucat dengan perasaan takut yang sangat kuat.  Dalam hati penuh tanda Tanya, akhirnya Caraka mohon pamit pada Juragan Karta, Caraka diantar sampai depan pintu gerbang.   Dengan langkah kecil Caraka melangkah dengan hati dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan dan rasa kecurigaan yang begitu besar.

✋✋ Berlanjut ke Klik Bagian 2 Episode 8 ✋✋

Friday, November 9, 2018

Lasem Dalam Sejarah Perkembangan Kerajaan-kerajaan Jawa



Sejarah adalah manifestasi yang khas manusiawi,  pengenalan sejarah merupakan kenyataan manusia yang dapat kita telusur sejak perkembangan kemanusiaan yang paling dini, sejauh masa itu meninggalkan jejak-jejaknya melalui perwujudan tertentu baik yang berupa benda, tulisan, candi, monumen, dokumen maupun dalam bentuk  lain yang semua itu merupakan tanda atas kehadiran manusia dalam suatu masa dan dapat dijadikan petunjuk atas kehadirannya.  Berangkat dari beberapa cerita para orang tua terdahulu  yang didasari dari catatan-catatan sejarah maka banyak kekayaan dan nilai-nilai sejarah yang sebenarnya dapat kita gali dan kita kembangkan menjadi rekonstruksi perjalanan hidup suatu bangsa, negara atau daerah, baik nilai budaya, religi, maupun nilai perjuangan.
Pada umumnya sebuah kota berawal dari suatu desa kecil atau suatu tempat pemukiman, yang karena pengaruh dari luar kemudian mengalami perkembangan yang akhirnya menjadi ramai dan disebut sebagai kota.  Namun tidak semua desa dapat berubah menjadi sebuah kota, karena ada beberapa syarat yang harus dapat terpenuhi yang membuat desa atau sebuah pemukiman itu dapat berkembang menjadi kota.  Salah satu syarat itu diantaranya adalah sarana transportasi yang sangat berkaitan erat dengan pertumbuhan suatu kota.    
Lasem yang pada awalnya merupakan daerah pemukiman kecil, tumbuh dan berkembang menjadi sebuah kota pantai.  Pada umumnya kota-kota yang berada dipesisir pantai banyak mendapat pengaruh unsur-unsur kebudayaan dari luar.   Lasem adalah nama salah satu tanah mahkota kerajaan Majapahit pada abad ke-14.  Ada kemungkinan bahwa gunung Lasem yang sekarang terletak di garis pantai, berabad-abad yang lalu merupakan sebuah tanjung yang cukup luas dan besar.  Pada Abad ke-16 Lasem juga dikenal dengan Galangan Kapalnya sampai ke wilayah Asia Tenggara.
Keberadaan Kadipaten Lasem juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan Kerajaan-kerajaan besar seperti Kerajaan Keling (Kalingga), Majapahit, Demak, Pajang sampai Mataram Islam.   Lasem juga termasuk sebagai kota Cina tertua, juga sebagai salah satu pusat penyebaran Agama Islam.  Pada saat terjadi pemberontakan Cina melawan Kompeni Belanda yang akhirnya meluas kebeberapa daerah di pulau Jawa, Lasem termasuk daerah terakhir yang digunakan sebagai pos para pejuang-pejuang dalam melawan Kompeni Belanda. Masyarakat Lasem dan sekitarnya juga berjuang dalam mengusir Kompeni Belanda.

                                                               
Baca Selengkapnya: 
https://docs.google.com/document/d/1e2UWn4_zkYhfL4rphXbaWXZsSCD2Qcvu7K617fmPAs8/edit?usp=sharing

Wednesday, May 9, 2018

Kitab Naga Bagian 2 Episode 5


KITAB NAGA
(Karya Mas Wient)
Bagian 2 Episode 5

Sendang adalah sebuah desa kecil yang terletak di lereng perbukitan yang tidak begitu tinggi.  Hamparan gunung-gunung kecil mengelilingi desa Sendang dengan hiasan tanah yang berundak-undak untuk pertanian,  sebelah selatan desa Sendang tampak menjulang sebuah gunung yang cukup tinggi dibandingkan dengan gunung lain yang ada disekitarnya, itulah gunung Argopuro yang semakin menambah indahnya panorama desa.  Walaupun penduduk desa itu hanya mengandalkan “sawah tadah hujan” namun kelihatan makmur,  sementara sumber air yang didapat untuk keperluan sehari-hari hanyalah dari sebuah belik kecil yang ada di tengah-tengah hamparan sawah,  walaupun hanya sebuah belik kecil tapi mampu mencukupi kebutuhan penduduk desa, lagi pula belik itu tak pernah kering walaupun musim kemarau.
            Suasana pagi itu begitu cerah,matahari mulai menyinari bumi dengan ditemani kicau burung yang sangat merdu, sementara bunga-bunga mulai mekar menambah indahnya suasana.   Hamparan rumput membentang luas, nampak  lima bocah berlarian dengan riangnya.  Tiga anak perempuan dan dua anak laki-laki, mereka adalah satu keluarga kakak beradik, tak heran kalau wajah-wajah mereka begitu mirip.  Yang paling besar adalah Arum, gadis remaja berusia lima belas tahun, kulitnya putih bersih, matanya sayu, diusia yang masih remaja sudah tampak lekuk-lekuk tubuhnya yang sangat indah.  Adiknya laki-laki bernama Yoga, usianya tiga belas  tahun wajahnya tak jauh berbeda dengan kakaknya, disusul adik perempuannya Kinanti berusia sepuluh tahun, kemudian Kuncoro anak laki-laki berusia delapan tahun dan yang paling kecil adalah Anjani yang berusia empat tahun.
“Kak Arum, kita latihan di sini saja!?” rengek Kuncoro.
‘Iya kak, disini luas” kata Kinanti sependapat dengan adiknya.
“Baik kita berhenti disini untuk berlatih” Arum mengalah pada adiknya.
Seolah-olah diberi komando mereka berlima duduk bersila membentuk lingkaran, sambil memejamkan mata mereka mulai mengatur pernafasan, suasana menjadi hening, tak ada suara apapun yang terdengar, hanya tarikan-tarikan nafas dan hembusan angin saat nafas dilepaskan, setelah beberapa saat Arum berdiri.
“Coba perhatikan Jurus Bangau Mematok Mangsa” Arum mengambil posisi berdiri dengan kaki kiri diangkat,  tangannya terlentang dengan jari-jari merapat dan menekuk ke bawah seperti paruh burung.  “Jurus satu…” dengan gerakan cepat Arum meliukkan tubuhnya,  tangan dan kakinya melakukan gerakan bagaikan melakukan serangan-serangan yang cukup mematikan,  “Huup..huup..” Arum terus berlompatan kesana-kemari,  “Jurus dua…”.  Kalau dilihat sekilas, orang akan mengira kalau jurus yang dimainkan gadis remaja itu hanyalah jurus untuk melemahkan lawan saja,  “Jurus tiga…” kembali Arum memberikan hitungan pada tiap gerak jurusnya.  “Empaat…” dengan gerakan halus tangan Arum melakukan serangan pada sebuah batu besar, “Duuk…” terdengar benturan sangat keras sekali,  Arum masih berdiri tegak,  “Yoga, coba lihat batu itu!”  mendapat perintah dari kakaknya Yoga segera berlari untuk melihat batu yang menjadi sasaran serangan Arum.  “Hebaat…batunya berlubang…!”  teriak Yoga terheran-heran.  Memang saat melakukan jurus keempat, seluruh tubuh Arum telah dialiri tenaga dalam, sehingga begitu tangannya mengenai sasaran maka tak dapat dibayangkan dengan apa yang akan terjadi.  “Ajarin dong kak…!”  rengek Yoga.  Arum tersenyum melihat tingkah adiknya,  “Kelak kau akan lebih hebat dari kakak!” Arum memberi semangat pada adiknya, sambil memalingkan wajahnya menatap adiknya satu persatu,  tiba-tiba Arum terpekik kaget,  “Anjani mana Anjani..?!”  Yoga, Kinanti dan Kuncoro bengong,  “Tadi disini kak” jawab mereka bertiga hampir bersamaan.
“Celaka..”  batin Arum cemas, karena ia merasa yang tertua, sehingga dialah yang bertanggungjawab atas keselamatan adik-adiknya,  kebingungan bercampur rasa takut tampak jelas dalam raut wajahnya.  “Ayo kita cari…” ajaknya pada adik-adiknya.  Mereka bergegas berdiri dan mencari Anjani.
“Anjani…dimana kami!”  mereka berteriak-teriak memanggil Anjani, tetapi tak ada sahutan apapun, mereka terus menyusuri sekitar daerah itu namun tetap tak menemukan jejak kemana Anjani pergi.  Hampir separuh hari mereka berputar-putar mencari adiknya yang hilang bagai ditelan bumi.  Tapi sia-sia, lemaslah mereka berempat, terlebih Arum.  Arum menyadari akan kelengahannya,  begitu asyiknya dia mengajari ilmu silat pada adik-adiknya tanpa disadari Anjani adiknya yang paling kecil hilang begitu saja.  “Ah, Ibu pasti akan marah besar” batin Arum dalam hati. “Yoga, bawa Kinanti dan Kuncoro pulang,  biar kakak yang mencari Anjani”  tanpa membantah lagi Yoga mengajak dua adiknya meninggalkan Arum yang terus melakukan pencarian adiknya yang hilang.  Tak henti-hentinya dia memanggil nama Anjani adiknya.
            Kita tinggalkan dulu Arum yang berusaha mencari Anjani.  Sepasang mata Nilamsari masih berkaca-kaca menahan tangis.  Bagaimana tidak,  hati seorang ibu akan merasa sangat cemas dan berduka begitu mendengar anaknya hilang tak tahu rimbanya.  Lima anaknya yang tadi pagi masih utuh dan pergi bersama, kini pulang hanya bertiga,  apalagi setelah mendengar cerita dari Yoga kalau Anjani hilang saat berlatih silat dan Arum pergi untuk mencari Anjani.  Ibu mana yang tak lemas bila mendengar cerita seperti itu.    Anjani adalah bocah perempuan yang masih sangat kecil belum bisa membedakan mana yang berbahaya atau tidak,  bagaimana dia mampu menghadapi bahaya itu?  Sementara Arum hanyalah gadis remaja yang masih hijau pada pengalaman di luar,  bagaimana Arum mampu mencari adiknya yang hilang.  Walaupun Arum sudah mempunyai bekal ilmu silat yang lumayan tetapi bukankah diluar sana banyak sekali tokoh-tokoh golongan hitam yang mempunyai kepandaian lebih tinggi.  Jangankan Arum,  mungkin Nilamsari sendiri yang telah banyak makan garam tak akan mampu untuk menghadapinya,  bahkan suaminya yang mempunyai kepandaian sangat tinggi saja bisa dikalahkan oleh perampok-perampok jalanan.
“Ach..” desah Nilamsari merasa ngeri membayangkan hal itu.
Pasrah,  adalah satu-satunya jalan terakhir yang terbaik setelah kita tak mampu berbuat apa-apa,  karena yang ada di jagad raya ini Tuhan yang mengatur.  Hidup dan Mati hanya Tuhan yang menghendaki.  Nilamsari terdiam,  sejenak ia mengingat satu persatu wajah-wajah yang dulu pernah menjadi musuh besarnya,  dalam hati ia merasa kuatir jika seandainya Anjani diculik oleh salah satu musuh besarnya.  “Ah..tak mungkin”  Nilamsari berusaha menepis prasangka buruknya,  bukankah sudah lima belas tahun ia tak lagi mengurusi dunia luar,  waktu yang sangat lama.  “Aku akan cari mereka..”  batin Nilamsari,  dia berdiri melangkahkan kakinya dengan keputusan bulat.  Nilam akan melangkahkan kakinya kembali ke dunia luar untuk mencari dua permata hatinya yang tak diketahui dimana keberadaannya.

Wednesday, April 4, 2018

Kitab Naga Bagian 2 Episode 4


KITAB NAGA
(Karya Mas Wient)

Bagian 2 Episode 4


Suatu hari, tampak anak-anak kecil bermain berkejaran ataupun petak umpet, itulah yang menjadi hiburan anak-anak desa untuk mengisi hari-harinya yang kosong.  Ada lima anak lebih yang bermain, rata-rata berusia tujuh tahunan.  Cara bermainnya adalah  dengan melakukan hompimpah untuk menentukan siapa yang kalah untuk menjadi pawang dan harus menjaga batu atau kayu atau benda lain yang ditata bertumpuk-tumpuk sebagai sasaran lawan, sedangkan sang lawan dari jarak tertentu akan melemparkan batu masing-masing sebagai gacu ke arah batu yang dijaga sang pawang, kalau gacu itu mengenai sasaran  si pawang segera mengumpulkan batu-batu lawannya dan diletakkan dekat dengan batu sasaran tadi, sementara yang lain segera lari bersembunyi,  tugas dari sang pawang berikutnya adalah  mencari lawannya yang bersembunyi sampai semua dapat tertangkap.
“Hompimpaah….!” Teriak anak-anak dengan riangnya.
“Hayo, Paijo yang jadi pawang!”  kembali mereka bersoran dengan riangnya, sementara Paijo yang disebut tadi hanya garuk-garuk kepala yang tidak gatal sambil meletakkan batunya  di atas tanah sebagai sasaran, teman-temannya yang lain mulai melempar batunya masing-masing satu persatu.  Buuk…buuuk….buuuk…. lemparan-lemparan batu taka ada yang mengenai batu Paijo.  Tiba-tiba permainan mereka terhenti, mereka terdiam mendengar suara syair yang tak berurutan tanpa seni baca layaknya orang membaca puisi.
            “Dahan kering tinggal lapuk
            Menunggu kuncup tak kunjung tiba
            Tua Bangka menjelang ambruk
            Sudah saatnya tulang tua diganti tulang muda”
Syair itu datang dari seorang laki-laki tua kira-kira berusia delapan puluh tahun lebih, ia berjalan sempoyongan bagaikan orang mabuk,  badanya kurus tinggal tulang yang dibalut kulit tanpa daging,  pakaiannya kumal dan terdapat banyak tambalan disana-sini bahkan hamper sebagian telah robek mungkin karena terlalu lama dan tak pernah kena air untuk dicuci, kakek itu berjalan sedikit membongkok,  kakinya terasa berat untuk melangkah, kadang sempoyongan seolah tak kuat menahan terpaan angin.  Dia terus mengucap sajak-sajaknya.
            “Dari gunung ke gunung
            Menuju pantai ke pantai
            Tak pernah ada jumpa pengganti tulang
            Mewarisi yang yang kupunya…..”
“Orang gilaa..” teriak anak-anak yang sedang bermain, perasaan takut tiba-tiba menyerang hati anak-anak yang sedang riang bermain, sesaat mereka terdiam dengan muka pucat, tetapi salah satu dari mereka mengambil sebuah batu  dan dilemparkannya ke arah kakek tua yang nampak seperti gembel itu.  Melihat temannya ada yang melempar batu ke arah kakek tua itu  serentak yang lainnyapun segera mengambil batu dan dilemparkan secara membabi buta kearah kekek tua itu.
“Buuk..buk…buuk…” batu-batu itu mengenai tubuh sang kakek,  sesekali kakek itu meringis kesakitan tetapi tak ada niat sedikitpun untuk menghindar,  darah mulai keluar dari dahinya yang terluka,  sekejab saja kulitnya yang sudah berkerut telah dibasahi oleh darah segar.
“Usir orang gila itu..!” teriak anak-anak kecil itu semakin berani bahkan semakin bernafsu untuk terus melempari batu begitu melihat sasarannya hanya meliuk-liukkan tubuhnya tanpa mau lari menjauh,  hal ini semakin membuat anak-anak menjadi gemas dan jengkel sehingga batu-batu yang dilemparkan semakin bertambah besar sampai sebesar kepalan tangan orang dewasa.
“Hentikan…!”  tiba-tiba ada suara bentakan yang menyuruh mereka menghentikan lemparan,  suaranya kecil tetapi mengandung kewibawaan.  Rupanya suara itu berasal dari anak kecil berusia lima tahun yang berdiri dengan gagahnya di depan kakek tua itu seakan melindungi kakek itu dari lemparan batu anak-anak nakal.
“Hai Dipa,  minggir kamu..!” teriak anak-anak yang melempari batu, “atau kamu pun ingin dilempari batu…!”
“Kalian semua kejam…!”  bentak anak yang dipanggil Dipa yang tak lain adalah Pradipa.  Tentunya pembaca masih ingat Pradipa anak terakhir Raden Sabu.  Secara kebetulan saat anak-anak melempari batu ke arah sang kekek Pradipa lewat disitu bersama ayahnya.
“Lihat ayah, kasihan orang tua itu!” kata Pradipa pada ayahnya saat melihat pemandangan yang mengerikan itu,  “Biar saya menolong orang tua itu , ayah” pinta Pradipa,  tanpa menunggu persetujuan ayahnya dia langsung melesat lari,  ayahnya hanya menggelengkan kepala kagum pada keberanian anaknya,  ayahnya sengaja tidak menyusul tetapi melihat dari kejauhan apa yang akan dilakukan Pradipa.
“Anak kecil kurang ajar…!”  bentak Paijo sambil melemparkan batu ke arah Pradipa,  mendapat serangan batu, Pradipa hanya memiringkan badanya sehingga batu itu tidak mengenai sasaran.  Melihat batu itu tidak mengenai sasaran Paijo maju mendekati Pradipa dengan tangan mengepal,  sementara Pradipa menyadari bahwa ada gelagat yang kurang baik sehingga begitu Paijo mendekat, dengan cepat Pradipa mempersiapkan dirinya,  memang tak salah perkiraan Pradipa karena secara tiba-tiba Paijo melakukan serangan kearah Pradipa,  rupanya Paijo tidak menyadari  kalau Pradipa telah waspada sebelumnya sehingga dengan menggeser tubuhnya sedikit saja Pradipa telah lepas dari serangan Paijo. “Siaal..!”  batin Paijo kesal, “wuuus..!” kembali Paijo melakukan tendangan mengulang kegagalannya.  Walaupun dilihat dari postur tubuhnya yang masih kecil tetapi Pradipa sudah terlatih dengan gerakan-gerakan dasar ilmu silat dari ayahnya,  kembali serangan itu tidak mengenai sasaran, bahkan “Ughk…” Pradipa berhasil membalas serangan itu tepat pada perut Paijo
“Hayo..kita hajar dia!” teriak Paijo dengan meringis menahan sakit, dia memberi komando kepada teman-temannya.  Serentak mereka menyerang Pradipa.
“Tulang bagus datang di depan mata
Tak perlu lagi si tua pergi mencari
Jodoh memang sudah ada
Tuk mewarisi ilmu sejati…”
Kembali terdengar sajak-sajak yang diucapkan kakek tadi yang tubuhnya belepotan darah, sesekali kakek itu tertawa terkekeh-kekeh, badanya digoyang-goyangkan meniru setiap gerakan Pradipa sambil memberikan dorongan,  “Ayo tendang, pukul…jotos…” “Aduuh…” rintih salah seorang dari pengeroyok Pradipa sambil memegangi perutnya yang terkena tendangan Pradipa.  “Aduuuh…!” kembali terdengar lagi, tiga orang sudah mengaduh kesakitan.  “Buuk..buuk..” serangan Pradipa ditengah-tengah pengeroyok mengenai muka Paijo sehingga muka yang lembut itu menjadi bengap akibat terkena pukulan.
“he..he..he..” kakek itu terus tertawa-tawa, hatinya senang melihat jagonya dapat mengimbangi lawannya walaupun dikeroyok secara bersama-sama.
“Gembel Tua, beraninya mengadu anakku…!” tiba-tiba terdengar bentakan,  serentak perkelahian itu berhenti.
“Ayah, dia memukul saya…!” teriak Paijo sambil berlari memegani mukanya yang bengkak ke arah laki-laki yang baru datang yang tak lain adalah ayahnya sendiri.  Perawakannya tinggi tegap dan kekar, dibelakangnya berdiri dua orang jago pukul.   Ayah Paijo adalah pembesar yang kaya raya dan sangat ditakuti oleh penduduk,  bukan karena jabatannya melainkan karena dia mempunyai jago-jago pukul yang kejam dan bengis,  kadang tak segan-segan jago-jago pukulnya menghajar penduduk yang dianggap salah walaupun belum tentu salah, atau orang yang dianggap membangkang atas kemauannya.
“Hajar dia ayah..!” pinta Paijo pada ayahnya sambil menunjuk ke arah Pradipa,  sementara Pradipa berdiri dengan tenangnya, pandangannya tajam kedepan seolah menanti apa yang akan dilakukan Marjan ayah Paijo dengan dua tukang pukulnya.
“Bocah setan, berani kau membengkakkan muka anakku!” bentaknya.
“Hee..hee..hee.. urusan anak biarlah anak yang menyelesaikan, orang tua hanya sebagai penengah” kakek tua itu menimpali omongan Marjan dengan suara tawanya yang khas.
“Tua bangka, aku potong lidahmu yang lancang!” bentak Marjan.
“Haa..haa..ha… kacang ora ninggal lanjaran,  pantas saja orang tuanya kasar… anaknyapun ikut kasar” ejek kakek tua itu dengan tawa.   “Plaak..!” tiba-tiba tamparan Marjan mendarat pada muka kakek itu, mendapat tamparan yang mendadak sang kakek jatuh tertelungkap, dengan susah payah ia berusaha untuk bangun kembali,  Marjan yang telah panas mendengar ejekan-ejekannya kembali mengayunkan kakinya, “Duuk..!” terdengar tendangan itu mengenai sasaran tetapi bukan si kakek yang kena tendangan itu melainkan bocah kecil Pradipa, Pradipa mencelat beberapa tombak.  Saat kaki Marjan diayunkan ke arah si kakek secepat kilat Pradipa menghadang tendangan itu sehingga tendangan itu mengenai tubuh Pradipa yang mencelat beberapa tombak,  tak terdengar rintihan sedikitpun, bahkan Pradipa telah berdiri kembali, mulutnya mengeluarkan darah. “he.he..he..anak baik, lagi-lagi kau menolongku!” kata kakek itu.
“Cincang tua bangka busuk itu..!” perintah Marjan pada dua algojonya, hatinya bukan kasihan melainkan malah semakin meluap-luap amarahnya.  Mendapat perintah dari juragannya dua algojo itu maju sambil menghunus goloknya.
“Wuuut..wuuut..trang..!” dua algojo itu mengayunkan goloknya ke arah si kakek, tetapi sebelum sampai sasaran terdengar benturan senjata.  Pada saat yang kritis, hanya tinggal beberapa centi saja golok itu menyentuh tubuh si kakek, Raden Sabu yang semula hanya menonton saja secepat kiat menangkis serangan itu dengan pedangnya, dua orang algojo yang yang mengira akan mendapat tangkisan itu menjadi sangat kaget sehingga dua algojo itu terdorong beberapa langkah ke belakang.  Kembali kakek tua itu terlepas dari serangan yang mematikan.
“Maaf tuan, kalau terpaksa saya turun tangan” kata Raden Sabu dengan lembutnya.  Kedua algojo itu kembali dibuat terkejut saat melihat Raden Sabu telah berdiri dihadapannya, tak terkecuali Marjan.
“Lagi-lagi kau turut campur!”  bentak Marjan untuk menutupi rasa terkejut dan rasa segannya pada Raden Sabu.
“Maaf tuan,  apakah pantas orang seusia kita menurunkan tangan kejam pada anak kecil dan seorang tua renta?” kata Raden Sabu.
“Sabu, semua orang dan pejabat memang segan kepadamu, tapi siapa aku ini ?!” kata Marjan sambil menepuk dadanya sendiri.
“Tuan Marjan memang seorang pembesar, tetapi bukan berarti harus bertindak sewenang-wenang pada masyarakat kecil” kata Raden Sabu dengan tenangnya.
“Kamu jangan banyak lagak didepanku, minggir!” bentak Marjan
“Maaf tuan, terpaksa saya tidak dapat menuruti kemauan tuan!”  balas Raden Sabu.
“Bangsat, jangan dikira aku takut padamu, hajar dia!” perintah Marjan pada dua algojonya yang masih tampak segan dan ragu untuk berhadapan dengan Raden Sabu, tetapi mereka bimbang karena tuannya telah memerintahkan untuk menyerang, mau tidak mau merekapun berlompatan menyerang Raden Sabu.  “Hiyaaa…” dua orang algojo itu menebaskan goloknya ke arah Raden Sabu yang masih tampak tenang menanti serangan. “wuuut..wuut..sriing..” golok-golok itu menyerang kearah kaki Raden Sabu tetapi  rupanya Raden Sabu lebih cepat untuk menarik kakinya ke atas sehingga golok lawan mengenai tempat kosong.  Mendapat kenyataan itu dengan cepat pula dan dengan waktu yang hampir bersamaan dua algojo itu segera memutar tubuhnya ke atas dengan melakukan tusukan golok kearah lawan, hampir saja Raden Sabu kehilangan keseimbangan saat menerima serangan tidak terduga seperti itu, untung saja dia sudah banyak makan garam dalam pertarungan sehingga dengan gerakan halus dan dengan bertumpu pada salah satu kakinya Raden Sabu melompat ke atas dan dengan gerakan yang indah kedua kaki Raden Sabu dapat mendarat kembali ke atas tanah, sementara dua algojo yang merasa kehilangan buruannya segera berlompatan kembali mengejar ke arah Raden Sabu.  Sementara si Kakek melihat pertarungan itu tanpa mengedipkan mata, hatinya kagum melihat gerakan silat Raden Sabu, bahkan si Kakek meraba-raba kalau kepandaian Raden Sabu cukup tinggi dibandingkan dua algojo itu yang hanya mengandalkan otot saja tanpa strategi pertarungan.  Beberapa jurus sudah lewat, “dukk..dees..” serangan berantai Raden Sabu mengenai dua lawannya,  keduanya terhuyung-huyung kebelakang beberapa tombak,  belum sempat kedua algojo itu memperbaiki posisinya Raden Sabu melayang mengirim tendangan kembali. “dess.. dess..bruuk…” kembali tendangan itu tepat pada sasaran membuat dua orang algojo itu terjerembab dengan mulut mengeluarkan darah, mereka merintih kesakitan.
“Hee..he..he..Tuan Marjan, mengapa kau memelihara tikus-tikus busuk yang tak berguna untuk menjadi pengawalmu? Lihatlah mereka tak berguna!”   terdengar suara ejekan dengan suara lembut namun terdengar sangat keras,  semua mata menoleh ke arah sumber suara itu yang ternyata dari seorang tua berusia empat puluh tahunan dengan badannya yang kekar, pakaiannya bersih rapi dengan ikat kepala menghiasi kepalanya yang sudah mulai banyak rambut putihnya.  Semua dian tak ada reaksi walaupun ada tanda tanya dalam hatinya pada orang yang baru saja datang, tetapi lain dengan si kakek tadi.
“celaka..” pekiknya tertahan si kakek dalam hati, dia sangat terkejut sekali melihat  kedatangan laki-laki separo baya itu.
“Haa..haa..haa.. kiranya kau sobat!” teriak Marjan girang
“Ada urusan apakah sehingga tuan memerintahkan dua algojo hebat tapi tak berarti itu?” tanya lelaki itu sekaligus juga mengejek.
“Haa..haa..haa..kalau saja aku tahu kalau Iblis Muka Seribu akan datang tentu aku tak akan membawa dua algojo itu” disebut Iblis Muka Seribu, Raden Sabu tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya,  walaupun dia tak pernah bertemu tetapi dia pernah mendengar sebutan Iblis Muka Seribu sebagai datuk sesat yang licik dan mempunyai kepandaian yang sangat tinggi,  namanya sedang melambung karena kekejamannya, bahkan belum ada lawan yang mampu mengalahkannya.
“haa..haa..haa.. siapakah dia yang merepotkan Tuan?” tanya Iblis Muka Seribu pada Marjan sambil tertawa-tawa.
“Dia Raden Sabu yang sombong dan selalu mengganggu ketenanganku!””  jawab Marjan dengan mata melotot dengan menunjukkan jarinya ke arah Raden Sabu.
“Hah,  Raden Sabu yang terkenal itu?” Iblis Muka Seribu seolah tak percaya, matanya melotot seakan penuh selidik ke arah Raden Sabu,  sementara Raden Sabu masih begitu tenang berdiri di tempatnya semula.  “Kebetulan sekali, aku ingin memotong kepalanya” kata Iblis Muka Seribu.
“Maaf, ada urusan apakah tuan dengan saya?” tanya Raden Sabu setelah mendengar ucapan Iblis Muka Seribu.
“Aku tak punya urusan, hanya saja kepalamu sangat berarti bagi namaku” jawab Iblis Muka Seribu dengan ketusnya, “Hayooo serahkan kepalamu!”.  Mendengar ancaman itu, semua orang yang ada disitu menjadi tegang,  terlebih anak-anak yang dari tadi hanya sebagai penonton saja, dengan hati berdebar-debar mereka ingin tahu apa yang akan terjadi, sementara kakek tua yang selalu mempunyai nasib baik nampak begitu cemas, sesekali ia mengambil nafas panjang untuk mengurangi kecemasannya.
“Kalau Tuan mampu, silahkan!” tantang Raden Sabu yang merasa tak senang dengan sikap congkak Iblis Muka Seribu yang jumawa, kata-katanya pelan tetapi bagi Iblis Muka Seribu sangatlah memanaskan.  Tanpa menunggu waktu lagi Iblis Muka Seribu menyerang Raden Sabu dengan pukulan yang mematikan,  Raden Sabu bukanlah orang bodoh, dia mengelak menghindari serangan itu, sekali Raden Sabu menghindar sang lawan tidak memberi kesempatan untuk terus bertahan, pukulan-pukulan beruntun semakin gencar ke arah Raden Sabu,  sangat jelas sekali kalau akhirnya Raden Sabu merasa kuwalahan.  Bagaimanapun juga lihainya seseorang, dan bagaimanapun juga seseorang itu mempunyai pengalaman bertarung tentu akan tetap merasa sulit menerka arah serangan sang lawan yang baru pertama kali bertemu.  Rupanya inilah yang dialami oleh Raden Sabu, ia sangat kesulitan untuk membaca setiap gerak langkah sang lawan,  tak aneh dalam dua puluh jurus saja Raden Sabu mulai terdesak hebat tanpa mampu membalas serangan.  Plaaak, sebuah pukulan mengenai bahu Raden Sabu, dia tak sempat untuk mengelak sehingga pukulan tangan Iblis Muka Seribu mengenai sasaran, tampak jelas sekali warna merah kehitam-hitaman membekas dibahu Raden Sabu, ia terhuyung beberapa langkah ke belakang, keseimbangannya goyah.  Melihat lawannya lengah Iblis Muka Seribu kembali melancarkan serangannya dengan ganas, seakan penuh nafsu untuk segera mengakhiri riwayat sang lawan.  “Hiyaaaa….” Dengan kekuatan penuh Iblis Muka Seribu meluncur berputar ke arah Raden Sabu,  serangan kali ini bukanlah serangan main-main karena memang yang ada di pikiran Iblis Muka Seribu adalah untuk menghancurkan tubuh Raden Sabu.  Melihat ayahnya dalam bahaya, Pradipa berlari untuk menghalau serangan yang berbahaya dan mematikan.  Wusss… seperti terpaan angin yang menyambar tubuh Pradipa, “duuk..duukk..desss”. tepat saat serangan Iblis Muka Seribu akan mengenai sasaran, sebuah tangkisan telah menghalau serangan itu.  Iblis Muka Seribu tak pernah memperkirakan hal ini,  wajahnya sangat pucat pasi karena terkejut,  bukan itu saja akibat tangkisan tadi Iblis Muka Seribu sempat terdorong kebelakang beberapa langkah.  Lebih terbelalak lagi saat melihat Kakek tua yang tinggal tulang berdiri didepannya dengan membopong Pradipa.  Memang saat Pradipa berlari ke arah ayahnya untuk menghalau serangan, kakek itu segera tanggap dengan apa yang akan dilakukan oleh Pradipa, kalau saja terlambat satu detik saja tubuh Pradipa akan hancur terkena pukulan Iblis Muka Seribu, dengan gerakan secepat kilat kakek tua itu bergerak menyambar tubuh Pradipa, dan dengan mengerahkan tenaga inti lewat tangan-tangannya yang tinggal tulang kakek itu menangkis serangan Iblis Muka Seribu,  walaupun begitu sebagai akibatnya Iblis Muka Seribu sempat terdorong beberapa langkah ke belakang akibat benturan tangannya dengan tangan si kakek tua itu.
“Anak baik, kau sungguh berani” kata Kakek tua itu pada Pradipa sambil menurunkan dari bopongannya.  Pradipa memandang seolah tak percaya dengan apa yang ia lihat dan ia alami, demikian pula Raden Sabu.  Tak kalah kagetnya adalah Marjan dan algojonya yang dari tadi menyaksikan pertarungan itu.
“Terima kasih kek” kata Raden Sabu sambil menjura, kakek tua itu hanya tersenyum “Tadi anakmu telah menolongku, juga Raden, sekarang giliranku untuk membalasnya”
“Biarlah saya yang menghadapinya, dia sangat kuat kek!” Raden Sabu masih sangat meragukan Kakek tua itu.
“Dia bukanlah lawan Raden, biarlah saya yang tua yang menghadapi” kata si Kekek
“Gembel tua, sungguh lancang kau!”  bentak Iblis Muka Seribu untuk menyembunyikan rasa kagetnya itu.
“Iblis busuk bau pete, kenapa teriak-teriak?!!” kata Kakek tua itu sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“Bangsaat, siapa dirimu gembel tua..!? tanya Iblis Muka Seribu dengan nada tinggi.
“Heh, masih muda sudah pikun, baru saja disebut sudah lupa, payaah..” kata kakek itu seenaknya.
“Babi busuk, berani lancang..!” Iblis Muka Seribu semakin gusar, “niiih terimalah…!” dengan loncatan yang indah Iblis Muka Seribu menerjang menyerang ke arah Kakek tua, mendapat serangan yang sangat hebat dan cepat, kakek tua itu hanya tetap berdiri ditempat semula hanya tubuhnya yang meliuk-liuk menghindari serangan-serangan itu.  Melihat kenyataan bahwa serangan yang ia lancarkan tak pernah mengenai sasaran,  Iblis Muka Seribu semakin geram,  terlebih saat melihat gaya Kakek Tua dalam menghindari serangannya seakan-akan seperti meremehkan kepandaiannya.  “Sial..” batinya dalam hati.  “Hiyaa…” Iblis Muka Seribu melakukan gerakan memutar, dengan bertumpu pada kakinya ia bergerak ke atas seperti meloncat,  begitu kakinya ke udara langsung melakukan gerakan menyerang disusul dengan liukkan tubuh dengan tangannya menyambar,  wuuut…wuuut…wuuuss… suara angin mendesir mengenai tempat kosong, “Hoo..hoo..hoo pukulan tanpa ujud cukup hebat untuk mengusir nyamuk”  ejek kakek tua.
“Kakek tua, kau kenal juga dengan jurusku ini!” Iblis Muka Seribu semakin jengkel,  ia kaget rupanya sang lawan juga mengenal jurus-jurus yang ia gunakan, padahal dia baru pertama kali berhadapan dengan sang lawan.  Tiga puluh jurus telah berlalu,  tetapi Iblis Muka Seribu belum berhasil merobohnya si Kakek,  jangankan merobohkan, mengenai saja  tak pernah, ia baru sadar kalau Kakek Tua yang ia hadapi dan dianggap remeh bukanlah seorang tua renta yang lemah tetapi sebaliknya kakek tua itu adalah lawan yang kuat dan tangguh, bahkan Iblis Muka Seribu baru menyadari bahwa dalam setiap jurus Kakek Tua itu hanya mempermainkan dirinya.   Tiba-tiba Iblis Muka Seribu menghentikan serangan,  ia berdiri tegak dengan mata tajam menatap si Kakek, pikirannya dia pusatkan  karena dia merasa tak akan mungkin memenangkan pertarungan itu,  Iblis Muka Seribu mencoba untuk melawannya dengan ilmu sihir.
“Gembel tua, jongkoklah!” bentak Iblis Muka Seribu dengan kekuatan sihir,  sungguh suatu ilmu sihir yang sempurna, tapak kakek tua itu berjongkok menuruti perintah Iblis Muka Seribu, semua orang yang menyaksikan disitu sangat terkejut, terlebih Raden Sabu yang semula mengira kalau kakek tua itu tak akan terpengaruh dengan ilmu sihir, apalagi setelah Raden Sabu melihat betapa hebatnya Kakek tua itu saat menghadapi Iblis Muka Seribu.  Dengan menggunakan kekuatan batinya Raden Sabu berusaha untuk membuyarkan pengaruh sihir.  “Kakek..berdirilah”, tetapi susra batin Raden Sabu tak berpengaruh sama sekali pada kakek tua yang terus berjongkok.
“Gembel tua,  menyalaklah seperti anjing!”  perintah Iblis Muka Seribu,  kembali Raden Sabu terkejut karena si Kakek tua benar-benar menyalak seperti anjing, “guuk..guuk..guuk”.   tak pernah dibayangkan kalau orang tua yang mempunyai ilmu silat setinggi itu tidak mampu menghadapi ilmu sihir.  Kembali Raden Sabu mengerahkan tenaga batinnya untuk membuyarkan pengaruh sihir pada akek itu,  tetapi lagi-lagi usaha itu gagal.  Iblis Muka Seribu tertawa-tawa penuh kemenangan,  ia merasa kalau bakal berhasil untuk merobohkan sang lawan.
“Ayo gembel tua,  kemarilah sambil menari!”  Kakek tua itu menggerakkan badannya seperti menari-nari sambil berjalan mendekati Iblis Muka Seribu,  tangganya digerakkan melakukan tarian yang tampak lucu,  kadang bokongnya menungging.  Dua algojo dan anak-anak tadi tertawa terbahak-bahak.  Kakek tua itu semakin dekat dengan Iblis Muka Seribu,  saat tinggal sejengkal lagi secepat kilat Iblis Muka Seribu mencabut pedangnya dan diayunkan ke arah si kakek tua.  Creess…creees.. pedang itu membabat kedua tangan si kakek tua hingga putus sampai siku,  semua mata terbelalal ngeri melihat kejadian itu.  Raden Sabu hanya berteriak tertahan tak mampu mencegah.  Karena pengaruh ilmu sihir tak sedikitpun rintihan dari si kakek tua,  bahkan dia masih terus menggerakkan tubuhnya,  kembali Iblis Muka Seribu mengayunkan pedangnya kearah paha,  cress…crees…  tetap pada sasaran pedang itu telah membabat kedua paha si kakek hingga putus dengan sekali tebas.  “Uuugh…”  rintihan kecil keluar dari mulut si kakek,  kedua kaki dan dan tangganya tergeletak ditanah dengan darah segar yang tercecer di tanah,  tubuhnya jatuh tetapi masih tetap berdiri dengan ditopang sebagian paha yang tak terpotong.
“Haa..ha..haa.. Gembel Tua busuk, ternyata hanya segini kesaktianmu..! Iblis Muka Seribu tertawa-tawa girang merasa menang.
“Iblis keji…!” bentak Raden Sabu
“Hee..hee..Sabu, kini giliran kematianmu!” Kata Iblis Muka Seribu dengan congkaknya.
“Hayo..akupun ingin mengadu nyawa denganmu!”  tantang Raden Sabu dengan menahan kemarahannya.  Iblis Muka Seribu terus tertawa-tawa.
“Hai..Iblis Jelek,  jangan tertawa keras-keras mengganggu orang makan!”  tiba-tiba terdengar suara bentakan halus,  semua mata bergerak mencari sumber suara,  alangkah terkejutnya mereka karena melihat Kakek Tua duduk bersebelahan dengan Pradipa di atas  dahan pohon mangga sambil mengunyah mangga yang masih mentah,  semua mata tak berkedip dan tak percaya betapa kedua tangan dan kakinya yang tadi telah terpotong masih tetap utuh.  Kembali semua mata bergerak ke arah tubuh yang tergeletak pucat karena kehabisan darah.  “Haaah…!”  betapa kagetnya mereka karena wajah yang semula Kakek Tua itu  berubah menjadi wajah Pembesar Marjan yang pucat tak punya darah lagi.  Raden Sabu kini dapat mengerti,  kalau saat Iblis Muka Seribu menggunakan ilmu sihir, dengan kecepatan yang luar biasa si Kakek Tua  menyambar tubuh Marjan dan dengan menggunakan sihir pula si Kakek Tua mempengaruhi semua mata sehingga mereka melihat Marjan sebagai Kakek Tua,  dan dengan kecepatan pula Kakek itu membopong Pradipa dan duduk di atas pohon mangga sambil menikmati buahnya,  bagi Paradipa yang tahu dengan nyata merupakan suatu kejadian yang menggelitik hati.  Dan pada saat Raden Sabu mengerahkan tenaga batinya untuk membuyarkan pengaruh sihir, Kakek Tua itu  juga menggagalkan sehingga suara Raden Sabu tidak sampai terdengar oleh Marjan.  “Pantas..”  batin Raden Sabu yang merasa bodoh dan  mentertawakan kebodohannya sendiri.
Sementara Iblis Muka Seribu masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat.  Rasa marah, jengkel juga malu perang dalam batinnya.  Iblis Muka Seribu diam dengan muka pucat,  ia baru menyadari kalau kepandaiannya ternyata masih kalah jauh dibawah Kakek Tua yang tadi diremehkannya.
“Hai Iblis jelek, kenapa bingung?!!”  ejek si Kakek Tua dengan terkekeh-kekeh,  “pengkhianat busuk kau, teman sendiri tega kau bantak!”
Paijo begitu tahu kalau yang tergeletak adalah ayahnya sendiri berlari, mendekap dan menangisi tubuh ayahnya yang sudah tak bernyawa lagi,  dengan mata merah penuh kemarahan yang telah memuncak Paijo berdiri,  “Iblis, kau bunuh ayahku!” teriak Paijo histeris sambil menerjang ke arah Iblis Muka Seribu,  melihat hal itu Iblis Muka Seribu menggerakkan tangannya menampar Paijo untuk melampiaskan kemarahannya. “Plaak…” tamparan itu tepat mengenai muka Paijo,  bocah kecil itu terpelanting jatuh, tetapi untunglah tamparan itu tidak terlalu keras, sehingga dengan sisa-sisa tenaganya Paijo berusaha untuk berdiri kembali.
“Gembel tua,  hari ini aku mengaku kalah,  kelak akan kucari kau kembali!”  Teriak Iblis Muka Seribu sambil membalikkan tubuhnya dan berlari,  kakinya terus melangkah dengan cepat menggunakan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh,  yang ada dalam pikirannya hanya satu yaitu meninggalkan tempat yang sangat memalukan atas kekalahannya itu,  tetapi lagi-lagi suatu pemandangan yang lucu,  saat Iblis Muka Seribu melangkahkan kakinya, si Kakek Tua mengerahkan ilmu sihirnya sehingga walaupun Iblis Muka Seribu melangkahkan kakinya dengan ilmu meringankan tubuh ia tetap saja berada di tempat semula.  Ia tak menyadari kalau gerakan-gerakan lari dan loncatan-loncatannya hanyalah gerakan-gerakan ditempat, yang ia rasakan adalah benar-benar lari dengan kecepatan tinggi.  Sungguh sangatlah hebat ilmu yang dimiliki si Kakek Tua itu, apalagi lawannya adalah datuk sesat yang selama ini belum ada lawan tanding yang seimbang.
Paijo dengan terhuyung-huyung mendekati mayat ayahnya kembali yang tergeletak kaku,  ia pungut pedang yang telah merengut nyawa ayahnya,  dengan kekuatan yang ada Paijo menerjang Iblis Muka Seribu yang masih melakukan gerakan-gerakan lari ditempat.  “breet,,,”  tebasan pedang itu mengenai kaki Iblis Muka Seribu disusul serangan yang kedua tepat mengenai kaki yang satu sebatas paha.  “Bruuuk…!”   Iblis Muka Seribu terjatuh karena kakinya terpotong.  Bukan karena pedang itu yang tajam sehingga mampu membabat kaki orang dewasa apalagi yang melakukan adalah anak kecil kemarin sore,  melainkan karena kekuatan hati yang telah dipenuhi rasa marah dan dendam yang dapat membangkitkan tenaga sangat luar biasa pada diri Paijo.  Iblis Muka Seribu meringis kesakitan,  ia seperti orang tolol yang baru saja sadar dari mimpi buruk.  Belum lagi ia dapat menyadari dengan apa yang terjadi,  “creeesss…”  Paijo telah menangcapkan pedangnya kembali tepat di ulu hati,  tak ada rintihan yang keluar sedikitpun dari Iblis Muka Seribu,  badanya mengejang sebentar lalu diam tak bergerak lagi.  Semua yang menyaksikan merasa ngeri dan penuh keheranan,  bagaimana bocah yang belum genap puluhan tahun telah mampu merobohkan  seorang tokoh persilatan.
Memang kadang nafsu amarah,  dendam ataupun emosi mampu membangkitkan semangat bagi kita,  yang semula takut bisa saja menjadi berani dan bahkan menjadi kejam.  Kalau dilihat, tenaga Paijo adalah tenaga anak kecil,  tetapi karena rasa emosi,  marah dan dendam yang muncul dalam hatinya dapat memunculkan tenaga yang begitu kuat.
            Dengan dibantu beberapa orang,  Paijo mengangkat mayat ayahnya dan dibawa pulang,  sementara mayat Iblis Muka Seribu dirawat layaknya manusia yang lain oleh orang-orang kampung.  Disisi lain terlihat Raden Sabu,  Pradipa dan si Kakek Tua terlibat dalam pembicaraan yang cukup serius.
“Kek,  siapakah sebenarnya anda?” tanya Raden Sabu
“Haa..haa..haa.. tadi sudah disebut-sebut kalau aku hanyalah Gembel Tua yang tak pernah punya tempat tinggal”  jawab Kakek Tua itu dengan tertawa-tawa.
“Tadi saya dengar sajak-sajak yang kakek ucapkan sangatlah indah,  kalau tidak salah kakek dalam kebingungan tetapi yang terakhir tampaknya kakek begitu girang,  benarkah?”
“Hee..hee..kau memang cukup jeli Raden, memang aku cukup bahagia karena aku telah menemukan bocah yang mempunyai bakat untuk mewarisi ilmuku”  kata si Kakek dengan memancarkan kegembiraannya,  “Sudah lama memang aku malang melintang mencari penerus ilmuku, tapi selama itu pula aku tak pernah menjumpai yang cocok”  si Kakek berhenti sejenak mengambil nafas,  “tapi sekarang aku sudah menemukan jodoh”
“Siapa yang Kakek maksud?” tanya Raden Sabu.
“Anakmu…Pradipa”  jawab si Kakek singkat.
Mendengar itu Raden Sabu sedikit terkejut,  tetapi dibalik itu ada rasa kegembiraan,  apalagi ia sendiri telah melihat kehebatan Kakek itu,  namun dalam hati kecilnya  Raden Sabu juga mempunyai rasa ragu  sebab dia belum mengenal siapa sebenarnya kakek sakti itu.
“Kau ragu Raden?” pertanyaan si Kakek mengejutkan lamunan Raden Sabu,  ia tersipu karena apa yang ada dalam batinya bisa ditebak si Kakek.
“Maaf Kek,  semua itu terserah pada yang menjalani”  kata Raden Sabu memberi jawaban,  matanya melirik pada Pradipa yang matanya memancarkan harapan untuk dapat diijinkan sang ayah.
“Ayah,  saya bersedia”  kata Pradipa yang dari tadi hanya mendengarkan pembicaraan,  kemudian  ia berlutut,  “Guru terimalah hormat muridmu”
“Haa..haa..haa..anak baik” tawa kakek itu penuh kegirangan.
Betapa senangnya hati Pradipa karena tanpa dia sengaja dan melalui kejadian tak disengaja pula, dia menemukan seorang guru yang sangat sakti.  Memang itulah jodoh yang telah ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa.  Salah satu rahasia Tuhan yang tak dapat diketahui oleh manusia adalah perjodohan.  Bukan saja jodoh tentang teman hidup,  tetapi juga pertemuan dengan sesuatu yang cocok dihati.
Sejak saat itulah,  setelah pamit pada kedua orang tuanya,  Pradipa pergi bersama si Kakek Tua untuk mempelajari ilmu-ilmu yang dimiliki si Kakek tua itu.

πŸ‘‹πŸ‘‹πŸ‘‹πŸ‘‹πŸ‘€πŸ‘‹πŸ‘‹πŸ‘‹πŸ‘‹πŸ‘‹
Selanjutnya di Klik Bagian Episode 5